Kopi TIMES

Suntik Mati Sekolah Swasta

Kamis, 26 Agustus 2021 - 01:22 | 197.97k
Daris Wibisono Setiawan, S.S, M.Pd, D.PEd; Ketua BMPS (Badan Musyawarah Perguruan Swasta) Kabupaten Bondowoso.
Daris Wibisono Setiawan, S.S, M.Pd, D.PEd; Ketua BMPS (Badan Musyawarah Perguruan Swasta) Kabupaten Bondowoso.

TIMESINDONESIA, BONDOWOSO – Jas Merah, Jangan sekali-sekali melupakan sejarah, karena dengan belajar sejarah kita akan menjadi pribadi dengan pola pikir dan perilaku yang arif dan bijaksana.

Menjadi bijaksana itu tentunya dari belajar dari perilaku menyimpang dari kejadian yang telah berlalu, sebagai pedoman laju berpijak pada masa sekarang dan terus lebih baik untuk masa depan. Harus diakui, lembaga pendidkan swasta merupakan lembaga pendidikan perdana yang terbukti memberikan sumbangsih besar dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa.

Lembaga swasta yang merupakan aksi nyata anggota atau kelompok masyarakat seperti pondok pesantren, taman siswa, LP Ma’arif NU, Muhammadiyah, Zending (lembaga penginjilan Kristen), dan lain sebagainya sumbangsihnya tidak perlu diperdebatkan lagi. Bahkan, perjuanan mencerdaskan kehidupan bangsa itu jauh sebelum Indonesia merdeka telah dilakukan. 

'Pendidikan bukan segala-galanya, tetapi tanpa pendidikan kita akan kehilangan segalanya' seakan mengingatkan kita bagaimana pentingnya pendidikan yang telah dilakukan oleh lembaga pendidikan swasta untuk ikut nyata membuka pintu gerbang kemerdekaan Indonesia. Sejarah banyak bangsa  sudah memberikan banyak pelajaran akan nasib suatu bangsa yang tidak berpendidikan akan sangat sulit bangkit dari belenggu penjajahan.

Pergeseran strategi perjuangan dari model gerilya bersenjata menjadi perjuangan diplomasi melalui organisasi (Budi Utomo) harus diakui terlahir dari sebagian anak priyayi yang mengenyam pendidikan. Kesadaran itulah yang memantik lahirnya Taman Siswa tahun 1922 dan pada akhirnya mampu mempercepat tumbuhnya kesadaran berfikir satu nusa-satu bangsa-satu bahasa pada konggres sumpah pemuda 1928. 

Perjuangan panjang sekolah swasta jauh sebelum kemerdekaan dan terus menerus berjalan hingga era kekinian sayangnya tidak linier dengan kebijakan pemerintah. Masih terlihat jelas dikotomi yang dilakukan oleh pemerintah terhadap lembaga sekolah swasta dan negeri, meski UUD 1945 mengamanatkan untuk memberikan perlakuan yang sama.

Pemerintah lupa, bahwa yang bisa memberikan jawaban dan aksi nyata kebutuhan pendidikan masyarakat akan akses pendidikan dari masa ke masa adalah sekolah swasta. Seakan hanya memberikan hadiah tepukan tangan, modal tongkat dan kayu telah menghadirkan banyak sekolah-sekolah swasta berdiri dengan semangat mencerdaskan kehidupan bangsa.

Jaman terus berkembang diikuti semakin majunya pola pikir masyarakat yang semakin terdidik, didukung oleh kebijakan keluarga berencana untuk menekan angka pertumbuhan penduduk semakin terlihat hasilnya. Akhirnya, jumlah sekolah plat merah dan sekolah swasta yang semakin menjamur menjadi tidak seimbang dengan kebutuhan masyarakat. Terlebih akses pendidikan sudah tidak menjadi masalah karena hadirnya teknologi yang murah dan solutif.

Permasalahan baru pada akhirnya muncul, di antara semakin beragamnya kebutuhan pembangunan yang tidak seimbang dengan kue APBN, maka efisiensi menjadi jalan perubahan. Pada dunia pendidikan, kebijakan zonasi dalam penerimaan peserta didik baru diakui atau tidak adalah badai perdana yang menghantam sekolah swasta. Sekolah-sekolah negeri dengan gedung menjulang tinggi, fasilitas memadai, suasana sekolah yang indah dan bersih, guru dengan gaji negara tentu saja  tentu saja melahirkan penampilan berbeda pada peserta didiknya.

Pelan tapi pasti, fenomena tersebut akhirnya menjadikan hegemoni sekolah negeri minded bagi mayoritas masyarakat. Sekolah negeri minded sayangnya dijawab dengan kurang cerdas oleh pemerintah dengan munculnya kebijakan zonasi. Kebijakan yang pada implementasinya banyak terjadi pelanggaran tanpa tindakan dan evaluasi, di mana masih banyaknya penambahan rombel seiring bantuan pendirian ruang kelas baru bagi sekolah negeri. Ditambah lagi faktor penguat internal sekolah, di mana guru-guru negeri juga dituntut mendapatkan 24 jam mengajar minimal agar tunjangan sertifikasinya cair.

