Kopi TIMES

Merayakan Kegagalan, Raih Kedamaian Diri

Jumat, 27 Agustus 2021 - 05:16 | 97.90k
Endahing N.I. Pustakasari, alumnus Fakultas Psikologi UIN MALIKI Malang.
Endahing N.I. Pustakasari, alumnus Fakultas Psikologi UIN MALIKI Malang.

TIMESINDONESIA, MALANG – Masa pandemi seolah akrab dengan berbagai ikhtiar yang dijalankan itu gagal. Kegagalan, momok yang menghantui setiap orang dan dipastikan setiap ornag pernah mengalaminya di rentang kehidupannya. Mungkin sebelum pandemi, sebagian dari kita pernah mengikuti sebuah pelatihan yang berhubungan dengan tujuan dan makna hidup. Bagi sebagian kita yang pernah mengikuti forum training seringkali diawali dengan pertanyaan pembuka pikiran seperti tujuan hidup dan seberapa jauh kita mengenal diri sendiri. Apa tujuan hidup kita? Seperti apa hidup yang kita inginkan dan capai? Hal apa yang membuat hidup kita bermakna? Sekian pertanyaan itu membuat kita menyadari suatu alasan kebahagiaan kita.

Bagi setiap orang yang telah menyadari tujuan hidupnya mungkin akan berkata ,”Saya hidup untuk beribadah kepada-Nya.”. Beribadah tidak hanya untuk hubungan vertikal dengan melakukan ritual keagamaan, melainkan juga horizontal yakni merawat hubungan interpersonal. Ada juga yang berkata ,”Tujuan hidup saya agar menjadi bermakna, dengan berbakti pada orangtua, membahagiakan orang-orang sekitar saya, saya meraih kesuksesan dengan memiliki hidup yang mapan, sukses dalam karir dan pendidikan.”, dan sebagainya.

Seseorang merasa lebih hidup bila memiliki makna hidup, yang menggerakkan dirinya untuk berjuang. Makna hidup setiap orang berbeda-beda tergantung kebutuhan dan apa yang ia perjuangkan. Viktor E. Frankl, seorang psikiater sekaligus pencetus Logoterapi mengungkapkan bahwa makna hidup berubah-ubah sesuai kondisi selama rentang kehidupan manusia.

Ada orang yang merasa bahagia dan berarti saat makna hidupnya terletak pada keluarga, pekerjaan, atau pasangan. Hal-hal itu yang membuatnya semakin termotivasi dalam berjuang menggapai impiannya. Akan tetapi, bagaimana bila faktor makna hidupnya itu justru menyakiti, pergi meninggalkannya, atau mengabaikannya? Luka batin pun tergores. Ada celah sakit hati sampai memunculkan trauma yang bersifat menahun. Luka batin tidak hanya dapat disebabkan oleh faktor eksternal, melainkan juga faktor internal individu tersebut. Misalnya, ia mengalami kegagalan dalam meraih cita-cita, gagal dalam hubungan romantis atau life goals lainnya.

Dampak kegagalan bisa merembet kepada menguatnya rasa takut akan kegagalan kedepannya, sehingga muncul rasa takut untuk mencoba lagi, pura-pura percaya diri, belum lagi mengalami penghakiman yang datang dari diri sendiri dan lingkungan. Semua terasa akan lebih sulit bila kita kehilangan atau tidak memiliki support system yang baik termasuk dukungan sosial yang ada.

Reaksi dan respon individu dalam menghadapi pengalaman tidak menyenangkan dalam hidup itu berbeda-beda. Mungkin bagi orang lain hal yang menyakitkan tidak meninggalkan luka batin yang membuatnya trauma, akan tetapi bagi yang lain peristiwa itu sungguh menyisakan luka batin. Sehingga ia memiliki masalah dalam emosinya yang perlu dituntaskan. Kenapa? Agar memiliki kualitas hidup di masa depan yang lebih baik. Bila luka batinnya masih mengendap dalam relung jiwa, maka akan mengalami hambatan dalam berelasi atau melakukan aktivitas dikesehariannya.

