Kopi TIMES

Kiai Agung Rabah, Dua Kerajaan dan Akhlak Pencari Ilmu

Kamis, 02 September 2021 - 01:11 | 381.34k
Abdul Hamid Al-mansury; Alumni IAI Tazkia Bogor; Keturunan Ke-14 Kiai Abdul Qidam Arsojih.
Abdul Hamid Al-mansury; Alumni IAI Tazkia Bogor; Keturunan Ke-14 Kiai Abdul Qidam Arsojih.

TIMESINDONESIA, BOGOR – Jika Anda berkunjung ke Pamekasan, Madura, sempatkanlah untuk berziarah ke makam Syekh Yang Agung dan Alim Abdurrahman Rabah. Letaknya tak jauh dari monumen Arek Lancor kabupaten Pamekasan, sekitar 6 KM, bisa ditempuh dalam waktu 11 menit ke arah tenggara menggunakan kendaraan bermotor, tepatnya di dusun Rabah, desa Sumedangan, kecamatan Pademawu, kabupaten Pamekasan. Di samping kompleks pemakaman itu terdapat Pondok Pesantren Syekh Abdurrahman yang diasuh oleh Bindara Abdul Hamid Ahmad (Kiai Rabah IX).

Kiai Agung Rabah merupakan laqab (panggilan/julukan) bagi Syekh Abdurrahman. Ketaatan kepada gurunya, Kiai Aji Gunung Sampang, tidak diragukan lagi, beliau melaksanakan perintah gurunya untuk bertapa dan menetap di hutan Rabah yang pada saat itu terkenal dengan hutan yang angker dan banyak binatang buasnya. Jadi, karena itulah Syekh Abdurrahman dijuluki Kiai Agung Rabah. Kemudian nama kehormatan itu digunakan oleh penerusnya sampai hari ini.

Kiai Agung Rabah berasal dari desa Sendir, kecamatan Lenteng, kabupaten Sumenep, Madura. Beliau adalah putra dari Kiai Abdullah (Kiai Sendir III) bin Kiai Abdurrahim (Kiai Sendir II) bin Kiai Kumbakara (Kiai Sendir I) bin Kiai Rahwan Sendir bin Kiai Andasmana bin Pangeran Bukabu bin Pangeran Mandaraga bin Panembahan Kali Jaga bin Sunan Kudus.

Jadi, secara garis silsilah Kiai Agung Rabah adalah keturunan ke-9 dari salah satu Wali Songo di tanah Jawa yaitu Sayyid Ja’far Shadiq alias Sunan Kudus. Sejak kecil, Kiai Agung Rabah terkenal dengan karomahnya yang setiap ucapannya bisa menjadi kenyataan. Saat menginjak dewasa, beliau nyantri kepada Kiai Imam Pandian, Sumenep kemudian berguru kepada cucu Sunan Kudus, Kiai Khotib Sendang, Pragaan, Sumenep dan akhirnya menimba ilmu kepada Kiai Aji Gunung Sampang.

Kiai Agung Rabah merupakan tokoh penting dalam lintasan sejarah Madura terutama di kabupaten Pamekasan dan Sumenep. Beliau menetap di Pamekasan pada zaman pemerintahan Raja Ronggosukowati yang memerintah sejak tahun 1530-1624, seorang raja muslim dari negeri Pamelingan (sekarang Pamekasan) yang mengantikan ayahnya Raja Nugroho alias Raja Bonorogo.

Sejarah Kiai Agung Rabah dan Raja Ronggosukowati yang paling terkenal adalah ketika terjadi kemarau panjang (nemor kara). Pada saat itu wilayah Kerajaan Pamelingan tidak diguyur hujan selama tiga tahun, menurut versi lain menyebutkan tujuh tahun. Musibah itu menyebabkan rakyat sengsara seperti gagal panen, sakit hingga kematian karena kelaparan.

Sang Raja kemudian mendapatkan wangsit bahwa wilayah kekuasaannya tidak akan diguyur hujan selama Sang Petapa di hutan Rabah tidak menghentikan laku tapanya. Namun, Sang Petapa itu tidak bisa memohonkan turun hujan kepada Allah SWT selama Sang Petapa tidak memiliki tempat untuk berteduh apabila turun hujan. Akhirnya, pihak kerajaan bersedia membuatkan rumah untuk Sang Petapa tersebut.

Saat atap terakhir selesai dipasang, wilayah kerajaan Pamelingan diguyur hujan deras selama 41 hari 41 malam tanpa henti. Banjir dimana-mana tidak terhindarkan. Kemudian Raja Ronggosukowati memerintahkan petinggi kerajaan untuk sowan kepada Kiai Agung Rabah supaya beliau bersedia memohon kepada Allah SWT agar hujan yang membuat balai kerajaan terendam banjir itu segera berhenti. Hujan pun reda. Akhirnya, setelah peristiwa tersebut, musim kemarau dan hujan bergantian sesuai dengan peredaran musim serta negeri Pamelingan menjadi negeri yang subur dan makmur. Selain itu, banyak orang berdatangan ke Rabah untuk nyantri kepada Kiai Agung Rabah.

Sudah menjadi fakta tahunan bahwa setiap musim kemarau dibeberapa titik daerah di kabupaten Pamekasan, terutama wilayah pantura, mengalami kesulitan air bersih baik untuk kebutuhan minum, memasak, mandi, mencuci, pertanian, ternak dan lain sebagainya. Alhasil, masyarakat yang mengalami kesulitan air itu harus membeli air yang harga per tangkinya tidaklah  murah.

