Kopi TIMES

Harapan dan Kenyataan Keadilan di Indonesia

Jumat, 27 Agustus 2021 - 03:22 | 134.00k
Rama Fatahillah Yulianto, Taruna Politeknik Ilmu Pemasyarakatan (Sekolah ikatan dinas Kementerian Hukum dan HAM RI).
Rama Fatahillah Yulianto, Taruna Politeknik Ilmu Pemasyarakatan (Sekolah ikatan dinas Kementerian Hukum dan HAM RI).

TIMESINDONESIA, JEMBER – Masyarakat selalu bertanya bagaimana keadilan di Indonesia, Demikian pula dengan tujuan hukum yang senantiasa memperlihatkan tensi atau ketegangan antara das Sollen dan das Sein, antara harapan dan kenyataan, antara cita-cita dengan apa yang yang telah dicapai, antara yang formal dengan yang substansial, dan antara yang ideal dengan yang real.

Keadilan menjadi konsensus sosial, sejatinya keadilan menjadi motor penggerak hubungan manusia dan harus terwujud dalam segala lini kehidupan. Acap kali kita menemukan pernyataan bahwa keadilan merupakan esensi kehidupan manusia, namun hingga saat ini sepertinya keadilan hanya menjadi bahan diskusi dalam bentuk pertanyaan-pertanyaan, misalnya ‘apa itu keadilan, bagaimana wujudnya, dimana itu keadilan, bagaimana meraihnya, bagaimana menakarnya, dan beribu pertanyaan lainnya tentang keadilan. 

Tantangan kita saat ini adalah mencari dan menemukan keserasian dalam hukum, dan salah satu tujuan hukum adalah keadilan. Dalam bukunya Nichomacen Ethics, Aristoteles dikutip Shidarta, Kata adil mengandung lebih dari satu arti. Adil dapat berarti menurut hukum, dan apa yang sebanding, yaitu yang semestinya. Di sini ditunjukan, bahwa seseorang dikatakan berlaku tidak adil apabila orang itu mengambil lebih dari bagian yang semestinya.

Menurut Aristoteles, negara haruslah berdiri di atas hukum yang menjamin keadilan kepada warga negaranya. Keadilan merupakan syarat bagi tercapainya kebahagiaan hidup untuk warga negaranya, dan sebagai dasar dari pada keadilan itu perlu diajarkan rasa kesusilaan kepada setiap manusia agar mereka menjadi warga negara yang baik. 

Menurut Pakar Hukum Pidana Indonesia Romli Atmasasmita, saat ini terdapat ‘missing link’ artinya implementasi hukum telah sedemikian jauh dari sistem yang seharusnya berpedoman pada Pancasila sebagai ideologi bangsa Indonesia. Hukum harus mampu mewujudkan tiga hal mendasar yaitu justice, liberty, dan equality. Menilik pernyataan yang sering mencuat di public ‘Siapa yang mempunyai uang bisa membeli hukum’. Apakah benar demikian? Tak terasa Indonesia telah memperingati ulang tahunnya (kemerdekaan) yang ke-76. Dalam era global ini bukanlah negara lain yang menjadi hambatan dan tantangan mencapai tujuan negara, justru dari dalam yang harus kita perhatikan dan selesaikan. Misalnya, untuk mempertahankan kemerdekaan kita perlu menegakkan hukum dan keadilan, karena jika tidak, negara kita akan hancur walaupun serangan negara lain.

Kondisi kenyataan yang tak seindah harapan seringkali menjadikan publik kian skeptis terhadap masa depan keadilan hukum, padahal jika kita menganalisis jauh lebih dalam, masyarakat adalah komponen utama yang berperan sebagai ‘kontrol sosial’.

Dilansir melalui www.mediaindonesia.com hasil survei yang dirilis Saiful Mujani Research (SMRC) per Agustus 2021 mengungkapkan penilaian publik terhadap kondisi penegakkan hukum di Indonesia. Sebanyak 41,2% masyarakat menilai kinerja penegakkan hukum buruk, 25,6% menilai baik, 30,1% menilai sedang, dan sisanya 3,2% tidak menjawab. Wajar saja didapatkan data tersebut, saat ini masyarakat menyoroti tindak pidana korupsi yang berdampak masif, namun vonis atau putusannya belum mencapai keadilan. Data ini bukan hanya sekadar angka, namun sekaligus menjadi ‘tamparan’ keras bagi lembaga penegak hukum. 

Keadilan ditentukan dengan kriteria, jika putusan hakim dilakukan dengan profesional dan didukung integritas moral hakim yang tinggi, maka putusan tersebut dipandang mengandung nilai keadilan, berlandaskan hal tersebut maka dirasa penting harus adanya independensi dan akuntabilitas hakim dalam memeriksa dan mengadili suatu perkara. Selain itu diperlukan indikator-indikator keadilan dalam penilaian putusan hakim serta membuka akses masyarakat untuk mendapatkan informasi mengenai putusan hakim. Salah satu solusi yang dapat dilakukan adalah ‘dissenting opinion’, hal tersebut membantu hakim dalam mencari keadilan.

Dissenting Opinion adalah perbedaan pendapat dalam suatu anggota majelis hakim. Ini menjadi salah satu alat bantu untuk memberikan kesempatan para hakim menggunakan keilmuannya secara optimal dengan menggali serta mempertimbangkan matang-matang dengan kemandiriannya menilai dan memutus suatu perkara. Permasalahan muncul ketika Dissenting Opinion ini tidak diatur jelas di dalam peraturan yang spesifik mengatur tentang tata cara dan kekuatan hukumnya di Indonesia.

Tujuannya adalah untuk menciptakan kekuatan hukum yang kuat dan bisa menciptakan keadilan di dalam masyarakat sehingga setiap hakim bisa memberikan argumentasi hukum yang tajam mengenai suatu perkara agar kualitas putusan hakim semakin membaik dan bisa menambah kepercayaan masyarakat tentang hukum.

Harapan tidaklah sirna karena kenyataan, justru harapan itu harus dipegang teguh dan dijadikan semangat untuk menciptakan suatu keadilan yang benar-benar sejalan dengan ideologi bangsa. Terlebih saat ini Indonesia memiliki paradigma baru dalam hukum pidana yang berorientasi pada keadilan korektif, keadilan rehabilitatif, dan keadilan restoratif. Ketika hal itu digaungkan, sudah pasti kita harus mencari dan menemukan keadilan itu sendiri. Ketika seluruh masyarakat merasa adil maka semuanya akan damai. 

***

*) Oleh: Rama Fatahillah Yulianto, Taruna Politeknik Ilmu Pemasyarakatan (Sekolah ikatan dinas Kementerian Hukum dan HAM RI).

*) Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggung jawab penulis, tidak menjadi bagian tanggung jawab redaksi timesindonesia.co.id

***

**) Kopi TIMES atau rubrik opini di TIMES Indonesia terbuka untuk umum. Panjang naskah maksimal 4.000 karakter atau sekitar 600 kata. Sertakan riwayat hidup singkat beserta Foto diri dan nomor telepon yang bisa dihubungi.

**) Naskah dikirim ke alamat e-mail: [email protected]

**) Redaksi berhak tidak menayangkan opini yang dikirim apabila tidak sesuai dengan kaidah dan filosofi TIMES Indonesia.

**) Ikuti berita terbaru TIMES Indonesia di Google News klik link ini dan jangan lupa di follow.

Advertisement



Editor : Wahyu Nurdiyanto
Publisher : Sofyan Saqi Futaki

TERBARU

Togamas - togamas.com

INDONESIA POSITIF

KOPI TIMES