Kopi TIMES

KBBI sebagai Produk Hukum

Senin, 06 September 2021 - 16:00 | 98.63k
A.P. Edi Atmaja, Mahasiswa Universitas Indonesia, alumnus Universitas Diponegoro.
A.P. Edi Atmaja, Mahasiswa Universitas Indonesia, alumnus Universitas Diponegoro.

TIMESINDONESIA, SEMARANG – Ada hal yang cukup menggelitik dari esai Iqbal Aji Daryono, pesohor Facebook dengan pengikut lima puluh ribu akun dan kolumnis sejumlah media massa. Dalam esai berjudul “Berbahasa dalam Lingkup Khusus”, Iqbal antara lain menulis, “Biarkan bahasa berkembang secara alami sebagai produk budaya yang hidup, bukan cuma sebagai produk peraturan.”

Esai kesebelas dari total 77 esai yang terhimpun dalam buku Berbahasa Indonesia dengan Logis dan Gembira: Renungan dan Candaan (2019) itu menjelaskan pengalaman Iqbal saat diminta untuk menyunting tulisan kawannya, seorang bankir yang sekaligus pencinta bahasa Indonesia. Sang kawan merasa gundah saat hendak memilih diksi antara “marketing” ataukah “pemasaran” dan “branding” ataukah “penjenamaan”.

Iqbal pun menyarankan agar sang kawan memberikan keterangan di awal tulisan bahwa dalam bahasa Indonesia marketing berpadanan dengan pemasaran dan branding berpadanan dengan penjenamaan. Pada kalimat-kalimat selanjutnya, marketing dan branding saja yang dimunculkan. Menurut Iqbal, hal itu dilakukan karena lingkup tulisan itu terbatas, yakni pelaku perbankan, dunia pemasaran, dan korporasi, serta demi terselenggaranya komunikasi yang efektif. Begitulah saran Iqbal kepada kawannya itu sehingga muncullah “sabda” di bagian akhir esainya sebagaimana dikutip bagian awal tulisan ini.

Saya sependapat dengan sebagian besar esai di buku bersampul kuning itu. Saya rasa praktik kebahasaan memang layak dan dapat direnungkan secara serius oleh siapa saja. Namun saya tidak sepenuhnya sepakat dengan esai kesebelas Iqbal tersebut dan esai serupa lainnya yang mengandung pokok pikiran bahwa standar kebahasaan mesti permisif terhadap perubahan yang konon terjadi di masyarakat.

Saya sependapat bahwa bahasa merupakan produk budaya yang berkembang seturut perkembangan masyarakat. Iqbal pun secara tersurat mengakui bahwa bahasa juga merupakan produk peraturan. Ini pun saya sependapat.

Akan tetapi, Iqbal luput menguraikan perbedaan antara ragam bahasa lisan dan ragam bahasa tulisan. Esainya juga mengabaikan fakta bahwa standar kebahasaan mula-mula dikembangkan secara tertulis dengan maksud untuk mengatur ragam bahasa tulisan yang pada gilirannya dimaksudkan pula untuk menertibkan ragam bahasa lisan. Standar kebahasaan yang saya maksud ialah Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI).

Saat mengatakan bahwa bahasa sebagai produk budaya yang hidup mesti lebih ditonjolkan ketimbang bahasa sebagai produk peraturan, Iqbal sebenarnya sedang berbicara tentang bahasa dalam konteks ragam lisan. Ragam lisan berkembang secara lebih dinamis ketimbang ragam tulisan sehingga saya kira tidak tepat melempar konklusi yang menyiratkan kesan bahwa standar kebahasaan yang dikembangkan secara tertulis harus “mengalah” terhadap perkembangan kebahasaan ragam lisan yang banyak dipengaruhi oleh kekuatan dari luar ranah kebahasaan, seperti ekonomi dan politik, secara global.

Upaya untuk menyajikan perbedaan antara ragam bahasa lisan dan ragam bahasa tulisan yang kurang terlihat dalam esai-esai Iqbal bisa jadi merupakan suatu kesengajaan karena visi Iqbal adalah mengampanyekan penulisan verbal, yakni tulisan yang bercita rasa tuturan. Dengan dalih komunikasi efektif yang lincah untuk memacu derajat ketecernaan suatu tulisan, tulisan verbal mengadopsi langgam lisan yang dapat saja melanggar kaidah dan standar kebahasaan yang dikembangkan secara—dan dalam wujud—tertulis.

