TIMESINDONESIA, MALANG – style="text-align:center">“wahai bangsaku, wahai bangsaku.
Cinta tanah air bagian dari iman
Cintailah tanah air ini wahai bangsaku
Jangan kalian menjadi orang terjajah
Sungguh kesempurnaan itu harus dibuktikan dengan perbuatan
Dan bukanlah kesempurnaan itu hanya berupa ucapan
Berbuatlah demi cita-cita
Jangan hanya pandai bicara,
Dunia ini bukan tempat untuk menetap,
Tetapi hanya tempat berlabuh
Berbuatlah sesuai dengan perintahNya
Dan janganlah kalian menjadi sapi tunggangan
Kalian tak tahu orang yang memutar balikkan
Dan kalian tak mengerti apa yang berubah
Di mana akhir perjalanan
Dan bagaimana pula akhir kejadian
Adakah mereka memberimu minum
Juga kepada ternakmu
Atau, mereka membebaskanmu dari beban
Atau, malah membiarkan tertimbun beban
Wahai bangsaku yang berfikir jernih
Dan halus perasaan
Kobarkan semangat.
***
Syair itu adalah petikan dari lagu perjuangan yang selalu dinyanyikan oleh tokoh-tokoh NU terdahulu saat NU masih menjadi Nahdhatul Wathan, setelah digubah oleh Mbah Wahab Hasbullah menjadi syair. Lagu itu dinyanyikan sebagai pemompa semangat dan penguat etos juang warga NU dan bangsa Indonesia pada umumnya untuk melawan kolonialisme. Dan memang dimensi histories kelahiran NU adalah dilatarbelakangi oleh kepentingan membela tanah air (nasionalisme) setelah ratusan tahun diinjak-injak penjajah.
INFORMASI SEPUTAR UNISMA DAPAT MENGUNJUNGI www.unisma.ac.id
Berpijak pada akar sejarah, rasanya tak berlebihan jika kita saat ini perlu “memberi pelajaran” atau setidaknya mengajak bicara dengan nurani (bukan rasionalitas semata) kepada elit-elit NU baik yang berada di pucuk pimpinan NU maupun pimpinan Banom-banomnya, bahwa para orang tua (pendiri NU) yang rela menghabiskan waktu dan mempertaruhkan nyawanya melalui Nahdhatul Wathan adalah demi NU dan masa depan negeri ini, dan bukan demi kepentingan diri, kelompok, kolega, partai, dan kepentingan-kepentingan eksklusif lainnya.
Kalimat “janganlah kalian menjadi sapi tunggangan” dalam syair tersebut sebenarnya mengingatkan warga nahdhiyin supaya tak menjadi obyek, menyerahkan diri jadi kelinci eksperimen kekuatan-kekuatan politik dan kekuasaan, atau secara khusus, kita warga Nadhiyin jangan sampai menjadi kendaraan kekuatan lain semata. Kita diingatkan supaya kita menjadi komunitas yang kuat, punya integritas, dan kapabilitas untuk menghadapi berbagai kekuatan lain yang mencoba mengecilkan dan mengucilkan peran-peran strategis kita di belantara Indonesia.
Kita sudah dididik oleh para pendiri NU supaya mendahulukan kepentingan besar: kepentingan bangsa yang masih dialnda oleh krisis belapis-lapis ini, dan tak semata-mata sibuk dan membelitkan diri dalam problem eksklusivisme organisasi. Persoalan besar di bidang ekonomi, politik, hukum, budaya, agama, dan sektor-sektor strategis lainnya tak akan mungkin bisa diatasi dengan baik jika sebagian komponen bangsa justru masih belum menyembuhkan dirinya sendiri.
Sebagai bagian dari komponen bangsa yang “rakyatnya” di jumlahnya puluhan juta, tentulah naïf kalau pemerintahan ini dibiarkan berjalan dan berlalu tanpa sumbangsih pikiran dan aksi-aksi cerdas NU, apalagi di tengah belantara negeri ini, komponen bangsa yang seringkali menjadi korban dan dikorbankan adalah warga NU.
INFORMASI SEPUTAR UNISMA DAPAT MENGUNJUNGI www.unisma.ac.id
Ketika misalnya terjadi kasus kekerasan bermotif politik, warga NU, seperti tokoh-tokoh NU di desa yang tak banyak mambu-mambu urusan politik, seringkali dijadikan sasaran atau korban oleh kekuatan-kekuatan yang tak kelihatan, yang diberi nama “tangan-tangan gaib” (the invisible hands). Kekuatan-kekuatan ini menciptakan chaos dan berbagai bentuk opini praduga bersalah yang muatannya adu domba dan fitnah.
Dalam kondisi seperti itu (jika masih terulang, khususnya pasca pandemic Covid-19), kondisi warga NU ibarat komunitas yang diselimuti mendung, menjadi obyek yang dipermainkan, dibuat atau rentan terseret atau tergoda dalam kegamangan, rasa miopik, atau kegelisahan. Secara psikologis, urusan warga NU akhirnya terbatas di kisaran menjawab ragam serangan yang mengancam dan mengelola konflik.
Persoalannya, mungkinkah kita bisa menjadi suatu komunitas keagamaan yang kuat jika kita masih kental memelihara penyakit-penyakit psikologis yang memperlemah diri serta potensial menjadikan diri dan organisasi (NU) ini sebagai “sapi tunggangan”? atau mungkinkan NU bisa menjadi organisasi modern atau “rumah” yang menyemaikan nilai-nilai demokrasi sejati yang diperhitungkan kesejatian dirinya jika menyelesaikan persoalan “dapur” saja seringkali keteteran? ***
INFORMASI SEPUTAR UNISMA DAPAT MENGUNJUNGI www.unisma.ac.id
*)Penulis: Abdul Wahid, Dosen Universitas Islam Malang (UNISMA) dan Penulis Buku.
*)Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggungjawab penulis, tidak menjadi bagian tanggungjawab redaksi timesindonesia.co.id
**) Ikuti berita terbaru TIMES Indonesia di Google News klik link ini dan jangan lupa di follow.
Advertisement
Editor | : Dhina Chahyanti |
Publisher | : Rochmat Shobirin |