Kopi TIMES

Efektifitas “Crowdfunding” pada Pendanaan Kepemiluan di Indonesia

Selasa, 31 Agustus 2021 - 11:16 | 64.73k
Rahmad Soleh, Mahasiswa S2 Ilmu Hukum di Universitas Islam Malang, Ketua KIPP Kota Probolinggo, pengurus DPD GMNI Jatim periode 2016-2018 
Rahmad Soleh, Mahasiswa S2 Ilmu Hukum di Universitas Islam Malang, Ketua KIPP Kota Probolinggo, pengurus DPD GMNI Jatim periode 2016-2018 

TIMESINDONESIA, MALANG – Bagi sebagian orang, istilah crowdfunding masih belum begitu nyaring terdengar dalam kehidupan sehari-hari. Padahal, istilah ini beberapa hal sempat berlaku di Indonesia. Lalu, apakah yang disebut crowdfunding dan apa untungnya crowdfunding diberlakukan dalam kepemiluan di Indonesia? 

Istilah Crowdfunding berasal dari kata ‘crowd’ yang berarti ramai dan ‘funding’ yang artinya pendanaan, dengan kata lain crowdfunding sendiri merupakan metode pengumpulan dana secara patungan. Hal ini memungkinkan orang-orang untuk mendapatkan dana tanpa melalui pinjaman sama sekali.

Crowdfunding adalah proses untuk mengumpulkan dana yang akan digunakan membangun usaha oleh beberapa orang, dimana dana yang dikumpulkan ini berasal dari publik atau banyak orang. Konsep ini, sejatinya populer di Amerika Serikat pada tahun 2003, melalui situs online Artistshare. Dalam situs tersebut, para musisi berusaha mencari dana dari para penggemarnya agar bisa memproduksi sebuah karya. 

Alhasil, hal itu membuat marak situs-situs crowdfunding lainnya seperti kickstarter yang berkecimpung di pendanaan industri kreatif pada tahun 2009 dan Gofundme yang mengelola pendanaan berbagai acara dan bisnis pada tahun 2010. Crowdfunding di Indonesia memang belum begitu populer, tapi perlu diketahui sudah mulai terlaksana termasuk dalam hal kepemiluan. 

Bicara crowdfunding dalam hal kepemiluan, konsep ini pernah dilakukan Presiden AS Barrack Obama pada tahun 2008 dan 2016. Melalui penggalangan dana crowdfunding, Obama sukses memenangi Pilpres dan cara-cara ini seolah menjadi warisan dimana pada Pilpres 2020, juga diikuti Donald Trump VS Joe Biden, juga menggunakan crowdfunding sebagai sumber dana kampanye. 

Dalam skala pemilu lokal, konsep crowdfunding juga dilakukan pasangan Ahok dan Djarot pada Pilgub DKI tahun 2017. Hasilnya, pendukung mereka mengklaim berhasil meraih 10.385 dengan dana sebanyak Rp. 60,1 miliar. Sedangkan dari partai, Gerindra dan PSI juga pernah melakukan hal ini dalam pendanaan kegiatan mereka. 

Crowdfunding sebenarnya punya nilai positif jika sepenuhnya dilaksanakan dalam pendanaan kepemiluan di Indonesia. Berikut beberapa hal positif itu :

Memutus Peran Oligarki dalam Politik 

Oligarki yang merupakan segala sesuatu yang bersifat kekuasaan dikuasai oleh kelompok tertentu, cenderung menjadi pengendali kebijakan sebuah negara. Melalui crowdfunding, dinilai mampu membatasi peran kelompok-kelompok tersebut. Sebab, dana kampanye berasal dari masyarakat yang tentu memberi beban bagi peserta pemilu bahwa ia besar dan terpilih benar-benar dari rakyat. 

Belom lagi ketika tugas partai politik yang wajib menggelar pendidikan poltik bagi masyarakat. Bantuan politik pada setiap parpol diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 1 Tahun 2018 tentang Bantuan Keuangan kepada Partai Politik, namun dinilai tidak cukup jika harus rutin dilaksanakan. 

Sementara parpol butuh biaya saksi, logistik, kampanye, dan pemenuhan politik uang, belum lagi mahar politik yang masih menjadi trend dalam setiap jenis pemilu. Sehingga, crowdfunding bisa membantu sumber dana parpol untuk menjalankan tugas-tugasnya tidak hanya ketika kampanye saja.