Oleh karena itu, seseorang yang memiliki luka batin amat disarankan untuk segera menyembuhkannya. Bila luka batin tidak tertangani atau terabaikan begitu saja, resikonya akan semakin menumpuk dan bisa ‘meledak’ sewaktu-waktu dengan tindakan yang tidak diharapkan.

Sekilas kita mengingat, selama ini manusia hidup selalu diajarkan tentang meraih kesuksesan dan keberhasilan, orang-orang hidup terbiasa belajar menghadapi kemenangan. Kita terbiasa merayakan kemenangan atau keberhasilan. Akan tetapi, pernahkah kita dididik untuk siap menghadapi kegagalan atau kekalahan? Lalu, pernahkah kita merayakan kegagalan? Ketika seseorang menghadapi suatu kegagalan atau kekalahan, wajar muncul reaksi kecewa, sedih, atau marah. Kita tidak bisa menampik reaksi yang kita alami, hal itu lumrah kok. Respon yang ditunjukkan pun berbeda-beda, ada yang dapat menerima dengan lapang dada sebab berjiwa besar, atau meresponnya dengan hal-hal negatif.

Tapi, pernahkah terbersit untuk merayakan suatu kegagalan? Merayakan suatu kegagalan bukan berarti mengabaikan segala perasaan dan emosi negatif, fokusnya bukan pada reaksi terhadap situasi yang tidak bisa kita kendalikan. Melainkan kita memilih respon dengan merayakan kegagalan itu sendiri. Lho, kegagalan kok dirayakan? Why not? Bila merayakan kegagalan dapat membuat kita lebih mudah melepas masa lalu, menerima diri sendiri dengan baik, menjadi batu pijakan untuk meraih keberhasilan di masa depan, merasa beruntung dengan kegagalan untuk membuat kita belajar menjadi pribadi yang lebih baik dan menghargai orang lain, menjadi batu loncatan untuk lebih semangat meraih impian, bahkan lecutan motivasi agar cepat bangkit dan keluar dari zona nyaman. So, we have to try, haven’t we?

Tentu setiap orang menginginkan terbebas dari bayang-bayang masa lalu yang kelam. Hanya saja terkadang dilanda kebingungan harus dimulai darimana meski ia tahu caranya melalui berdamai dengan diri sendiri dan masa lalu. Namun, harus mulai darimana? Semua dapat dimulai dari diri sendiri dengan self-healing. Kita bisa merayakan kegagalan melalui self-healing.

Self-healing, sebuah proses penyembuhan yang dilakukan oleh diri sendiri untuk diri sendiri. Tujuannya agar lebih memahami hakikat diri sendiri, lebih resilien untuk bangkit dari keterpurukan, lebih tangguh dalam menghadapi kesulitan hidup, lebih tabah dan tegar saat menghadapi kegagalan,

Self-healing bisa dimulai dengan melakukan kontemplasi (muhasabah diri) dengan menerima keadaan yang telah terjadi dan self-acceptance, be mindful dengan segala perasaan dan pikiran yang hadir tanpa menghakimi, berhenti terlalu ‘menghukumi’ diri sendiri dengan segala penghakiman oleh pikiran kita, menggiatkan self-care sebagai bentuk self-love yang bukan berarti egois namun lebih kepada bentuk gratitude (rasa syukur) dan cinta diri sendiri. Kesannya seolah teoritis ya? Tapi, ini practical approach kok. Selama kita mau mencoba dan belajar.

