Kopi TIMES

Pemilihan Anggota BPK RI Harus Sesuai Konstitusi

Kamis, 02 September 2021 - 18:54 | 46.58k
Prasetyo, Direktur Eksekutif Pusat Kajian Keuangan Negara dan Tim Informasi Koalisi Save BPK.
Prasetyo, Direktur Eksekutif Pusat Kajian Keuangan Negara dan Tim Informasi Koalisi Save BPK.

TIMESINDONESIA, JAKARTAPEMILIHAN Anggota Badan Pemeriksa Keuangan RI (BPK RI) diwarnai oleh polemik yang tak berkesudahan. Sampai menjelang dilaksanakannya uji kelayakan dan kepatutan (fit and proper test), Komisi XI Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) belum memutuskan nasib dua orang calon yang disorot karena tidak memenuhi persyaratan formil.

Ada beberapa hal yang patut menjadi perhatian publik dalam seleksi anggota badan audit negara tersebut. Pertama, Komisi XI DPR sebagai panitia seleksi kurang cermat dalam meneliti dokumen persyaratan para calon. Inilah sebenarnya yang menjadi trigger terjadinya polemik.

Sejauh penulis amati, proses mekanisme seleksi tahun ini sedikit berbeda dengan tahun 2019. Saat itu, Komisi XI DPR membentuk tim kecil yang bertugas menyeleksi dokumen administrasi, termasuk dokumen persyaratan para calon. Tetapi pada tahun ini, tim kecil itu ditiadakan. Jadi, dokumen para calon dihandle langsung oleh sekretariat komisi tanpa ada filtering terlebih dahulu.

Kedua, Komisi XI DPR tidak mengindahkan UU BPK. Akibat ketidakcermatan Komisi XI DPR maka terjadilah polemik karena meloloskan dua nama yang tidak memenuhi persyaratan formil. Rujukan persyaratan dimaksud telah digariskan oleh UU BPK pasal 13, yang terdiri atas 11 syarat yang mesti dipenuhi.

Adapun dua nama yang tidak memenuhi persyaratan formil, yakni syarat pada Pasal 13 huruf j. Syarat itu ialah “paling singkat telah 2 (dua) tahun meninggalkan jabatan sebagai pejabat di lingkungan pengelola keuangan negara.” Calon yang dimaksud tidak memenuhi persyaratan formil adalah Nyoman Adhi Suryadnyana dan Harry Z. Soeratin.

Ketiga, kajian yuridis Badan Keahlian DPR. Menyikapi perdebatan tentang persyaratan itu Komisi XI DPR kemudian meminta kajian yuridis kepada Badan Keahlian DPR. Berdasarkan kajian itu, calon anggota BPK Harry Z Soeratin dan Nyoman Adhi Suryadnyana tidak memenuhi syarat dan tidak dapat mengikuti tahapan pemilihan anggota BPK selanjutnya.

Keduanya dinilai tidak memenuhi syarat karena tidak memenuhi Pasal 13 huruf j UU BPK. Syarat anggota BPK harus paling singkat dua tahun meninggalkan jabatan sebagai pejabat di lingkungan pengelola keuangan negara. Ketentuan pasal ini bertujuan agar tidak terjadi benturan kepentingan saat menjadi anggota BPK.

Sayangnya, kajian yuridis tersebut ternyata belum cukup meyakinkan para politisi Komisi XI. Walhasil, Pimpinan DPR kemudian meminta pendapat hukum atau fatwa dari Mahkamah Agung.

Keempat, penegasan fatwa Mahkamah Agung (MA). Adapun, fatwa MA telah diterbitkan pada 25 Agustus, yang intinya MA menyatakan jika ditinjau secara legalistik-formal, Pasal 13 huruf j UU BPK dan dihubungkan dengan Pasal 6 UU No 17 Tahun 2003 jo. Pasal 1 angka 8 UU BPK, maka calon Anggota BPK yang pernah menjabat di lingkungan pengelola keuangan negara harus memenuhi persyaratan yang ditentukan dalam Pasal 13 huruf j.

Publik berharap fatwa MA dapat menjadi jalan tengah serta solusi untuk mengatasi polemik. Tetapi, fatwa MA tampaknya belum cukup kuat menjadi rujukan bagi Komisi XI. Sampai menjelang fit and proper test pandangan fraksi-fraksi di Komisi XI belum bulat. Masih terdapat fraksi yang mempertahankan argumentasinya dengan merujuk pada penutup surat dari MA, yakni “keputusan lebih lanjut menjadi kewenangan DPR.”

Kelima, polemik pemilihan Anggota BPK menjadi perhatian masyarakat luas. Polemik ini tidak hanya menjadi perhatian kalangan LSM dan aktivis, tetapi juga disorot oleh para pakar hukum tata negara. Margarito Kamis misalnya, menyatakan bahwa tidak ada ilmu hukum yang bisa dipakai bagi orang yang tidak memenuhi syarat untuk menjadi anggota BPK. Menurutnya, dalam ilmu hukum jika syarat tidak dipenuhi maka hukumnya tidak sah. 

Pakar hukum tata negara Denny Indrayana menyatakan hal serupa, bahwa pemilihan Anggota BPK tetap mengacu pada undang-undang. Apalagi, Mahkamah Agung telah menerbitkan pendapat fatwa sebagaimana diminta Komisi XI, yang intinya agar persyaratan calon Anggota BPK merujuk pada ketentuan di dalam Pasal 13 huruf j UU BPK.

Sementara itu, Guru Besar Hukum Tata Negara Universitas Parahyangan Bandung Asep Warlan Yusuf menekankan DPR adalah lembaga pembuat UU harus menjadi yang terdepan dalam kepatuhan terhadap UU yang diciptakan sendiri. 

Publik berharap pemilihan Anggota BPK RI yang nota bene pejabat tinggi negara dilaksanakan sesuai dengan amanat konstitusi. Sebab, sudah cukup kuat rujukan yuridis dan akademis sehingga tidak ada alasan lagi bagi Komisi XI DPR untuk berpaling dari konstitusi. (*)

***

*) Oleh: Prasetyo, Direktur Eksekutif Pusat Kajian Keuangan Negara dan Tim Informasi Koalisi Save BPK.

*) Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggung jawab penulis, tidak menjadi bagian tanggung jawab redaksi timesindonesia.co.id

***

**) Kopi TIMES atau rubrik opini di TIMES Indonesia terbuka untuk umum. Panjang naskah maksimal 4.000 karakter atau sekitar 600 kata. Sertakan riwayat hidup singkat beserta Foto diri dan nomor telepon yang bisa dihubungi.

**) Naskah dikirim ke alamat e-mail: [email protected]

**) Redaksi berhak tidak menayangkan opini yang dikirim apabila tidak sesuai dengan kaidah dan filosofi TIMES Indonesia.

**) Ikuti berita terbaru TIMES Indonesia di Google News klik link ini dan jangan lupa di follow.

Advertisement



Editor : Faizal R Arief
Publisher : Sholihin Nur

TERBARU

Togamas - togamas.com

INDONESIA POSITIF

KOPI TIMES