Kopi TIMES

Membangkitkan Kewaspadaan Sejarah

Selasa, 24 Agustus 2021 - 03:24 | 70.70k
Nurul Yaqin (Mahasiswa Pascasarjana Universitas Singaperbangsa Karawang (Unsika). Penulis opini di media lokal dan nasional).
Nurul Yaqin (Mahasiswa Pascasarjana Universitas Singaperbangsa Karawang (Unsika). Penulis opini di media lokal dan nasional).

TIMESINDONESIA, JAWA BARAT – Setelah 76 tahun merdeka, apakah kita benar-benar terlepas dari keterjajahan? 

Risa Permanadeli, Director of Center of Social Representation Studies dalam buku Nilai Keindonesiaan (2017) menjawab lantang "Setiap negara yang merdeka, termasuk Indonesia, memiliki sejarah baru, yaitu ketergantungan sejarah". Ketergantungan itu tampak jelas dari kebutuhan sumber daya yang cenderung menempel ketat pada dunia Barat dari segala bidang seperti ekonomi, teknologi, gagasan, dan modal. 

Coba kita intip sejenak utang Indonesia berdasarkan data Kementerian Keuangan sampai akhir juni 2021, ternyata telah mencapai 6.554,56 triliun. Barat menjadi tumpuan untuk menopang keberlangsungan hidup negara. Ketergantungan tersebut seolah menjadi kisah lanjutan dari cerita sebelumnya yang belum usai, yaitu penjajahan. Perjuangan memperebutkan kemerdekaan hanya berakhir pada baku-hantam dan tembak-tembakan, tapi tidak pada sisi-sisi lain dari kemanusiaan. 

Kondisi demikian, akan menghadirkan pengulangan kolonialisme dengan wajah baru. Bedanya, penjajahan prakemerdekaan diemplementasikan dalam bentuk kerja paksa, namun pascakemerdekaan cukup dengan meramaikan penanaman modal asing (PMA). Artinya, pada masa penjajahan bangsa ini digempur dengan kekerasan, sedangkan setelah merdeka cukup dengan cara halus tapi telah dijamin oleh dunia internasional. Sebuah kemerdekaan yang tinggal slogan.

Pertanyaannya, mengapa bangsa ini masih menggelayut manja terhadap uluran tangan dunia Barat?

Pendidikan belum Mencerdaskan

Seharusnya segala permasalahan yang menggerogoti ketahanan bangsa seperti kehidupan sosial, budaya, ekonomi, dan politik bisa diatasi dengan pendidikan. Namun, dunia pendidikan dan perguruan tinggi kita belum bisa menghasilkan komoditas yang dapat membendung arus PMA. Atmosfer pendidikan yang ada, lagi-lagi belum bisa mencerdaskan dan mencerahkan. Output-output yang dihasilkan dunia pendidikan kita justru menambah barisan manusia yang berjiwa adigang, adigung, dan adiguna.

Pada akhirnya, kita terjebak pada sebuah perangkap masa lalu. Kelayakan hidup di bawah standar, ketersediaan akses kesehatan sangat minim, jumlah anak putus sekolah melonjak, pengangguran meningkat, dan tingginya angka kemiskinan masih merajalela meski kita telah menyandang gelar merdeka. 

Selain itu, masyarakat kita tidak tumbuh dari akar dan ranting sendiri. Melainkan tumbuh dari batang pohon lain yang secara kasat mata menjauhkan masyarakat dari peradabannya sendiri. Sehingga tidak menghasilkan para pekerja yang memiliki daya saing tinggi. 

Teknologi dan pengetahuan yang merupakan “Ruh” yang menggerakkan kehidupan bangsa, murni dari luar negeri. Dunia luar menjadi kiblat dalam menjalankan roda kehidupan bernegara dari segala sisi. Ketika membangun bangsa dengan keringat sendiri adalah utopia, dan mengandalkan dunia luar adalah bumerang, lantas kekuatan apa yang dapat mengubah keadaan?

Barat bukan Segalanya

Menduplikasi Barat untuk kemajuan bukan langkah yang sepenuhnya keliru. Toh, banyak negara-negara yang berhasil menyulam kembali nasib sejarah masyarakatnya sendiri sehingga terlepas dari jebakan maut yang mengancam. Sejarah merupakan bagian dari serangkaian masa lalu, tapi juga menentukan perjalanan masa depan bangsa. Masalahnya, bangsa ini belum memiliki kewaspadaan sejarah untuk memupuk kesadaran kolektif apa dan bagaimana yang harus diutamakan untuk kepentingan bangsa.

Mengagungkan dunia Barat dengan selalu menganggapnya sebagai tumpuan pengetahuan, teknologi, dan peradaban tidak melulu tepat. Krisis akbar yang melanda Eropa dan Amerika bisa menjadi titik awal berputarnya arah mata angin peradaban manusia. Artinya, mengharapkan kemajuan dengan bertumpu pada dunia Barat sudah saatnya ditinggalkan. Lantas apa yang harus kita siapkan? 

Untuk melepas jerat ketergantungan sejarah, Risa Parmanadeli kembali menegaskan, bangsa ini dituntut untuk memiliki kewaspadaan sejarah ganda. Pertama, tidak mengunyah sejarah yang telah terjadi sebagai ketertinggalan atau ambisi mengejar ketertinggalan yang memicu tindakan di luar kesadaran. Kedua, merumuskan pilihan sejarah baru dengan penuh kesadaran bahwa keterlibatan dunia global adalah sesuatu yang tak bisa dihindarkan.

Jika demikian, bukan hal yang mustahil kita bisa menikmati kemerdekaan yang nyata, bukan pengulangan-pengulangan sejarah dari cerita lama.

***

*) Oleh: Nurul Yaqin (Mahasiswa Pascasarjana Universitas Singaperbangsa Karawang (Unsika). Penulis opini di media lokal dan nasional).

*)Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggungjawab penulis, tidak menjadi bagian tanggungjawab redaksi timesindonesia.co.id

*) Kopi TIMES atau rubrik opini di TIMES Indonesia terbuka untuk umum. Panjang naskah maksimal 4.000 karakter atau sekitar 600 kata. Sertakan riwayat hidup singkat beserta Foto diri dan nomor telepon yang bisa dihubungi.

*) Naskah dikirim ke alamat e-mail: [email protected]

*) Redaksi berhak tidak menayangkan opini yang dikirim.

**) Ikuti berita terbaru TIMES Indonesia di Google News klik link ini dan jangan lupa di follow.

Advertisement



Editor : Ronny Wicaksono
Publisher : Sofyan Saqi Futaki

TERBARU

Togamas - togamas.com

INDONESIA POSITIF

KOPI TIMES