Kopi TIMES

Pembelajaran Sejarah yang Merdeka di Tengah Pandemi

Selasa, 24 Agustus 2021 - 01:17 | 95.65k
Kristoforus Bagas Romualdi, Mahasiswa Pascasarjana Pendidikan Sejarah Universitas Negeri Yogyakarta; Pegiat Gerakan Digital Jangkar Nusantara.
Kristoforus Bagas Romualdi, Mahasiswa Pascasarjana Pendidikan Sejarah Universitas Negeri Yogyakarta; Pegiat Gerakan Digital Jangkar Nusantara.

TIMESINDONESIA, YOGYAKARTA – Gagasan merdeka belajar pada dasarnya merupakan sarana untuk memberikan ruang kreatif terhadap guru dalam melaksanakan aktivitas pembelajaran di ruang kelas.

Melalui merdeka belajar, guru diharapkan dapat mengoptimalkan kemampuan yang ia miliki sehingga siswa yang dilayani mendapatkan proses pembelajaran yang membantu dirinya tumbuh menjadi pribadi yang mandiri, unggul, kreatif, berkarakter, dan berwawasan luas. Dengan gagasan itu pula, guru tidak perlu lagi menjadi robot yang wajib ikut dengan prosedur kaku terkait cara mengajar di kelas yang dikeluarkan oleh pemerintah. Guru 'bebas' untuk mencari refrensi strategi mengajar yang sesuai dengan keadaan dan kebutuhan kelas untuk mencapai tujuan pembelajaran.

Semua guru diharapkan dapat memaksimalkan konsep merdeka belajar ini, termasuk yang mengampu mata pelajaran sejarah. Tantangan menghadirkan pengalaman merdeka belajar dalam pembelajaran sejarah memang cukup sering menjadi pertanyaan; seperti apa model atau metodenya? Terlebih di tengah kondisi masa pandemi Covid-19 yang menyebabkan banyak sekolah terutama di Jawa dan Bali hingga memasuki tahun ajaran baru ini harus melangsungkan pembelajaran secara daring. 

Kelas Diskusi Daring

Ada banyak cara, salah satu yang penulis usulkan adalah menghadirkan kelas diskusi daring. Supaya bisa berlangsung, pertama, guru sejarah sendiri mesti mau mengulik dan terbuka terhadap berbagai refrensi terkait suatu peristiwa masa lalu yang sedang diajar. Guru tidak boleh hanya terpaku pada LKS atau buku paket yang disediakan oleh sekolah, terlebih menjadikannya sebagai sumber yang tidak bisa dibantah karena prinsip kebenaran pada peristiwa masa lalu tidak selalu bersifat mutlak. Ada banyak peristiwa sejarah yang jika guru mau kaji dengan utuh, unsur faktanya masih bersifat lunak.

Kedua, mengingat masih banyaknya fakta yang bersifat lunak, maka dalam kelas diskusi daring, guru memberikan kesempatan yang luas kepada siswa untuk menggali berbagai literatur tentang suatu peristiwa yang sesuai pada konteks topik materi. Tentu saja berarti guru mempersiapkan pertanyaan-pertanyaan pemantik diskusi. Namun, perlu diingat bahwa unsur soal agar tidak sebatas bertanya siapa, kapan, dan di mana. Level sekolah apalagi SMA harus pada takaran HOTS atau analisis yang juga memuat unsur kontekstual sehingga memancing siswa untuk berpikir kritis dan sistematis. 

Ketiga, dalam sesi kelas diskusi ini, guru memberikan ruang yang besar kepada siswa untuk menyampaikan hasil analisanya. Termasuk, guru juga memberikan kesempatan siswa yang lain untuk menyampaikan hasil analisa yang berbeda dengan temannya dan pada prosesnya kemudian saling bertukar tanggapan. Sebisa mungkin, guru tidak memotong pembicaraan dalam diskusi tersebut, serta mengambil peran sebagai moderator.

Selain itu, guru tetap memperhatikan dan mencatat poin-poin yang disampaikan oleh siswa. Sehingga pada lesson plan yang sudah dirancang, guru dan siswa bisa sama-sama melakukan evaluasi, konfirmasi, dan juga refleksi atas materi serta proses belajar. 

Manfaat

Melalui metode kelas diskusi daring seperti ini, pertama siswa akan terbiasa untuk mencari, membandingkan, dan menganalisis sumber literatur secara mandiri.  Berdasarkan pengalaman penulis saat menjadi guru, tepatnya pada momen refleksi di akhir pelajaran, beberapa siswa mengaku muncul rasa ingin tahu yang lebih besar untuk menganalisis fakta-fakta baru terkait peristiwa sejarah yang jadi topik pembicaraan saat itu.

Bahkan, pasca pembelajaran, ada siswa yang mengajak penulis untuk diskusi secara personal melalui aplikasi WhatsApp. Kedua, siswa akan terbiasa untuk berpikir kritis dan terstruktur. Selain karena proses analisis literasi, hal itu juga dikarenakan proses saling memberi tanggapan di mana siswa berusaha untuk memperjelas hasil kajiannya dengan menyajikan data-data yang relevan.

Di samping itu, kelas juga menjadi hidup meski pembelajaran dilakukan secara daring. Terakhir, dengan didampingi guru, siswa akan terbiasa untuk menyimpulkan suatu permasalahan berdasarkan fakta atau data yang mereka kaji sendiri serta melalui proses saling berbeda pendapat. 

***

*) Oleh: Kristoforus Bagas Romualdi, Mahasiswa Pascasarjana Pendidikan Sejarah Universitas Negeri Yogyakarta; Pegiat Gerakan Digital Jangkar Nusantara.

*)Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggungjawab penulis, tidak menjadi bagian tanggungjawab redaksi timesindonesia.co.id

*) Kopi TIMES atau rubrik opini di TIMES Indonesia terbuka untuk umum. Panjang naskah maksimal 4.000 karakter atau sekitar 600 kata. Sertakan riwayat hidup singkat beserta Foto diri dan nomor telepon yang bisa dihubungi.

*) Naskah dikirim ke alamat e-mail: [email protected]

*) Redaksi berhak tidak menayangkan opini yang dikirim.

**) Ikuti berita terbaru TIMES Indonesia di Google News klik link ini dan jangan lupa di follow.

Advertisement



Editor : Ronny Wicaksono
Publisher : Lucky Setyo Hendrawan

TERBARU

Togamas - togamas.com

INDONESIA POSITIF

KOPI TIMES