Sedikit mencatut sebuah kisah nyata seorang sahabat, sebut saja namanya Cahaya. Cahaya dibesarkan dari keluarga yang menerapkan pola parenting berlawanan antara peran ayah yang permisif dan ibu yang otoriter. Cahaya hidup di lingkungan toxic family berbalut toxic positivity. Cahaya anak yang cerdas, bahkan sedari kecil nilai tes IQ-nya superior. Saat masih kecil, Cahaya pernah ditenggelamkan ibunya berkali-kali di dalam bak mandi hanya karena dianggap merepotkan ibunya saat memasak, padahal ia berniat membantu. Ia sering dibentak oleh ibu dan kakaknya, bahkan mengalami jatuh berkali-kali yang menciderai kepalanya. Keluarganya sering membanding-bandingkannya dengan anak orang lain termasuk dengan anggota keluarga yang lain. Ibu dan kakaknya juga suka melarang Cahaya melakukan apa yang membuatnya berkembang. Akhirnya Cahaya selalu memaksakan kehendak pada keluarganya agar dituruti.

Peristiwa traumatis lainnya yang dialami Cahaya seperti menjadi korban sexual abuse yang dilakukan oleh teman sepermainan dan teman sekelas. Beranjak remaja, ayah Cahaya meninggal sehingga membuatnya hilang arah sebab bagi Cahaya, ayahnya adalah satu-satunya support system terbaik. Sebab faktor loss itu, pelarian ke kehidupan pergaulan bebas. Ia dikhianati oleh pasangannya yang sebelumnya ia berpikir bahwa pria itu adalah sosok yang tepat menjadi suaminya kelak. Cahaya mengalami betrayal trauma yang mendalam sehingga mempengaruhi kehidupan romantisnya.

Meski Cahaya termasuk orang yang setia dan penurut, namun ia masih belum berdamai dengan inner child dan relational trauma, membuat dirinya menjadi sosok yang keras hati. Sehingga, membuatnya selalu krisis kepercayaan dan selalu berpikiran negatif bila pasangannya akan mengkhianati dan meninggalkannya lagi. Cahaya juga pernah mengalami cyberbullying oleh mantan partner romantisnya yang membuat traumanya semakin mendalam. Cahaya tak jarang merasa depresi dan paranoid meski ia memiliki prestasi gemilang dalam pendidikan dan karirnya. Ia pun menjadi sosok pembangkang pada Tuhannya.

Hingga suatu ketika Allah membalikkan kondisinya menjadi lebih terpuruk, seperti mengalami kegagalan disemua aspek kehidupannya, Cahaya mengalami kegagalan dalam hubungan romantis, dikhianati oleh semua sahabat dan koleganya, terjerat hutang riba, kehilangan pekerjaan, dan pendidikannya terhenti. Cahaya benar-benar terpuruk hingga semakin marah pada Tuhannya. Ia mengalami depresi dan memiliki pikiran bunuh diri. Selama setahun, Cahaya berkubang dalam kegelapan, lalu menemukan secercah cahaya dalam titik nadirnya. Allah menggerakkan hatinya untuk melangkah ke masjid yang selama ini dia hindari. Dia pergi ke masjid tanpa alasan, hanya ingin duduk. Tiba-tiba ingin sholat berjama’ah, mengikuti kajian atau majelis ta’lim. Awalnya ia duduk di shaf paling belakang, lambat laun ia duduk semakin ke shaf terdepan. Masih dipenuhi pikiran bunuh diri, Cahaya tetap melangkah ke masjid.

Seorang sahabat membersamainya, satu-satunya orang yang bisa ia ajak bicara. Diskusi penyadaran pun bergulir, mengalir begitu saja. Sampai pada suatu titik, Cahaya sadar tentang waktu yang terus meninggalkannya tanpa ia berbuat apa-apa yang bermanfaat bagi dirinya dan orang lain. Ia rindu melakukan suatu kebaikan dan hal-hal bermakna dalam hidupnya. Cahaya menatap sebuah cermin, bayang-bayang peristiwa traumatis terlintas, rasa sesak di dada membuncah, ia menangis tapi memaksa untuk tersenyum. Ia berkata pada dirinya sendiri ,”Ayo, kita rayakan kegagalan ini!”

