Kopi TIMES Universitas Islam Malang

Manusia Pintar Ramah Ekologi

Rabu, 25 Agustus 2021 - 09:21 | 51.55k
Abdul Wahid, Dosen Fakultas Hukum (FH) Universitas Islam Malang (UNISMA) dan Penulis buku.
Abdul Wahid, Dosen Fakultas Hukum (FH) Universitas Islam Malang (UNISMA) dan Penulis buku.
FOKUS

Universitas Islam Malang

TIMESINDONESIA, MALANG – Di dunia ini, termasuk di negeri ini, dari waktu ke waktu makin banyak orang pintar. Mencari  dan menemukan orang pintar sudah tidak algi sulit. Subyek bangsa yang cerdik pandai ada dimana-mana. Berbagai kegiatan dijalankan oleh negara atau keluarga dan sekolah untuk bisa “memproduksi” manusia pintar sebanyak-banyaknya. Meski sekarang masih diuji oleh pandemi Covid-19, secara umum semangat dan kegairahan “mememproduksi” anak-anak pintar atau sumberdya manusia pintar tetaplah tinggi.

Sayangnya, ketika manusia-manusia sudah banyak yang pintar pintar, jalan yang  ditempuhnya tidak selalu mencerminkan kalau dirinya adalah subyek utama bangsa ini.  Kepintaran bukannya dijadikan sebagai modal membangun keadaban dan keharmonisan sosial-ekologis, tetapi dijadikannya sebagai alat melakukan rekayasa kepentingan eksklusifnya, yang tanpa mengalkulasi dampak destruktifnya terhadap konstruksi kehidupan masyarakat dan masa depan bangsa. Masa depan ekologis bangsa ini misalnya seringkali tidak dijadikan sebagai obyek bacaan yang cerdas secara moral, sehingga berada di ujung tanduk.

INFORMASI SEPUTAR UNISMA DAPAT MENGUNJUNGI www.unisma.ac.id

Dalam ajaran Islam, sebenarnya manusia sudah disuruh melakukan iqra’  atau membaca fenomena alam atau produk ciptaan Allah SWT (QS Al-Alaq: 1-5), supaya manusia dalam menundukkan alam kepadanya  tidak diikuti dengan sikap arogansi, apalagi membenarkan destruksi dan kriminalisasi terhadap sumber daya ekologis. Disinilah mestinya manusia pintar yang tentu saja tidak mengalami kesulitan dalam membaca nikmat Allah berusaha tidakan  lelah untuk menununjukkan teladan sebagai pelindung dan pengembang yang baik.

Perintah iqra’ tersebut sejatinya mengandung aspek edukatif, yang berorientasi mendidik setiap elemen masyarakat dalam relasinya dengan komitmen ekologis. Manusia diingatkan, bahwa alam bukan sebatas obyek atau alat memuaskan kesenangan gaya hidup atau kepentingan hedonistiknya, tetapi juga obyek fundamental dan sakral yang wajib dilindunginya.

Pemanasan global tidak akan semakin menguat, yang mengakibatkan pelapisan ozon terus-menerus terdestruksi, bilamana kepintaran manusia tidak sampai menyerah oleh kekuatan pola hidup berfoya-foya (konsumeristik-hedonistik) dan keserakahan, yang dibiarkannya tidak kenal titik nadir. Ambisi berfoya-foya dan keserakahan telah menjadi “akar kriminogen” yang membuat nalar sehat dan kepintaran mengalami kemandulan.  

INFORMASI SEPUTAR UNISMA DAPAT MENGUNJUNGI www.unisma.ac.id

Pola hidup dan keserakahan itulah yang pernah dikritik oleh Quilani (2004), bahwa betapapun pintarnya seseorang, ketika penasbihan kepentingan duniawi dan keserakahan diberikan kelonggaran menguasai atau menghegemoninya, maka kehancuran hidup manusia dan peradabannya hanya soal waktu. Manusia yang menjadi pengabdi keserakahan merupakan sosok pendosa utama yang membuat compang-campingnya kehidupan diri dan masyarakatnya.

Itu sebenarnya menunjukkan, bahwa pendidikan dini terhadap masyarakat, khususnya anak-anak yang  masih duduk di bangku sekolah, perlu dikembangkan dan diperkuat dengan pola kependidikan berbasis keberpihakan ekologis dan perlindungan ozon.  Komunitas anak muda ini perlu diberikan porsi pembelajaran khusus mengenai komitmennya terhadap masa depan ekologi. Mereka misalnya berangkat ke sekolah dengan berbekal kendaraan dan uang saku, apalagi kalau mereka berasal dari komunitas elit,  sehingga dengan modal ini, mereka sebenarnya punda andil dalam mempercepat daya rusak ekologis dan menipisnya ozon.

Kalau di dalam diri anak-anak tersebut tidak diingatkan (dididik) bahwa tingginya konsumsi bahan bakar akan berpengaruh terhadap pemanasan global, tentulah mereka akan tetap berstigmakan sebagai komunitas edukatif, yang justru ”berjasa” dalam menciptakan  atmosfir sosial ekologis yang tidak sehat.  Sejak dini, mereka wajib dididik kalau keserakahan (berlebihan) dalam menggunakan BBM atau memproduk gaya hidup konsumerisme, hanya akan berbuah malapetaka bagi masa depan diri dan bangsanya.

Dalam Pasal 3 UU Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional disebutkan, bahwa Pendidikan nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab.

Kalau membaca fungsi pendidikan tersebut, jelas sekali menunjukkan, bahwa anak-anak yang dikenalkan, diajarkan, atau dikembangkan potensi nalar, sikap, dan psikomotiriknya terhadap komitmen perlindungan ozon, maka kehidupan keseharian dan masa depannya akan lebih terarah jadi kader militan yang punya kepekaan tinggi, dan bukan sebagai ”predator”. ***

INFORMASI SEPUTAR UNISMA DAPAT MENGUNJUNGI www.unisma.ac.id

*)Penulis: Abdul Wahid, Dosen Fakultas Hukum (FH) Universitas Islam Malang (UNISMA) dan Penulis buku.

**) Ikuti berita terbaru TIMES Indonesia di Google News klik link ini dan jangan lupa di follow.

Advertisement



Editor : Dhina Chahyanti
Publisher : Rochmat Shobirin

TERBARU

Togamas - togamas.com

INDONESIA POSITIF

KOPI TIMES