Kopi TIMES

Pahlawan Kemanusiaan dan Spiritualitas 'Al-Hikam' di Tengah Pandemi

Rabu, 01 September 2021 - 18:15 | 78.78k
M. Nur Fauzi S.HI., M.H; Dosen Institut Agama Islam (IAI) Darussalam Blokagung Banyuwangi.
M. Nur Fauzi S.HI., M.H; Dosen Institut Agama Islam (IAI) Darussalam Blokagung Banyuwangi.

TIMESINDONESIA, BANYUWANGI – Wabah Covid-19 masih menghantui dan merebak di berbagai negara di dunia. Masyarakat dunia tidak kenal lelah dan saling bahu membahu berupaya keluar dari keganasan wabah virus yang mematikan itu. 

Berbagai negara yang dilanda wabah Covid-19 menerapkan strategi dan upaya preventif dalam mencegah menyebarnya virus korona. Dibutuhkan kepedulian dari berbagai pihak untuk mencegah dan meminimalisir penyebaran virus ini. 

Pemerintah dan masyarakat harus saling bersinergi untuk menahan laju gerak virus tersebut yang terus menggerus denyut nadi peradaban umat manusia. Meski korban terus berjatuhan, namun umat manusia mendapatkan pelajaran berharga dari munculnya virus korona. 

Nasib sepenanggungan dan seperjuangan membuahkan kuatnya rasa persatuan dan solidaritas kemanusiaan universal. Wujud nyata solidaritas kemanusiaan universal ini terlihat dari kerja nyata para tenaga kesehatan (nakes) yang bekerja tak kenal lelah membantu masyarakat keluar dari keganasan wabah yang mengglobal tersebut.

Kegigihan, keuletan, dan kesabaran para tenaga kesehatan (nakes) dan sukarelawan seakan-akan menggambarkan isi hati dan kesatupaduan rasa antar sesama sebagai anak bangsa. Para sukarelawan dan nakes adalah mereka yang dengan gagah berani layaknya prajurit yang maju dalam medan pertempuran yang sarat dengan aroma bau kematian. Nyawa mereka sendiri seakan-akan tidak dipedulikan lagi demi kesehatan sesama. Kelelahan tak dirasakan meski berada dalam sengatan matahari dan sesaknya alat pelindung diri (APD). 

Dalam konteks ini tidak berlebihan jika mereka dikatakan sebagai pahlawan kemanusiaan. Mereka tidak kenal lelah dan selalu mengingatkan kepada masyarakat agar tidak putus asa dan selalu menjaga serta waspada terhadap penyebaran dan penularan virus ini. Apa yang mereka lakukan merupakan bagian dari ikhtiar atau usaha yang harus dilakukan sebagai seorang hamba ketika memperoleh ujian dari Sang Khalik. Usaha atau ikhtiar ini pun harus dilandaskan pada sebuah niat yang ikhlas dan penuh ketulusan. Ikhlas mengabdi pada sesama tanpa memandang aspek-aspek lahiriyah makhluk Tuhan yang berbeda-beda. 

Keikhlasan mengabdi inilah yang menunjukkan kualitas dan nilai iman sang hamba di hadapan Tuhannya. Dalam hal ini seorang ulama Sufi besar berkebangsaan Mesir, Ibnu Athaillah al-Askandari menyatakan dalam karya monumentalnya 'Syarh al-Hikam' mengenai perlunya seorang hamba untuk menyerahkan secara total dirinya kepada Sang Khalik dalam setiap gerak langkah kehidupannya baik lahiriyah maupun batiniyah.

Dalam barisan mutiara-mutiara 'Al-Hikam'-nya Ibnu Athaillah berpesan 'idfin wujudaka fi al-ardli al-khumul'. Artinya kuburlah/pendamlah dirimu dalam bumi kekosongan. Landasilah setiap perkataan dan perbuatan kita dengan sebuah niat ketulusan dalam mengabdi dan menghamba kepada Tuhan. Murni tanpa embel-embel apa pun di belakangnya. 

Salah seorang intelektual Islam Indonesia yang sangat antusias dan apresiatif sekali terhadap karya Ibnu Athaillah, 'Al-Hikam' itu adalah Abdurrahman Wahid atau yang lebih dikenal dengan Gus Dur. Dalam menyelami luasnya dunia spiritualitas Gus Dur menyatakan bahwa 'guru spiritualitas saya adalah realitas dan guru realitas saya adalah spiritualitas'. 

Dalam khazanah tasawuf, kualitas pemikiran dan spiritual seorang Gus Dur dipandang oleh sebagian kalangan sebagai sebuah pemikiran sufistik yang dalam wilayah tertentu—sosiologi tasawuf—dianggap sebagai 'sesuatu yang menyelisihi kebiasaan umum'. Kalangan masyarakat baik abangan maupun santri memiliki pandangan beragam terhadap pemikiran sufistiknya. Kebanyakan mereka meyakini bahwa pemikiran sufistiknya memiliki visi dan jangkauan sangat jauh ke depan.

Visi pemikirannya yang jauh ke depan ini tidak bisa dilepaskan dari perjalanan panjang spiritual dan sosial kehidupannya. Perjalanan ini melibatkan pribadi Gus Dur yang  berawal sebagai seorang santri, kiai, budayawan, seniman, politisi, pemikir, pembaharu, dan intelektual muslim yang mampu mereaktualisasikan khazanah tradisional dalam dialog kosmopolitan di era modern.  