Ia bertekad berubah menjadi lebih baik, kemudian membuat program self-healing yang ia pelajari dari beberapa situs online dan diskusi bersama sahabatnya. Pertama, ia melakukan positive self-talk, ia berlatih mengalihkan perkataan negatif menjadi positif, menciptakan jarak dengan orang-orang masa lalunya yang dianggap toxic people, ia mulai fokus dengan dirinya sendiri dan berhenti menjadi people pleaser serta membuat daftar hal-hal yang membuatnya bersyukur. Kedua, Ia juga rajin melakukan self-care mulai dari fisik, emosi, dan spiritual. Aspek fisik seperti bangun pagi hari, tidur tepat waktu, berolahraga dan mengkonsumsi makanan yang sehat. Aspek emosi, Cahaya belajar memaafkan orang-orang yang pernah menyakitinya, dan fokus pada dirinya bukan orang yang telah menyakitinya, serta menerima segala emosi yang ia rasakan tanpa menghindarinya.

Pada aspek spiritual, Cahaya lebih aktif mengikuti majelis ta’lim, sholat berjama’ah di masjid, belajar membaca Al Qur’an, berpuasa sunnah, dan sholat sunnah seperti sholat Tahajud. Ia menyusun spiritual journaling untuk memantau kegiatan religiusnya. Ia yang dulu sebagai pembangkang Tuhannya menjadi sosok yang paling yakin dan membela Tuhannya. Ketiga, Cahaya mempraktekkan mindfulness yang fokus pada momen terkini bukan masa lalu lagi. Terkadang ia memotong rambut, atau mengadakan pajamas party dan binge-eating sambil menonton film bersama sahabatnya. Kini Cahaya mendapatkan makna hidupnya kembali, dan menjalaninya penuh semangat. Ia berkata ,”Dear Self, terimakasih telah bertahan sampai sekarang. Tetaplah kuat!”

Dari kisah Cahaya dapat kita ambil hikmah bahwa boleh mencoba untuk merayakan kegagalan, sebab kegagalan merupakan kesempatan untuk lebih berkembang, tetap belajar menjadi pribadi yang positif, selalu miliki rencana cadangan, tetap belajar dari segala situasi apapun yang terjadi.

Perlu ditanamkan dalam pikiran kita bahwa kegagalan itu sementara bukan permanen. Kegagalan merupakan bentuk didikan alam dan bisa menuai inspirasi. Kegagalan bukan aib atau bentuk penghinaan terhadap harga diri kita atau komunitas. Ketahui bahwa terdapat keberkahan terselubung dari kegagalan. Tetap fokus dan berani melangkah ke arah impian dan tujuan hidup jangka panjang kita. Berani mencoba rayakan kegagalan kini? (*)

***

*) Oleh: Endahing N.I. Pustakasari, alumnus Fakultas Psikologi UIN MALIKI Malang.

*) Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggung jawab penulis, tidak menjadi bagian tanggung jawab redaksi timesindonesia.co.id

***

**) Kopi TIMES atau rubrik opini di TIMES Indonesia terbuka untuk umum. Panjang naskah maksimal 4.000 karakter atau sekitar 600 kata. Sertakan riwayat hidup singkat beserta Foto diri dan nomor telepon yang bisa dihubungi.

**) Naskah dikirim ke alamat e-mail: [email protected]

**) Redaksi berhak tidak menayangkan opini yang dikirim apabila tidak sesuai dengan kaidah dan filosofi TIMES Indonesia.

**) Ikuti berita terbaru TIMES Indonesia di Google News klik link ini dan jangan lupa di follow.

Advertisement



Editor : Wahyu Nurdiyanto
Publisher : Sofyan Saqi Futaki

TERBARU

Togamas - togamas.com

INDONESIA POSITIF

KOPI TIMES