Bagi Iqbal, tugas KBBI bukanlah mengarahkan dan mengontrol pengguna bahasa untuk mematuhi kata-kata baku yang termuat di dalamnya. Bagi Iqbal, KBBI hanyalah museum kata-kata yang bertugas menyeleksi, mengakomodasi, dan memberikan pengakuan atas kata-kata.

Pandangan semacam itu mengandung persoalan serius. Jika KBBI hanya dianggap sebagai kumpulan kata-kata yang tidak memiliki daya ikat untuk dipatuhi, apakah dengan demikian fungsi institusi pemerintahan (negara) yang menyusunnya hanyalah tukang stempel kata-kata belaka? Lalu buat apa dibentuk institusi pemerintahan semacam itu, yang dioperasikan dengan menggunakan anggaran negara?

Oleh karena itu saya berpendapat bahwa KBBI merupakan “produk hukum” yang mesti dipatuhi dalam praktik kebahasaan, baik secara lisan maupun tulisan. Dengan demikian mesti dipahami bahwa fungsi KBBI ialah sebagai pengatur serta penjaga ketertiban dan kepentingan nasional ihwal kebahasaan.

Akan tetapi, KBBI bukanlah dokumen tertutup dan seharusnya responsif terhadap perkembangan di masyarakat. Di sisi lain, perlu ada kesadaran tentang masyarakat mana dan seperti apa yang layak memperoleh respons? Bagaimana kedaulatan negara dalam wujud bahasa nasional yang terbakukan melalui KBBI dapat berkontestasi dengan pengaruh bahasa asing yang digunakan oleh masyarakatnya jika negara kurang mengambil peran dalam kontestasi tersebut? KBBI sebagai produk hukum semestinya mengatur dan mengarahkan ketertiban berbahasa masyarakat, bukan malah larut dalam dinamika masyarakat yang cenderung sarat kepentingan sehingga terlalu cair dan kurang menjamin kepastian.

Konkretnya begini. Jika kita ambil contoh dari tulisan Iqbal, yang paling pas adalah mengutamakan padanan Indonesia dari kata “marketing” dan “branding” dan bukan sebaliknya. Alasan lingkup khusus, terbatas, dan demi komunikasi efektif tidak dapat dibenarkan dalam konteks ragam bahasa tulisan yang dibahas esai tersebut. Semua itu hanyalah asumsi bertendensi permisif yang lambat laun justru akan meruntuhkan kewibawaan bahasa Indonesia sebagai bahasa nasional.

Lain soal jika konteksnya adalah ragam bahasa lisan. Ingat, standar kebahasaan yang dikembangkan secara tertulis mula-mula dimaksudkan untuk mengatur ragam bahasa tulisan, baru kemudian pada gilirannya ditujukan pula untuk menertibkan ragam bahasa lisan. 

***

*) Oleh: A.P. Edi Atmaja, Mahasiswa Universitas Indonesia, alumnus Universitas Diponegoro.

*) Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggung jawab penulis, tidak menjadi bagian tanggung jawab redaksi timesindonesia.co.id

***

**) Kopi TIMES atau rubrik opini di TIMES Indonesia terbuka untuk umum. Panjang naskah maksimal 4.000 karakter atau sekitar 600 kata. Sertakan riwayat hidup singkat beserta Foto diri dan nomor telepon yang bisa dihubungi.

**) Naskah dikirim ke alamat e-mail: [email protected]

**) Redaksi berhak tidak menayangkan opini yang dikirim apabila tidak sesuai dengan kaidah dan filosofi TIMES Indonesia.

**) Ikuti berita terbaru TIMES Indonesia di Google News klik link ini dan jangan lupa di follow.

Advertisement



Editor : Ronny Wicaksono
Publisher : Rizal Dani

TERBARU

Togamas - togamas.com

INDONESIA POSITIF

KOPI TIMES