Faktanya, terjadi pada semua wilayah dan semua jenjang pendidikan, kebijakan zonasi telah mengikis habis eksistensi sekolah swasta. Sekolah swasta sejatinya telah lama sadar posisi dan dengan semangat tinggi bangkit dengan melakukan perubahan. Akan tetapi, lagi-lagi kebijakan bantuan fisik pemerintah melalui TAKOLA juga masih menerapkan standart minimal jumlah peserta didik 216 siswa, sebuah syarat yang tidak akan mungkin diakses oleh mayoritas sekolah swasta.

Sekolah (negeri) besar gedungnya semakin menyentuh langit, sekolah kecil (swasta) akan semakin habis mendekati bumi. Kebijakan afirmasi sejatinya yang sangat perlu dikloning sebanyak-banyaknya  oleh pemerintah untuk memberikan perhatian lebih kepada sekolah-sekolah swasta agar mampu sejajar dengan sekolah plat merah.

Bisa dibayangkan betapa beratnya beban sekolah swasta, pendapatan hanya bertumpu pada dana BOS dan tambahan BPOPP (jenjang SMK/SMA), tanpa adanya bantuan tunjangan untuk guru-gurunya. Tidak bisa disalahkan juga jika akhirnya banyak kepala sekolah yang mencoba 'nakal' melakukan otak atik anggaran untuk diselewengkan menjadi bangunan fisik dan pendukung sarana prasarana lainnya. Dampaknya tentu saja adalah kesejahteraan guru yang semakin tenggelam dari batas wajar. 

Sejatinya tumpuan kesejahteraan guru swasta adalah tunjangan sertifikasi, akan tetapi menuju puncak itu antriannya begitu sangat panjang. Masih banyak sekali guru swasta yang bisa mengikuti Pendidikan Profesi Guru (PPG) sebagai pintu pembuka tunjangan sertifikasi. Tidak hanya itu, masih banyak sekali guru swasta yang belum memiliki NUPTK, semuanya mengaku sudah mengusulkan tapi menunggu harapan terbitnya seperti menunggu hujan di musim kemarau. Ironisnya lagi, setelah mengikuti antrean panjang terbitnya NUPTK, bisa terpanggil dan akhirnya dinyatakan lulus PPG, namun sertifikat pendidik yang didapatkan hanya bisa penghuni figura.

Semua itu terjadi karena 'kiamat sughra' Permendikbud No 15 tahun 2018 bagi guru swasta. Hal itu terjadi karena munculnya kewajiban mengajar sesuai sertifikat pendidik  minimal 12 jam di sekolah induk. Sebuah masalah besar bagi guru sejarah Indonesia yang hanya 3 jam di kelas X dan jika ingin cair harus memiliki 4 rombel. Penderitaan yang sama bagi guru Penjaskes, fisika, kimia, biologi, PPKN pada jenjang pendidikan SMK. Prahara yang sama tentunya juga banyak dialami guru sekolah negeri dengan jumlah rombel kecil yang harus mencari jam tambahan di sekolah lain. 

Terbaru, ancaman nyata sekolah swasta adalah lahirnya Permendikbud Nomor 6 Tahun 2021 tentang Petunjuk Teknis Pengelolaan Dana Bantuan Operasional Sekolah Reguler yang diperkuat lagi dengan keluarnya Surat Edaran Kemdikbud Ristek Dikti Perihal Pembaharuan Dapodik untuk Dasar Perhitungan Dana BOS Reguler tertanggal 18 Agustus 2021. Keduanya memberikan warning keras akan jumlah minimal peserta didik minimal 60 siswa selama tiga tahun terakhir.

Lantas bagaimana dengan sekolah swasta yang peserta didiknya kurang dari aturan tersebut?

Tentu saja jawabannya jelas membawa luka mendalam bagi penyelenggara sekolah swasta yang selama ini berkomitmen nyata membangun bangsa Indonesia tercinta melalui pendidikan. Suntik mati sekolah swasta dan sekolah kecil dengan jumlah siswa kurang dari 60 peserta didik tentu saja merupakan kebijakan yang harus ditinjau ulang. Kondisi lapangan yang tidak rata pada wilayah Indonesia dari Miamas hingga pulau Rote lebih membutuhkan kebijakan afirmatif dari pemerintah, dan bukan suntik mati dengan alasan efisiensi.

Jika engkau blusukan dengan benar, maka akan engkau temukan sekolah-sekolah swasta yang tak pernah terjangkau akan tetapi terbukti berjuang mencerdaskan kehidupan bangsa dengan segala keterbatasan.

*** 

*)Oleh : Daris Wibisono Setiawan, S.S, M.Pd, D.PEd., Ketua BMPS (Badan Musyawarah Perguruan Swasta) Kabupaten Bondowoso.     

*) Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggung jawab penulis, tidak menjadi bagian tanggung jawab redaksi timesindonesia.co.id

***

**) Kopi TIMES atau rubrik opini di TIMES Indonesia terbuka untuk umum. Panjang naskah maksimal 4.000 karakter atau sekitar 600 kata. Sertakan riwayat hidup singkat beserta Foto diri dan nomor telepon yang bisa dihubungi.

**) Naskah dikirim ke alamat e-mail: [email protected]

**) Redaksi berhak tidak menayangkan opini yang dikirim apabila tidak sesuai dengan kaidah dan filosofi TIMES Indonesia.

**) Ikuti berita terbaru TIMES Indonesia di Google News klik link ini dan jangan lupa di follow.

Advertisement



Editor : Ronny Wicaksono
Publisher : Sofyan Saqi Futaki

TERBARU

Togamas - togamas.com

INDONESIA POSITIF

KOPI TIMES