Kopi TIMES

Perbankan Tak Peduli Masyarakat?

Rabu, 01 September 2021 - 05:30 | 62.25k
Abd. Aziz, Founder PROGRESIF LAW Jakarta, Ketua Gerakan Masyarakat Perangi Korupsi (GMPK) Malang Raya.
Abd. Aziz, Founder PROGRESIF LAW Jakarta, Ketua Gerakan Masyarakat Perangi Korupsi (GMPK) Malang Raya.

TIMESINDONESIA, MALANG – Sahabat. Diskusi soal perbankan (yang) tak peduli pada masyarakat di masa Corona Virus Disease yang teridentifikasi sejak 31 Desember 2019 (Covid-19) menarik dikaji. 

Bentuk ketidakpedulian itu tergambar dalam aksi penagihan angsuran Kredit Pemilikan Rumah (KPR) maupun kredit kendaraan bermotor serta penerapan denda keterlambatan yang terus dijalankan dengan prinsip keuntungan, laba yang harus diperoleh. 

Tak mengenal istilah adaptasi apalagi kompromi dengan masyarakat! Perbankan berdalih tak ada kebijakan dari Pusat. Itu narasi besarnya.

Jujur, sekira pekan lalu penulis berkesempatan mendampingi masyarakat di suatu Bank ternama di kawasan Jawa Timur. Apakah nunggak KPR? Tidak! Kronologinya begini. Ada denda keterlambatan pembayaran angsuran melalui debet rekening di bulan tertentu sebesar Rp.60.000,-. Iya. Enam puluh ribu rupiah!

Pada dasarnya, nasabah sudah memasukkan dana ke rekening pribadi yang biasa dilakukan pendebetan. Tetapi, Bank tak juga mendebet (mengambil) hingga dua bulan berjalan.

Akibatnya, nasabah kerap mendapatkan short message (SMS) dan dan WhatsApp dari petugas Bank soal denda tersebut. Sedang akibat fatalnya, performa nasabah tergolong "buruk" dalam riwayat kredit debitur, rekam otoritas jasa keuangan (OJK), yang lazim disebut BI Checking.

Kembali ke masalah denda nasabah yang tidak didebet-debet. Apa kata Bank? Mereka katakan, harus bayar langsung ke Bank. 

Penulis meminta nasabah untuk melakukan pembayaran ke Bank terdekat. Di luar dugaan, ternyata Bank Unit terdekat menolak menerima pembayaran dengan alasan tak punya kewenangan. "Untuk pembayaran denda, harus dilakukan melalui Bank Cabang (Pusat)," sarannya pada nasabah.

Akhirnya, penulis sarankan ke nasabah untuk sabar mengikuti arahan Bank. Keesokan harinya, nasabah bergegas ke Bank yang ditunjuk.

Setibanya di Bank Cabang (Pusat), nasabah menemui petugas. Karena tak bawa uang cash, nasabah minta agar diperbolehkan membayar dengan cara gesek anjungan tunai mandiri (ATM).

Apa yang terjadi? Bank kembali menolak untuk merima pembayaran dengan alasan, rekening ATM nasabah adalah antar Bank atau merupakan rekening Bank lain. Kesimpulannya, bisa membayar denda dengan gesek ATM namun harus rekening Bank yang sama! 

Petugas Bank menyarankan agar nasabah melakukan penarikan di ATM Bank di lingkungan perbankan sambil menunjuk lokasi ATM. Nasabah bersegera melakukan penarikan. Dengan demikian, dikenakan biaya penarikan Bank lain, bukan?

Kemudian, saat kembali ke teller untuk melakukan pembayaran, petugas menyampaikan hal yang mengejutkan. "Jika Bapak bayar melalui teller (uang cash), nasabah dikenakan biaya administrasi sebesar Rp.25.000,-" kata petugas dengan mimik meyakinkan.

Saat menyaksikan dan mendengar praktik yang menurut penulis tergolong janggal di depan mata, mulut tak lagi terkunci, dan spontan berkata. "Tidak masuk akal, ini Bank! Nasabah dipingpong dari Bank satu ke Bank lain. Untuk sekadar membayar denda harus dikenakan biaya yang tidak kecil," ungkap penulis dengan nada tinggi.

Mendengar pernyataan penulis, dengan santai-nya, petugas Bank itu minta maaf. Menurutnya, ia hanya menjalankan tugas yang ada di sistem perbankan. "Aturan itu dari Pusat. Kami tak bisa berbuat apa-apa. Mohon maaf atas ketidaknyamanannya". Demikian tutur petugas Bank.

"Ini nasabah mau bayar denda, sulitnya luar biasa!" tandas penulis bersungut-sungut. Tak ayal, penulis kian emosi, naik pitam! Kemudian, penulis menelepon Kepala Cabang agar bersedia datang ke teller dengan harapan, menyelesaikan kerumitan yang terjadi.

Kepala Bank pun datang, dan bertanya ke petugas. "Nasabah sudah dilayani dengan baik? Kok ada biaya administrasi? Apa ada aturannya?" tanya Pimpinan Bank penasaran. Sang teller menjawab, "Ada, Pak," jawabnya sambil menunjukkan layar komputer di meja teller. 

