Kopi TIMES

Catatan Yaqud Ananda Gudban: Hawa Panas Pandemi Covid di Tengah Keluarga

Kamis, 02 September 2021 - 10:13 | 89.89k
Yaqud Ananda Gudban. (FOTO: Okezone)
Yaqud Ananda Gudban. (FOTO: Okezone)

TIMESINDONESIA, JAKARTA – Tahun ajaran baru telah dimulai. Semua kalangan menyoroti efektivitas metode belajar jarak jauh. Hanya sedikit yang cukup punya perhatian bahwa kembalinya anak-anak ke rutinitas belajar juga berdampak psikologis terhadap relasi anak dan orang tua. 

Dampak yang harus kita akui, memanaskan suasana batiniah antar anggota keluarga alias family burnout.

Dewasa ini, sebagai imbas pola hidup yang berubah tajam sejak mewabahnya Covid-19, hampir bisa dipastikan anak-anak sering bersitegang dengan ayah bundanya. Mulai dari cekcok mulut, hingga benturan yang lebih nyata warna pidananya.

Anak-anak yang bersitegang dengan orang tuanya pun tak lagi mutlak dicap sebagai anak durhaka. Toh orang tua juga yang memberikan kesempatan kepada anak-anak untuk banyak-banyak mencari pengetahuan baru. Juga ayah bunda yang mendidik darah daging mereka agar berani bicara, mengemukakan pendapat.

Eksesnya, itu tadi. Alur berpikir anak dan orang tua bisa saja bersilangan. Sikap terhadap suatu persoalan juga tak lagi seiring sejalan. 

Di lingkup masyarakat, standar kepatutan pun sudah berubah. Takaran tentang wajar atau durhakanya anak tak lagi sama dengan tempo doeloe. Kalau dulu yang ada (boleh) hanyalah orang tua memarahi anak. Kini kebalikannya, anak memarahi orang tua nampaknya "ya, begitulah adanya".

Potret tentang hawa panas antara anak dan orang tua tercermin, antara lain, pada survei OnePoll. Tahun 2018, lembaga riset itu menyigi ribuan orang tua dengan anak berusia dua hingga delapan belas tahun. 

Dalam kurun tersebut, diestimasi 4200 kali anak ribut dengan orang tuanya. Rata-rata 5 pertengkaran per pekan dan angka itu terus mendaki seiring bertambahnya usia anak. 'Beruntung', ronde cekcok hanya berlangsung selama 14 menit dan lebih dari 60 persen dimenangkan orang tua. 

Uniknya, cara orang tua memenangkan pertarungan adalah dengan menyogok anak. Misalnya, kesempatan untuk menonton televisi lebih lama, memberikan barang yang diinginkan anak, dan memperbolehkan anak bangun lebih siang. Tujuannya adalah agar anak mengubah perilakunya.

Dari praktik sogokan semacam itu, kalau mau jujur, sebetulnya orang tua kalah. Orang tua gagal meyakinkan anak bahwa perubahan perilaku akan berfaedah positif bagi anak sendiri. 

Jadi, ketika anak mengubah tindak-tanduknya, sesungguhnya itu bukan karena orang tua berhasil menjinakkan darah dagingnya. Melainkan karena anak berhasil mendiktekan keinginannya pada orang tuanya. 

Ibaratnya, kendati orang tua berjaya dalam sebuah operasi penyerbuan, tapi secara keseluruhan perang dimenangkan anak.

Apa yang dikabarkan media terkait kehidupan anak-anak juga sangat mungkin menambah siraman bensin ke dalam relasi anak dan orang tua. Pemberitaan tentang kejahatan seksual terhadap anak, misalnya, akan diserap orang tua sebagai alasan untuk melakukan restriksi lebih ketat terhadap anak-anak.

Anak-anak, terlebih remaja yang bermoto vivere pericoloso, boleh jadi akan bereaksi. Termasuk menentang peraturan yang orang tua tetapkan. Ringkasnya, pada satu sisi, orang tua memperlihatkan kewenagannya. Sementara, pada sisi lain, anak juga menunjukkan jati dirinya sebagai makhluk yang (bergerak ke) otonom.

Kondisi terkarantina di masa pandemik Covid-19 juga mempertinggi kemungkinan benturan antara anak dan orang tua. Kejenuhan dan beraneka bentuk keterbatasan hidup membuat kedua pihak lebih gampang tersulut. Tak ayal, kekerasan rumah tangga patut dikhawatirkan juga telah menjadi wabah.

Berhadapan dengan realitas sedemikian rupa, publik seketika diingatkan akan istilah "hak anak" atau "kepentingan anak". Istilah itu tercantum dalam Undang-Undang Perlindungan Anak. Di pasal lain bahkan ditegaskan bahwa anak berhak didengar pendapatnya.

Pada saat yang lama, ada satu sebutan yang tak begitu akrab di telinga masyarakat. Yaitu, hak orang tua atau kepentingan orang tua. Padahal, kendati implisit, sebutan itu ada di balik pasal tentang hak anak untuk berpendapat tadi. Pasalnya, hak anak tersebut tidak disertai dengan kewajiban bagi orang tua untuk memenuhi atau mengiyakan kehendak si anak. 

Dengan kata lain, Undang-Undang sebatas memberikan ruang kepada anak untuk menyampaikan isi pikiran dan perasaannya. Namun ketika tiba waktunya untuk membuat keputusan, termasuk menentukan arah hidup anak, orang tualah yang memegang hak untuk itu.

Sampai di situ saya tidak bermaksud memperpanjang kemelut antara anak dan orang tua. Memandangnya secara positif, hingga derajat tertentu, perselisihan antara anak dan orang tua bisa dijadikan sebagai proses pematangan antara ayah, bunda, dan buah hati mereka. 

Seperti kata orang, setiap insan pasti pernah marah dan bersitegang, namun ke mana arah amarah itu akan menjadi penentu konstuktif atau destruktifnya persitegangan itu. Amarah, berarti keterlibatan emosi secara mendalam, justru menandakan keterlibatan penuh anak dan orang tua dalam objek perselisihan mereka. 

Keterlibatan emosi seperti itu memungkinkan mereka mengambil langkah atau jalan keluar yang lebih otentik dan konstruktif atas masalah yang anak dan orang tua pertikaikan.

Cekcok anak beranak, dengan demikian, tidak melulu pasti berujung dengan penjarakan (distancing) satu sama lain. Perang mulut justru berpeluang menjadi momentum yang kian mendekatkan ayah bunda dan darah daging mereka.

Alhasil, tulisan ini ingin saya akhiri dengan ajakan realistis. Yaitu, betapa pun kita bersepakat bahwa kehidupan di dalam rumah harus menggembirakan dan menenteramkan, namun tempo-tempo orang tua dan anak perlu membuka diri untuk pertengkaran. Pada isu apa, berapa lama, dan bagaimana pola pengekspresian amarah satu sama lain yang dibolehkan, itulah yang perlu disepakati oleh orang tua dan anak. 

Silakan duduk berhadap-hadapan. Semoga tidak buru-buru gebrak meja. (*)

 

*) Penulis: Yaqud Nanda Gudban 

*) Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggung jawab penulis, tidak menjadi bagian tanggung jawab redaksi timesindonesia.co.id. Tulisan ini dilakukan re-write oleh redaksi dari tulisan tangan penulis.

**) Ikuti berita terbaru TIMES Indonesia di Google News klik link ini dan jangan lupa di follow.

Advertisement



Editor : Deasy Mayasari
Publisher : Lucky Setyo Hendrawan

TERBARU

Togamas - togamas.com

INDONESIA POSITIF

KOPI TIMES