Menghapus Politik Balas Budi 

Tidak bisa kita pungkiri, sumbangan-sumbangan oleh kelompok tertentu maupun perseorangan terutama pemilik modal dinilai punya misi tertentu. Sudah pasti, mereka yang menang merasa ada balas budi atas sumbangan-sumbangan tersebut. Maka tidak heran, balas budi diberikan melalui proyek-proyek, jabatan politis dan kepentingan pragmatis lainnya diberikan sehingga menjebak politisi untuk melakukan korupsi, gratifikasi dan pelanggaran KKN lainnya demi politik balas budi.

Dengan adanya crowdfunding, dimana seluruh masyarakat ikut mensupport terhadap penyelenggaraan pemilu termasuk kampanye, dinilai mampu mengurangi politik balas budi. Tentu, para pemenang pemilu merasa kepentingan rakyat jauh lebih besar dari kepentingan segelintir termasuk politik balas budi.

Crowdfunding Bisa Menghapus Money Politik

Jika biasanya peserta pemilu mengeluarkan budget bagi para pemilih, ini kebalikannya. Para peserta didukung tidak hanya suara, namun sumbangan dana oleh masyarakat. Tentu peserta tidak perlu membeli suara pemilih dengan uang yang hanya pulihan ribu rupiah.

Bahkan ketika terpilih, tidak perlu lagi mengganti uang masyarakat sesuai besaran sumbangan. Namun diganti dengan kebijakan yang berpihak pada rakyat dan sesuai dengan janji-janji kampanye. Sebab, dukungan masyarakat melalui crowdfunding merupakan bentuk apresiasi dan tingginya partisipasi masyarakat dalam pemilu demi terciptanya hasil pemilu yang lebih baik.

Sisi Lain, Crowdfunding Mempunyai Hambatan 

Secara aturan, crowdfunding bisa masuk dalam Undang Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum hanya saja, tiap orang yang memberikan dana dibatasi perseorangan tidak boleh lebih dari Rp 2,5 miliar dan non perseorangan (kelompok, perusahaan, dan/atau badan usaha non pemerintah) tidak boleh lebih Rp 25 miliar. Yakni, pada pasal 525 ayat (1) di mana setiap orang, kelompok, perusahaan/badan usaha non Pemerintah yang memberikan dana kampanye pemilu melebihi batas yang ditentukan diancam pidana penjara maks. 2 tahun, denda maks. Rp 500 juta. 

Dana kampanye pada setiap pemilu, setiap penyumbang dana haruslah melalui rekening resmi yang sudah didaftarkan pada KPU. Namun dengan sistem crowdfunding yang identik melalui virtual account, cenderung tidak semua terdaftar dalam rekening resmi kampanye, hal ini tentu bakal menjadi sorotan PPATK. 

Lalu, bagaimana efektifitas crowdfunding bagi pemilu di Indonesia dengan segala kelebihan dan kekurangannya? Tentu ini kembali pada masyarakat dengan segala memperhatikan aturan yang ada. Kalau crowdfunding didukung oleh semua lapisan masyarakat bagus, namun bagaimana jika hanya didukung oleh pemilik modal? Entahlah, semua kembali ke masyarakat. 

*) Penulis Rahmad Soleh, Mahasiswa S2 Ilmu Hukum di Universitas Islam Malang, Ketua KIPP Kota Probolinggo, pengurus DPD GMNI Jatim periode 2016-2018

*)Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggungjawab penulis, tidak menjadi bagian tanggungjawab redaksi timesindonesia.co.id

*) Kopi TIMES atau rubrik opini di TIMES Indonesia terbuka untuk umum. Panjang naskah maksimal 4.000 karakter atau sekitar 600 kata. Sertakan riwayat hidup singkat beserta Foto diri dan nomor telepon yang bisa dihubungi.

*) Naskah dikirim ke alamat e-mail: [email protected]

*) Redaksi berhak tidak menayangkan opini yang dikirim.

**) Ikuti berita terbaru TIMES Indonesia di Google News klik link ini dan jangan lupa di follow.

Advertisement



Editor : Yatimul Ainun
Publisher : Ahmad Rizki Mubarok

TERBARU

Togamas - togamas.com

INDONESIA POSITIF

KOPI TIMES