Begitupun saat musim hujan yang apabila wilayah Pamekasan diguyur hujan deras semalaman/seharian atau beberapa jam saja akan membuat beberapa titik daerah di Pamekasan tergenang banjir, misalnya pada awal tahun 2021 ini Pamekasan mengalami musibah banjir hingga Gubernur Jawa Timur Khofifah Indar Parawansa turun langsung  ke Pamekasan untuk menangani musibah tersebut. Jadi, siapapun bupatinya di kabupaten Pamekasan ini harus melakukan mitigasi bencana kekeringan atau banjir sebelum musibah yang lebih besar benar-benar terjadi.

Lalu bagaimana hubungannya dengan kerajaan di ujung timur pulau Madura, Sumenep? Dikisahkan bahwa sebelum Kiai Agung Rabah wafat, beliau berkata kepada Kiai Abdul Qidam Arsojih (santri, paman sepupu sekaligus iparnya) bahwa keturunannya akan menjadi pemimpin tinggi negara dan menjadi orang yang mulia ditengah-tengah masyarakat. Terbukti. Pada tanggal  30 April 1751, Bindara Saod (Tumenggung Ario Tirtonegoro) bin Kiai Abdullah Batu Ampar bin Kiai Abdul Qidam Arsojih diangkat menjadi Raja Sumenep. Sejak saat itulah kerajaan Sumenep dipimpin oleh keturunan Kiai Abdul Qidam Arsojih hingga tujuh turunan atau sampai berakhirnya sistem monarkhi di Sumenep pada tahun 1929.

Sebagai bentuk penghormatan Raja Sumenep, Bindara Asiruddin (Tumenggung Notokusumo I/Panembahan Sumolo) bin Bindara Saod membangun makam Kiai Agung Rabah dan istrinya Nyai Agung Rabah (Dewi Kebhun). Bangunan makam tersebut secara relief dan ornamennya mirip dengan kompleks pemakaman kerajaan Sumenep yaitu Asta Tinggi Sumenep.

Mula-mula Tumenggung Notokusumo I mengganti batu nisan yang menurut Kiai Rabah IX diimpor dari Cina dan terbuat dari giok liontin. di batu nisan Kiai Agung Rabah terdapat prasasti yang ditulis dalam bahasa Arab yang artinya 'ini makamnya Syekh yang Agung dan Alim semoga Allah SWT memberikan rahmat kepadanya bernama Kiai Rabah, tokoh yang memberi batu nisan ini bernama Tumenggung Notokusumo seorang raja di Negeri Sumenep pada tahun 1187 H (1773/1774 M)'.

Sedangkan di batu nisan Nyai Agung Rabah tertulis dalam bahasa Arab pegon yang artinya 'ini makamnya Kanjeng Nyai Agung Rabah, nisan ini dibangun oleh Yang Mulia Kanjeng Pangeran Notokusumo di Negeri Sumenep pada tahun 1200 H (1786 M)'. Pada tahap berikutnya, dibangunlah pagar tembok setinggi satu meter dengan pintu kecil yang apabila peziarah memasukinya harus merunduk.

Bangunan makam Kiai Agung Rabah memiliki makna filosofis bagi setiap orang yang berziarah terutama bagi para penuntut ilmu. Pertama, Pintu kecil mengajarkan kita untuk berakhlak mulia seperti bersikap sopan santun, rendah hati (tidak sombong) dan seterusnya. Sikap tersebut adalah salah satu yang diperlukan untuk bisa belajar. Rasulullah Muhammad SAW masih diajari Allah SWT agar selalu berdoa 'dan katakanlah Muhammad, Ya Tuhan ku tambahilah ilmuku' (QS 20:114).

Mengapa demikian? karena 'di atas setiap orang yang mempunyai ilmu pengetahuan ada Dia Yang Maha Tahu' (QS 12:76). Kedua, pagar tembok yang rata melambangkan bahwa setiap orang yang beragama Islam itu sama-sama memikul kewajiban untuk menuntut ilmu. Ketiga, tidak ada atap makam. Artinya, ilmu dari Allah itu luas, tidak ada batasnya.  Maka, kita tidak boleh menutup diri dari perkembangan ilmu pengetahuan dan harus mengejarnya dan mencarinya kemanapun kita harus pergi.

***

*) Oleh: Abdul Hamid Al-mansury; Alumni IAI Tazkia Bogor; Keturunan Ke-14 Kiai Abdul Qidam Arsojih.

*) Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggung jawab penulis, tidak menjadi bagian tanggung jawab redaksi timesindonesia.co.id

***

**) Kopi TIMES atau rubrik opini di TIMES Indonesia terbuka untuk umum. Panjang naskah maksimal 4.000 karakter atau sekitar 600 kata. Sertakan riwayat hidup singkat beserta Foto diri dan nomor telepon yang bisa dihubungi.

**) Naskah dikirim ke alamat e-mail: [email protected]

**) Redaksi berhak tidak menayangkan opini yang dikirim apabila tidak sesuai dengan kaidah dan filosofi TIMES Indonesia.

**) Ikuti berita terbaru TIMES Indonesia di Google News klik link ini dan jangan lupa di follow.

Advertisement



Editor : Ronny Wicaksono
Publisher : Lucky Setyo Hendrawan

TERBARU

Togamas - togamas.com

INDONESIA POSITIF

KOPI TIMES