Kopi TIMES Universitas Islam Malang

Surat Kesatu Untuk Koruptor

Jumat, 20 Agustus 2021 - 12:01 | 43.92k
Abdul Wahid, Dosen Fakultas Hukum (FH) Universitas Islam Malang (UNISMA) dan penulis buku.
Abdul Wahid, Dosen Fakultas Hukum (FH) Universitas Islam Malang (UNISMA) dan penulis buku.
FOKUS

Universitas Islam Malang

TIMESINDONESIA, MALANG – Di era reformasi, pernah ada peristiwa penting. Pada 15 Oktober 2003 bersama dengan tokoh-tokoh nasional membuat Gerakan Moral Nasional Pemberantasan Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme (KKN), KH. A. Hasyim Muzadi, selaku Ketua PBNU mengajak sejumlah tokoh nasional  seperti Teten Masduki, Nurcholis Majid, A. Syafi’i Ma’arif, dan lainnya untuk membuat GNPK (Gerakan Nasional Pemberantasan Korupsi). 

Gerakan ini berdimensi moral atau bermaksud menyalakan kekuatan moral, yang diposisikan sebagai modal besar, utama, dan fundamental dalam rangka pemberantasan korupsi.

Gerakan moral tersebut sebagai suatu “sampel historis” tentang bentuk sikap yang menempatkan korupsi sebagai musuh bersama atau common enemy  yang wajib dilawan oleh siapapun dari segmen bangsa di negara ini. Gerakan moral wajib ditegakkan jika tidak ingin negara ini semakin menuju ke liang kehancurannya.

Dulu Bung Hatta juga pernah bilang kalau korupsi di negeri ini sudah membudaya. Kritik ini kemudian dijadikan patokan menganalisis gerak perkembangan koruptor di Indonesia, yang gejalanya ternyata membenarkan dan menguatkan sinyalemen Hatta tersebut. Faktanya, koruptor benar-benar mampu membuktikan dirinya sebagai pemilik budaya structural  yang sangat patologis, alias sakit berat yang membuat negeri terus bergeser jadi sekarat.

INFORMASI SEPUTAR UNISMA DAPAT MENGUNJUNGI www.unisma.ac.id

Siapa diantara kita yang tidak pernah korup? Penyakit menular itu telah merebak kemana-mana. Di Jakarta, di kota-kota besar, kota-kota kecil, bahkan di desa-desa, penyakit itu bagai menjangkiti semua orang tanpa pilih bulu. Susahnya, mencari orang yang bebas korupsi di Indonesia sekarang ini sama dengan sulitnya mencari orang jujur (Karni Ilyas, 1996)

Tindak pidana korupsi sekarang bukan lagi sekedar ordinary crime, tapi sudah menjadi extra ordinary crime karena korupsi sudah melanggar hak ekonomi rakyat” (Abdul Ghani, 2001). Seorang hakim ad hok yang bertugas menangani kasus korupsi menyebutkan bahwa kerugian yang diderita oleh rakyat (negara) akibat praktik kleptomania elit selama ini telah mencapai angka Rp 500 triliun.

Sungguh suatu kerugian yang tidak sedikit, karena selain uang negara yang terkorupsi senilai lebih kurang 35% dari utang LN Indonesia, yang menurut Jefri Winters sebagai utang kriminal (criminal dept) atau “utang najis”, juga seharusnya uang demikian besar ini bisa digunakan untuk memenuhi atau mengatasi “proyek-proyek” berkadar pencerahan bangsa, seperti pembebasan biaya sekolah untuk anak-anak dari keluarga miskin, peningkatan gizi ibu hamil yang kekurangan gizi (malnutrisi), dan perluasan wilayah kerja untuk mengurangi beban pengangguran terdidik.

Membudayanya korupsi di Indonesia memang tidak main-main, karena di hampir setiap sector strategis yang berbau asset publik atau menyimpan kekayaan negara, para koruptor yang dewasa ini disebut sebagai tikus-tikus negara, mampu dan sangat  canggih menggaruk, mengeruk, dan menggerogoti kekayaan negara. Kekayaan negara dijadikan ajang untuk memperkaya diri, kroni, dan keluarga yang dianggap bisa “menyembunyikan” hasil-hasil korupsinya.

Namanya saja sebagai kejahatan yang sudah membudaya dan membumi, kalau tak dibilang sudah demikian “merakyat”, maka untuk memberantasnya pun jelas tidak gampang, apalagi jika para pemegang kekuasaan (mulai dari eksekutif, legislative, hingga yudikatifnya) tidak sungguh-sungguh, tidak totalitas, atau jihad-nya hanya setengah hati dan sekedar mengisi wacana politik kriminalitas.

INFORMASI SEPUTAR UNISMA DAPAT MENGUNJUNGI www.unisma.ac.id

Basri (2002) menutuskan, bahwa telah ditemukan pula, secara kuantitatif dan kualitatif korupsi di Indonesia sudah parah. Jika kita membandingkannya dengan praktek-praktek pidana korupsi di tempat negara lain. Dari tahun ketahun kasus-kasus korupsi ini semakin meningkat. Indikatornya tercermin dari misalokasi sumber daya yang mengakibatkan lemahnya sendi-sendi ekonomi, sehingga membuat kita rentan saat krisis. Ini membuktikan bahwa tingkat korupsi yang tinggi menyebabkan degradasi pondasi ekonomi yang paling parah diantara negara-negara yang terkena krisis di Asia.

Ketidakpercayaan atau gugatan terhadap berbagai bentuk  strategi penanggulangan korupsi ini wajar, mengingat punggawanya yang sedang menduduki kursi sangatlah diragukan telah steril dari apa yang disebut dengan “najis” penyimpangan kekayaan publik itu. Mereka telah sekian lama dan sistemik hidup dalam kubangan kenikmatan bendawi lewat  longgarnya dan dibudayakannya cara-cara “apapun bisa dan aman dilakukan, asalkan lainnya kebagian”.

Tatkala semua atau setidaknya terjadi pemerataan perbuatan anomali (penyimpangan norma), maka akhirnya yang berlaku adalah kekuatan mayoritas. Semakin banyak yang terlibat, kecipratan  atau sama-sama ikut menikmati hasil korupsi, maka kekuatan kejahatannya makinlah terorganisasi dan menjadi  produk “hukum kesepakatan” yang jelas-jelas tidak gampang dibongkar secara tuntas, karena masing-masing pemain telah memainkan perannya dengan professional. Hal inilah yang kemudian membenarkan stigma atau label kalau Indonesia berada dalam cengkeraman budaya korupsi (culture of corruption)

“Kesepakatan” tersebut menjadi ciri khas dunia sindikat, tidak terkecuali di lingkungan birokrat dan poliitisi. Tatkala kekuatan strategis bangsa ini sangat kuat mengelola kejahatan terorganisirnya, maka  barangkali suatu kemustahilan produk kejahatannya akan terbongkar, terlebih pada saat menjabatnya.

INFORMASI SEPUTAR UNISMA DAPAT MENGUNJUNGI www.unisma.ac.id

*)Penulis: Abdul Wahid, Dosen Fakultas Hukum (FH) Universitas Islam Malang (UNISMA) dan penulis buku.

*)Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggungjawab penulis, tidak menjadi bagian tanggungjawab redaksi timesindonesia.co.id

**) Ikuti berita terbaru TIMES Indonesia di Google News klik link ini dan jangan lupa di follow.

Advertisement



Editor : Dhina Chahyanti
Publisher : Rochmat Shobirin

TERBARU

Togamas - togamas.com

INDONESIA POSITIF

KOPI TIMES