Kopi TIMES

Gig Economy dan Perlindungan Sosial

Sabtu, 21 Agustus 2021 - 17:28 | 296.97k
Moh Thobie Prathama, Peneliti The Reform Initiatives.
Moh Thobie Prathama, Peneliti The Reform Initiatives.

TIMESINDONESIA, JAKARTA – Kemajuan inovasi teknologi telah mendorong fleksibilitas pekerjaan akibat tekanan efektivitas dan efisiensi bisnis. Gig economy (GE) diglorifikasi sebagai ekonomi masa depan, yakni pasar kerja yang identik dengan kontrak kerja jangka pendek atau pekerja lepas, fleksibel dalam jam kerja, dan minim perlindungan tempat kerja. Data BPS (Februari 2021) menunjukkan 78,14 juta pekerja Indonesia (59,62%) bekerja di sektor informal. GE diyakini menurunkan tuna karya (pengangguran) karena dianggap telah mempercepat fleksibilitas pasar tenaga kerja (TK) sehingga memperluas kesempatan kerja. 

Pasar tenaga kerja (TK) yang fleksibel ini akan menciptakan mekanisme lebih adaptif terhadap siklus bisnis. Situasi ini membuat perusahaan lebih mudah menyesuaikan input TK terhadap setiap keadaan ekonomi (sedang ekspansi atau merosot). Tetapi, yang juga perlu dicatat, format kerja GE ini umumnya bersifat non-standar [seperti kontraktor independen (ojek online, kurir), freelancer, dan pekerja borongan] yang acap menemui ketidakadilan, sehingga muncul sorotan: apakah fenomena GE mampu memberikan keamanan bagi pekerja secara ekonomi?

Eksploitasi Ekonomi 

Di balik pesona GE terdapat bayangan merana. Wajah lain GE adalah bayang-bayang eksploitasi pekerja akibat daya tawar asimetris. Hal ini muncul akibat terlalu banyak TK yang ingin menawarkan jasanya, tetapi hanya beberapa perusahaan berperilaku seragam yang meminta jasa tersebut.

Pada keadaan ini, upah pekerja sangat rentan berada di bawah tingkat produktivitasnya alias pekerja dibayar lebih murah atas jasa yang telah dilakukan kepada perusahaan. Inilah yang menjadi pokok kekhawatiran atas potensi eksploitasi terhadap pekerja.  Di luar itu, status pekerja gig berbeda dengan pekerja formal yang menyebabkan mereka tak memiliki daya kuat melawan ketidakadilan. Contohnya, perusahaan platform yang sering membingkai pelaku yang terlibat dengannya dengan istilah "kontraktor independen" yang bermitra, tidak memiliki kewajiban memenuhi hak-hak buruh layaknya karyawannya (pekerja formal). Padahal, sebagai mitra kerja tentu kedua belah pihak seharusnya memiliki hubungan yang setara dan adil. 

Pekerja gig yang dianggap mitra ini kenyataannya berada di bawah pengawasan ketat perusahaan platform. Pada saat mitra independen ini, misalnya, membatalkan panggilan maka akan dihukum keras.  Pelaku mitra ini juga mesti mengikuti ketentuan pengaturan tarif dan insentif, produktivitas yang diukur dari rating, kecepatan, dan lain-lain yang mendudukkan perusahaan platform seakan-akan adalah majikan. Fleksibilitas yang menjadi dambaan pun menjadi "abu-abu' dalam praktiknya.

Hasil riset IGPA UGM (2021) menyatakan pula bahwa skema kemitraan perusahaan platform transportasi dan kurir online di Indonesia adalah ilusi dan menimbulkan hubungan kerja terselubung lain. Jika penyimpangan skema ini terus diabaikan, rasanya sistem ini bukanlah aplikasi dari strategi inovasi, melainkan perbudakan dengan perkakas baru yang dianggap modern. 

Daya Perlindungan Sosial

Para ahli tentu tidak bisa membantah bahwa perusahaan platform yang bermain dalam GE membantu menciptakan ruang bagi banyak orang. Bagi pencari kerja yang banyak mengalami hambatan memasuki pasar kerja konvensional (tidak mampu memenuhi persyaratan kerja formal yang terlalu rumit), GE menjadi secercah harapan bagi kehidupan yang lebih bagus.  

