Politik

Mural Itu Karya Seni, Mengapa Pemerintah Sampai Paranoid?

Kamis, 09 September 2021 - 09:51 | 82.28k
Mural yang dihapus oleh Satpol PP. (FOTO: @merekamjakarta)
Mural yang dihapus oleh Satpol PP. (FOTO: @merekamjakarta)

TIMESINDONESIA, JAKARTA – Penghapusan mural dibeberapa daerah oleh berbagai petugas dinilai tak etis dan tak elok. Harusnya, pemerintah tidak perlu paranoid terhadap maraknya mural yang bermunculan di berbagai daerah tersebut.

Ketua Umum Partai Gelombang Rakyat (Partai Gelora) Indonesia Anis Matta menilai di alam demokrasi, pemerintah tak perlu takut terhadap mural.

Sebab, mural merupakan karya seni jalanan yang memliki peradaban yang cukup lama, disamping memiliki energi kreativitas dan energi survival untuk bertahan hidup. Karena itu kata dia, pemerintah tidak paranoid, apalagi merasa terganggu.

"Kalau lihat emosinya, yang menyertai komen publik, ada takut sedih dan senang seperti makanan Thailand, asam, pedas manis. Jadinya rasanya nano-nano, campur-campur seperti warna-warni yang ada dalam mural itu. Karya seni itu seharusnya harus dihargai dan diapresiasi," katanya Kamis (9/9/2021).

Anis Matta mengatakan, mural bersentuhan dengan realitas kehidupan dan bisa juga memberikan pesan atau energi positif buat pemerintah.

Mural a

Mural dinding terowongan inspeksi Tol Kunciran-Bandara Soekarno Hatta di Batuceper, Kota Tangerang, Banten, sebelum akhirnya dipoles ulang dengan cat hitam. (FOTO: AFP)

"Mural seharusnya bisa menjadi energi positif, sehingga pemerintah tidak perlu paranoid, justru kita harus mengarahkan dengan semangat mengakomodasi, energi kreatif dan survival ini. Mural akan memberikan energi positif, kalau dia diakomodasi secara baik," katanya.

Anis Matta meminta pemerintah tidak terlalu reaktif dengan menghapus karya seni tersebut, yang berisi kritik sosial dari realitas kehidupan. Sebab semakin dihapus, malah mural-mural baru bisa bertambah banyak.

"Kalau pemerintah sensitif, justru akan bermunculan mural-mural lainnya. Bahkan akhir-akhir ini sudah mulai merambah di media sosial (medsos)," ungkapnya.

Anis Matta juga meminta pemerintah tidak perlu sensitif dengan mural yang sudah berkembang dari dinding sampai ke media sosial seperti saat ini.

"Jadi mural harusnya dikembalikan ke karya seni yang seharusnya diapresiasi. Mural bisa dikembangkan menjadi produk seni dan masuk dalam program pengembangan ekonomi kreatif yang bisa mendatangkan wisatawan," katanya.

Selain itu, Anis Matta meminta masyarakat dalam menyampaikan ekspresi juga harus ada etika kesopanan, termasuk mengekspresikan dalam bentuk mural. Sebab kebanyakan mural yang selama ini dibuat terkesan kritik, terutama pada pemerintah atau penguasa.

"Mudah-mudahan saran kita didengar pemerintah, sehingga para seniman mural mendapatkan ruang besar dalam kehidupan sehari-hari. Sehingga demokrasi kita punya makna lain, demokrasi yang punya art, demokrasi yang punya seni," ujarnya.

Karya Seni Tertua

Sementara itu, Budayawan Ridwan Saidi mengatakan, mural merupakan salah satu karya seni tertua yang sudah ada sejak ribuan tahun.

Ia mencontohkan di sejumlah goa di Pulau Sumatera, Kalimantan, Sulawesi dan Nusa Tenggara ditemukan mural dalam bentuk tulisan dan gambar maupun grafis yang memberikan pesan di masa itu.

Bahkan mural-mural itu juga telah menggambarkan sistem kekuasaan atau pemerintahan di masanya. Dengan mural-mural itu para sejarawan bisa mendapatkan gambaran peradaban masa lalu.

Sayangkan Aksi Penghapusan

Seniman dan Pelukis Kawakan Iwan Aswan menyampaikan, semakin pemerintah bereaksi keras terhadap para seniman mural hingga menangkapnya, misalkan.

Maka para seniman mural tersebut akan melakukan perlawanan, karena mereka memiiki idealisme dalam dirinya.

"Bisa jadi mereka malah bangga kalau ditangkap karena merasa tujuannya berhasil dalam menyampaikan pesan lewat mural," kata Iwan.

Iwan pun menyayangkan aksi penghapusan mural-mural yang berpotensi menghambat ekspresi para pembuatnya.

Ia menegaskan mural tidak perlu ditakuti karena menjadi salah satu bentuk karya seni, serta kebebasan berekspresi yang dituangkan dalam suatu media, namun tetap berada dalam koridor etika dan moral.

Minta Pemerintah Bijak

Founder Drone Emprit Ismail Fahmi menambahkan, pemerintah harus bersikap lebih bijak, bukan menonjolkan emosinya dalam menyikapi maraknya mural bernada kritik terhadap kondisi sosial di masyarakat.

Sebab, perlawanan dari penghapusan mural, ternyata bukan hanya dilakukan para pembeci pemerintah, tetapi dilakukan oleh para nitizen.

"Padahal mural sangat bermanfaat juga buat pemerintah, apabila disikapi secara lebih bijak. Kalau nggak ditangani dengan baik, jadinya nanti endemik seperti sekarang ada perlawanan. Nggak perlu dihapus, biarkan saja, nanti akan turun sendiri, kalau dihapus nanti jadi bensin lagi, jadi bahan bakar semangat perlawanan baru," kata.

Menurut Fahmi, para pembuat mural, bukanlah seniman sembarangan, tetapi seniman kontemperer, yang bisa menggambar dan menggabungkan teknologi yang baru. Sehingga wajar apabila mural menjalar ke medsos seperti Twitter, karena mereka mengerti teknologi.

"Seniman mural, bukan seniman biasa, dia seniman yang mengerti teknologi. Mereka seniman kontemporer yang bisa mengambar dan menggabungkan teknologi. Menariknya seniman mural ini, gabungan seniman dan anak milineal," ujarnya soal mural yang dihapus oleh pemerintah. (*)

**) Ikuti berita terbaru TIMES Indonesia di Google News klik link ini dan jangan lupa di follow.

Advertisement



Editor : Wahyu Nurdiyanto
Publisher : Sholihin Nur

TERBARU

Togamas - togamas.com

INDONESIA POSITIF

KOPI TIMES