Kopi TIMES

Pandemi dan Kerentanan Ganda yang Tersingkir

Sabtu, 28 Agustus 2021 - 17:00 | 60.36k
Astra Tandang, S.IP, Mahasiswa Pascasarjana Ilmu Politik Universitas Nasional, Jakarta.
Astra Tandang, S.IP, Mahasiswa Pascasarjana Ilmu Politik Universitas Nasional, Jakarta.

TIMESINDONESIA, JAKARTA – Bagi siapa saja yang memiliki cukup tabungan, berpenghasilan tetap, dan memiliki cukup sarana untuk bekerja dari rumah, saya ingin berbagai narasi pada Anda sekalian tentang  pandemi dan yang tersingkir. Mereka adalah warga negara yang tidak memiliki privilese seperti Anda. Sebut saja mereka adalah  kelompok marjinal yang di tengah wabah malah mengalami kerentanan ganda. Mereka tidak hanya tereksklusi dari sumber-sumber material, tetapi juga dari kesempatan-kesempatan, pilihan-pilihan, maupun kesempatan hidup yang memungkinkan mereka hidup dengan layak dan bermartabat (Millar, 2007). 

Sejak awal, ketika sekelompok orang mengalami peliyanan baik dari masyarakat, komunitas tertentu, bahkan negara, lantas mereka akan menjadi non warga (non-citizens) yang tidak terakui (misrecognition), dan tidak dapat melakukan  klaim atas redistribusi sumber daya seperti hak-hak yang berkaitan dengan kesejahteraan (maldistribution), serta tidak dapat berpartisipasi dan terwakilkan (misrepresentation) dalam proses-proses pembuatan kebijakan (Stokke, 2017).

Oleh karena itu, ketika dalam kondisi darurat kesehatan,  mereka inilah yang menanggung risiko yang tidak proporsional, seperti anak-anak dan lansia, penyandang disabilitas, kelompok minoritas ras, etnis, agama, termasuk masyarakat adat, perempuan, kelompok minoritas gender, dan imigran yang tidak terdokumentasi atau pengungsi. 

Yang Tersingkir

Di tengah wabah yang tidak jelas kapan berakhir dan di hadapan respons “bussines as usual” dari pemerintah, mereka yang termarjinalkan adalah korban yang sudah jatuh tertimpa tangga pula. Misal yang menimpa perempuan dan anak yang menjadi penyintas kekerasan berbasis gender, termasuk kekerasan dalam rumah tangga.  Komnas Perempuan mencatat, selama periode Januari-Juli 2021, korban kekerasan tehadap perempuan meningkat menjadi 2.500 dari tahun sebelumnya yakni 2.400 kasus. Begitu pun yang menimpa anak-anak. Pada peringatan Hari Anak Nasional (23/7/2021) lalu, Kementerian PPPA merilis laporan kekerasan pada anak meningkat sampai pada angka 5.463 kasus.

Paling banyak terjadi di lingkup rumah tangga, selebihnya terjadi di tempat kerja, sekolah, fasilitas umum, dan lembaga pendidikan kilat. Di masa pandemi, risiko kekerasan pada anak dan perempuan dilaporkan meningkat. Tentu hal ini rentan terjadi mengingat kebijakan-kebijakan seperti “bekerja dari rumah” atau “di rumah saja”  memaksa mereka untuk berbagi ruang tinggal yang sama dengan pelaku kekerasan untuk waktu yang cukup lama.

LBH Apik, misalnya, mencatat setidaknya 59 kasus kekerasan terhadap perempuan terjadi hanya dalam waktu dua minggu sejak karantina mandiri mulai dilakukan dari pertengahan hingga akhir Maret 2020 di Jakarta, di mana 17 di antaranya adalah kasus kekerasan pada rumah tangga (Octaviani, 2020). 

Kerentanan ganda yang sama juga terjadi pada kelompok lansia. Apalagi jika mereka adalah penyintas pelanggaran HAM berat masa lalu yang juga harus menanggung stigma sosial dan karenanya sering kali tersekslusi dari layanan-layanan maupun bantuan-bantuan jaminan pengamanan sosial pemerintah.  Pada kelompok minoritas gender dan orientasi seksual, seperti para transpuan atau waria, yang kebanyakan bekerja di sektor informal, juga kerap kali mendapatkan perlakuan tidak adil. Selain ancaman kekerasan dan stigma sosial yang mereka terima selama ini, di masa pandemi ruang gerak mereka juga akan semakin terbatas dan sempit. 

Kebijakan yang Inklusif

Mengelola kerentanan yang ada, pemerintah tentunya harus meletakkan respons-respons tanggap terhadap pandemi secara lebih inklusif dan humanis,  berorientasi pada stabilitas ekonomi. Pendekatan yang inklusif tentunya menekankan proses perbaikan tata cara atau syarat-syarat bagi individu-individu ataupun kelompok-kelompok untuk ambil bagian dalam masyarakat  serta proses peningkatan kemampuan, kesempatan, dan martabat mereka yang terkucil karena identitasnya (Millar, 2007).

Selain itu, jika kita hendak memeriksa kadar inklusivitas pada sebuah kebijakan yang diambil bagi kelompkk rentan, kita akan mendapati rumusan mengenai interaksi atau irisan-irisan kondisi kerentanan atau marjinalisasi yang dialami suatu kelompok.

Dengan demikian, Kementerian PPPA tidak hanya menerbit peraturan atau men-design langkah strategis hanya untuk menjaga kapasitas produksi perempuan pelaku usaha, tetapi juga harus menolong kerentanan ekonomi perempuan penyadang diabilitas, lansia, ataupun perempuan penyitas kekerasan selama pemberlakuan berbagai kebijakan pemerintah di masa pandemi.  Tentu hal yang sama juga harus dilakukan oleh kementerian atau lembaga-lembaga negara yang lain. 

***

*) Oleh: Astra Tandang, S.IP, Mahasiswa Pascasarjana Ilmu Politik Universitas Nasional, Jakarta.

*) Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggung jawab penulis, tidak menjadi bagian tanggung jawab redaksi timesindonesia.co.id

***

**) Kopi TIMES atau rubrik opini di TIMES Indonesia terbuka untuk umum. Panjang naskah maksimal 4.000 karakter atau sekitar 600 kata. Sertakan riwayat hidup singkat beserta Foto diri dan nomor telepon yang bisa dihubungi.

**) Naskah dikirim ke alamat e-mail: [email protected]

**) Redaksi berhak tidak menayangkan opini yang dikirim apabila tidak sesuai dengan kaidah dan filosofi TIMES Indonesia.

**) Ikuti berita terbaru TIMES Indonesia di Google News klik link ini dan jangan lupa di follow.

Advertisement



Editor : Ronny Wicaksono
Publisher : Rizal Dani

TERBARU

Togamas - togamas.com

INDONESIA POSITIF

KOPI TIMES