Menurut Abdul Wahid Hasan (2015) pemikiran mistik dan sufistiknya yang sedemikian kuat tersebut, dilandaskan pada spiritualitas yang sangat kaya dengan kebebasan, kemerdekaan, dan penghargaan terhadap manusia dan kemanusiaan. Penghargaan yang tinggi akan nilai-nilai kemanusiaan inilah yang membuat Gus Dur dikenal sebagai seorang humanis. 

Oleh karena itulah di berbagai kesempatan Gus Dur selalu menekankan keutamaan nilai-nilai kemanusiaan tersebut. Mengenai pentingnya pembumian nilai-nilai kemanusiaan ini, menurut Gus Dur (2006) bahwa perjuangan sosio-kultural untuk membangun sistem yang menyejahterakan rakyat secara keseluruhan merupakan jalan tertinggi, dan lebih cepat sampai kepada Tuhan daripada melalui jalan ritual-individualistik semata. Ia juga pernah menyatakan memuliakan manusia berarti memuliakan Sang Pencipta.

Pernyataan Gus Dur di atas menunjukkan bahwa jalan menuju Tuhan tidak hanya melalui ibadah yang bersifat normatif-ritualistik semata. Sebaliknya, Gus Dur meyakini bahwa transformasi sosial merupakan jalan menuju Tuhan yang tak kalah nilainya. Karena menurut Gus Dur, dengan berkontribusi positif terhadap manusia yang lain berarti telah memuliakan pencipta manusia itu sendiri yakni Tuhan. Gus Dur memuliakan manusia karena Tuhan sendiri yang telah memulainya lebih dulu sebagaimana termaktub dalam kitab sucinya. Dan Tuhan pun memuliakan dan sayang kepada Gus Dur karena kedalaman dan kekayaan 'ruang batin' spiritualitasnya.

Dalam tulisannya Mencegat Lompatan-lompatan Gus Dur: Tinjauan Sufisme Al-Hikam, M. Lukman Hakim (1998) menuturkan dengan sangat apik 'ruang batin spiritualitas' Gus Dur yang selalu bergemuruh cintanya kepada Sang Khalik, dan Sang Khalik-pun memburunya, 'Gus Dur 'dicari' Tuhan, dan ditemukan di lorong-lorong kebudayaan, di ketiak orang-orang miskin, dalam aliran derasnya keringat para buruh.

Allah menemukan Gus Dur dalam alunan musik klasik, di gedung-gedung bioskop dan di tengah-tengah suporter sepakbola. Gus Dur diburu Tuhan, ketika berada di sela-sela kolom surat kabar dan majalah, bahkan diburu sampai ke Israel dan Bosnia. Dan Gus Dur 'ditangkap' Allah, ketika pandangan matanya sudah setengah buta, ketika merunduk tersenguk-senguk di makam-makam para Auliya. Sayang, Allah memeluk Gus Dur ketika Gus Dur sudah 'gila', dan memimpin barisan orang-orang yang 'gila' kepadanya.'

 Apa yang diteladankan Gus Dur tersebut merupakan laku tasawuf sosial yang bernilai dan berkontribusi positif di ranah sosial kemasyarakatan. Dan kini, di masa pandemi, teladan itu sepertinya telah dilakukan oleh para tenaga medis dan sukarelawan dalam membantu menekan penyebaran dan penularan virus korona. Mereka bekerja dan berjuang demi eksistensi umat manusia yang menjadi mesin penggerak lajunya sebuah peradaban.   

Para penyintas Covid-19 berjalan terseok-seok di tengah cercaan dan pujian sekaligus. Dengan keuletan dan kesabaran mereka mendatangi warga desa—bahkan hingga di pelosok dan pedalaman desa—dan mengajak untuk ikut dalam program vaksinasi pemerintah. 

Vaksinasi merupakan bentuk ikhtiar dari kita sebagai makhluk Tuhan. Dalam konteks Islam, sebagaimana termaktub dalam Al-Qur’an, jika Allah sendiri memuliakan manusia, maka sudah seharusnya, manusia melaksanakan perintah itu sebagai wujud nyata perintah-Nya dan bentuk kepedulian antar sesama sebagai makhluk sosial. 

Pada ranah ini, dimensi kekayaan keilmuan tasawuf menunjukkan elan vitalnya dalam membangun peradaban umat manusia. Tidak hanya bernilai bagi kearifan individual (individual wisdom), tetapi juga berguna untuk menebar kesalehan atau kearifan sosial (social wisdom).     

***

*) Oleh: M. Nur Fauzi S.HI., M.H; Dosen Institut Agama Islam (IAI) Darussalam Blokagung Banyuwangi.

*) Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggung jawab penulis, tidak menjadi bagian tanggung jawab redaksi timesindonesia.co.id

***

**) Kopi TIMES atau rubrik opini di TIMES Indonesia terbuka untuk umum. Panjang naskah maksimal 4.000 karakter atau sekitar 600 kata. Sertakan riwayat hidup singkat beserta Foto diri dan nomor telepon yang bisa dihubungi.

**) Naskah dikirim ke alamat e-mail: [email protected]

**) Redaksi berhak tidak menayangkan opini yang dikirim apabila tidak sesuai dengan kaidah dan filosofi TIMES Indonesia.

**) Ikuti berita terbaru TIMES Indonesia di Google News klik link ini dan jangan lupa di follow.

Advertisement



Editor : Ronny Wicaksono
Publisher : Sholihin Nur

TERBARU

Togamas - togamas.com

INDONESIA POSITIF

KOPI TIMES