Singkat cerita, penulis tak tahan dengan penjelasan Bank yang bertele-tele. Penulis pun menaikkan nada bicara di hadapan Kepala Bank. Security Bank berdatangan mendekat. Penulis menoleh pada petugas keamanan yang berjarak sekitar tiga meter itu.

Penulis yang beberapa pekan lalu diajak berdiskusi oleh masyarakat sipil di kawasan Dau dan Joyo Agung, Malang seputar perbankan yang tak peduli pada masyarakat di masa Covid-19, bicara panjang lebar. Mulai soal kepemimpinan, kebijakan, situasi pandemi, dan bagaimana sejatinya perbankan. 

Bagaimana respon Pimpinan Bank? Diam terpaku! Mereka hanya mengulang kalimat. "Minta maaf Bapak, kami hanya melaksanakan tugas dari Pusat. Jika Pusat mengeluarkan kebijakan seperti disinggung tadi, kami pasti ikuti," urainya tanpa ada solusi bagi nasabah.

Sekitar satu jaman penulis berada di Bank. Di ujung perdebatan soal bagaimana seharusnya perbankan bisa adaptif di masa pandemi ini, penulis bergumam pelan. 

Pertama, di masa Covid-19 seperti sekarang, Bank tak peduli dengan situasi dan kondisi masyarakat yang bisa makan saja, sudah bersyukur. Mengapa tetap mengeruk keuntungan sebesar-besarnya, seperti tak terjadi pandemi.

Kedua, di Perguruan tinggi negeri saja, saat ini harus adaptif dengan situasi dan kondisi pandemi. SPP atau UKT, itu wajib bayar. Namun, saat ada mahasiswa yang tidak mampu, penulis memberi masukan pada pihak kampus, langsung diambil kebijakan. Menurunkan besaran biaya kuliah mulai 15% sampai dengan 60%.

Ketiga, perbankan memilih tutup mata! Tak bisakah sedikit saja mencoba merasakan apa yang dirasakan masyarakat. Kita harus peka dan sensitif pada keadaan ekonomi masyarakat yang tak menentu. Bahkan, untuk hidup sehari-hari, membiayai putra-putrinya yang sekolah dan kuliah, kerepotan tak karuan.

Alhasil, nasabah tak bersedia membayar biaya administrasi pembayaran denda KPR, dan memilih pulang dengan membawa sepucuk keterangan yang berisi syarat-syarat untuk  dapat membayar di Bank terdekat tanpa harus membayar biaya atas denda tersebut.

Kawan. Inilah fakta dan realitas dunia perbankan yang menganga di depan kita. Ingat, peristiwa di atas bukan tentang tertunggak-nya KPR. Ini soal mau bayar denda yang tak diambil-ambil di rekening nasabah dan diharuskan membayar biaya administrasi pembayaran denda. Belum masalah kewajiban membayar angsuran yang tidak boleh tidak harus dibayar dengan tepat waktu. Bisa dibayangkan tingkat kerumitannya!

Penulis hanya bisa mengelus dada, dan terpaksa berkata, ya sudahlah. Nanti penulis coba cari jalan lain. Khususnya, bagaimana mengakomodir keluhan masyarakat luas yang memiliki tanggungan KPR dan kredit kendaraan bermotor. 

Terakhir, penulis berharap, pemerintah melalui otoritas jasa keuangan (OJK) yang bertugas melakukan pengaturan dan pengawasan terhadap kegiatan jasa keuangan di sektor perbankan,  merespon hal yang sangat penting, dekat dan berhubungan langsung dengan masyarakat ini. 

Kasihan masyarakat, khususnya mereka yang tercatat sedang memiliki kewajiban pembayaran angsuran KPR dan kredit kendaraan bermotor. Jika tidak, penulis mempertimbangkan untuk mengambil upaya hukum class action atau gugatan kelompok demi terwujudnya keadilan masyarakat. Semoga! (*)

***

*) Oleh: Abd. Aziz, Founder PROGRESIF LAW Jakarta, Ketua Gerakan Masyarakat Perangi Korupsi (GMPK) Malang Raya.

*) Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggung jawab penulis, tidak menjadi bagian tanggung jawab redaksi timesindonesia.co.id

***

**) Kopi TIMES atau rubrik opini di TIMES Indonesia terbuka untuk umum. Panjang naskah maksimal 4.000 karakter atau sekitar 600 kata. Sertakan riwayat hidup singkat beserta Foto diri dan nomor telepon yang bisa dihubungi.

**) Naskah dikirim ke alamat e-mail: [email protected]

**) Redaksi berhak tidak menayangkan opini yang dikirim apabila tidak sesuai dengan kaidah dan filosofi TIMES Indonesia.

**) Ikuti berita terbaru TIMES Indonesia di Google News klik link ini dan jangan lupa di follow.

Advertisement



Editor : Imadudin Muhammad
Publisher : Rochmat Shobirin

TERBARU

Togamas - togamas.com

INDONESIA POSITIF

KOPI TIMES