Jadi, sebagian (besar) dari mereka memang masuk dalam GE karena tidak ada pilihan lain.  Berdasarkan laporan Outlook Lapangan Pekerjaan Indonesia 2020 oleh Bank Dunia dan Bappenas, ditemukan bahwa pekerjaan yang tidak butuh kualifikasi tinggi (seperti kurir dan pengemudi mobil/taksi) masih cerah prospeknya di Indonesia. Artinya, pekerjaan ini  memiliki permintaan tinggi. Namun, prospek cerah dengan kualifikasi rendah (dan berupah rendah) yang dibarengi dengan format kerja non-standar, di baliknya memunculkan ketidakpastian dan risiko perlindungan sosial. Pada titik inilah dibutuhkan intervensi negara. 

Di sini inklusivitas ekonomi sangat penting diperjuangkan, yakni dengan cara memandang manusia bukan hanya sebagai faktor produksi (input operasi bisnis) semata, yang terus digenjot untuk menghasilkan output dan meningkatkan keuntungan sehingga pasar ekonomi terus tumbuh. Ketika ilusi GE ini tumbuh subur tanpa pengakuan dan perlindungan, maka sistem ini hanya makin menggemukkan pemilik modal sehingga ketimpangan ekonomi kian parah.

Mandat konstitusi memberi perintah agar negara wajib memfasilitasi terciptanya pekerjaan yang layak, seperti tercatut dalam SDGs (Sustainable Development Goals). Pekerjaan layak ialah yang menghormati hak dasar manusia dengan memberikan prospek lebih baik untuk berkembang dari waktu ke waktu. Cuma dengan mengandalkan pekerjaan tertentu saja tidaklah menjamin kemampuan seseorang terlepas dari cengkeraman kemiskinan. Praktik eksploitasi dalam wujud memurahkan tenaga kerja perlu diberantas. Setiap tenaga kerja memiliki "nilai tukar" atas jasanya dan pemberi kerja mesti membayarnya secara adil. 

Situasi sekarang menampakkan bahwa problem besar di Indonesia ialah ketimpangan kesejahteraan dan masih tingginya pengangguran (termasuk pengangguran setengah terbuka). Di Indonesia kesenjangan cakupan perlindungan sosial bagi pekerjaan non-standar juga masih lebar. Pekerja non-standar ini memiliki keterbatasan akses ke lembaga keuangan formal. Melembagakan langkah-langkah keamanan ekonomi, khususnya bagi pekerja non-standar, perlu dipikirkan secara serius oleh pengambil kebijakan. Di luar penciptaan lapangan kerja yang laik dan skema relasi kerja yang adil, pemerintah perlu melakukan peninjauan ulang kerangka transfer sosial yang berefek kepada tingkat perolehan kerja masyarakat. Kata kuncinya: penyediaan fasilitas jaminan ketenagakerjaan yang inklusif disertai pilihan remunerasi yang inovatif. Di Swedia, misalnya, telah tersedia asuransi sosial sukarela untuk pekerja non-standar dan sistem asuransi seniman di Jerman (OECD, 2018). 

Pengakuan serikat pekerja non-standar (bagi pelaku GE) untuk memperkuat posisi tawar-menawar kolektif juga amat vital, termasuk kesempatan melatih kembali masyarakat memasuki industri yang sedang berkembang.  Aksesibilitas ke perlindungan sosial adalah bentuk dasar dari harga diri pekerja. Fleksibilitas yang dikejar harus dibarengi stabilitas. Fleksibilitas menciptakan operasi bisnis lebih efisien, sedangkan stabilitas meningkatkan keamanan pekerja secara ekonomi sehingga mengangkat semua perahu (korporat dan pekerja) menuju kemakmuran bersama. Jika ini bisa dieksekusi, maka setiap perubahan ekonomi/teknologi akan bisa dijinakkan lewat adaptasi kebijakan yang berselimut keadilan.

***

*) Oleh: Moh Thobie Prathama, Peneliti The Reform Initiatives.

*) Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggung jawab penulis, tidak menjadi bagian tanggung jawab redaksi timesindonesia.co.id

***

**) Kopi TIMES atau rubrik opini di TIMES Indonesia terbuka untuk umum. Panjang naskah maksimal 4.000 karakter atau sekitar 600 kata. Sertakan riwayat hidup singkat beserta Foto diri dan nomor telepon yang bisa dihubungi.

**) Naskah dikirim ke alamat e-mail: [email protected]

**) Redaksi berhak tidak menayangkan opini yang dikirim apabila tidak sesuai dengan kaidah dan filosofi TIMES Indonesia.

**) Ikuti berita terbaru TIMES Indonesia di Google News klik link ini dan jangan lupa di follow.

Advertisement



Editor : Wahyu Nurdiyanto
Publisher : Ahmad Rizki Mubarok

TERBARU

Togamas - togamas.com

INDONESIA POSITIF

KOPI TIMES