Kopi TIMES Universitas Islam Malang

Nasionalisme Salafus Sholih

Jumat, 20 Agustus 2021 - 09:01 | 47.87k
Thoriq Al Anshori, M.Pd, Dosen Fakultas Agama Islam (FAI) Universitas Islam Malang (UNISMA).
Thoriq Al Anshori, M.Pd, Dosen Fakultas Agama Islam (FAI) Universitas Islam Malang (UNISMA).
FOKUS

Universitas Islam Malang

TIMESINDONESIA, MALANGSalafus Sholih adalah sebutan tiga generasi awal umat Rasulullah SAW, yaitu para Sahabat, Tabi’in dan Tabi’it Tabiin. Tiga generasi ini adalah generasi kebanggaan Rasulullah SAW karena kedekatan masa mereka dengan sebaik-baik masa, yaitu masa diutusnya Rasulullah SAW.

Tidak heran jika keberkahan dan anugrah langit berlimpah ruah turun ke bumi karena banyaknya orang-orang yang lebih mengedepankan akhirat dari dunia. Bagi mereka dunia adalah sarana untuk beramal kebajikan sebanyak-banyaknya.

Kesadaran akan hal ini tumbuh subur di generasi mereka karena penempaan budi pekerti dilakukan oleh para orang tua jauh sebelum anak-anak mereka lahir ke dunia dengan berbagai macam cara. Mereka mempunyai keyakinan cara mencetak generasi kebanggaan Nabi SAW adalah dengan memulai dari diri sendiri terlebih dahulu, anak yang baik pasti tumbuh dari orang tua dan lingkungan yang baik pula.

Tidak berlebihan jika ada yang mengatakan berbagai macam hal tentang mereka dalam hal keteladanan akan selalu menjadi trendsetter. Termasuk dalam hal nasionalisme. Diceritakan dalam Sirah Nabawiyah, kala Nabi SAW terusir dari Makkah al Mukarramah dan beliau diperintahkan untuk hijrah ke Madinah al Munawarah, beliau memandangi kota kelahirannya itu dari kejauhan seraya bersabda: ”Demi Allah (wahai Kota Makkah), sesungguhnya engkau adalah negeri yang paling ku cintai, kalau bukan karena pendudukmu mengusirku, aku tidak akan meninggalkanmu” (HR. Ahmad, Tirmidzi, Ibnu Majah dan An nasai’i).

Bukan hanya sampai disitu saja, ekspresi cinta Nabi SAW terhadap kota kelahirannya itu juga diabadikan oleh para perowi hadith setelah sekian lama Nabi saw tinggal di madinah, nyatanya keccintaannya pada Makkah tidak tergantikan, hingga beliau bersabda, “Ya Allah cintakanlah kepada kami kota Madinah sebagaimana cinta kami terhadap kota Makkah, bahkan lebih” (HR. Bukhari).

Begitulah kecintaan Nabi SAW pada dua tanah airnya yang suci ini. Nasionalisme Nabi SAW terhadap Makkah sangat terlihat jelas, terbukti beliau tidak rela di tanah kelahirannya ini merajarela kemusyrikan dan berbagai perbuatan keji hingga bagaimanapun keadaannya beliau senantiasa menyeru ke jalan yang benar.

Kecintaannya terhadap Madinah juga dapat dilihat jelas pada beberapa kondisi di mana beliau rela berjuang mati-matian mempertahankan diri, umat, kota suci dan agama sehingga kita mengenal perjuangan beliau di Badr, Uhud, Khandaq dan seterusnya.

INFORMASI SEPUTAR UNISMA DAPAT MENGUNJUNGI www.unisma.ac.id

Imam Haqqi bin Musthafa al Hanafi dalam kitab Ruhul Bayan menuqil atsar yang dinisbatkan kepada Sayyidina Umar bin Khottob ra, “Seandainya tidak ada cinta tanah air, maka akan semakin hancur suatu negeri yang terpuruk, dengan cinta tanah air negeri-negeri akan termakmurkan”. Kapasitas Umar kala itu adalah seorang Ulama sahabat sekaligus negarawan yang faham betul kondisi suatu negara dan sangat mencintainya.

Di bawah kepemimpinan Umar berbagai wilayah dapat ditakhlukkan, pencapaian ini tak lain dan tak bukan adalah hasil nasionalisme beliau yang amat besar, sekaligus kuatnya iman dan takwa sehingga berbagai macam langkah beliau sennatiasa dibimbing Allah swt. demikian pula Bilal bin Rabah ra, kala sedang sakit terbaring di Madinah, beliau menyenandungkan rindu dan cintanya pada Makkah dalam beberapa bait syair yang sangat terkenal di kalangan sastrawan Arab, dan masih banyak lagi riwayat yang menjelaskan betapa cinta para sahabat terhadap tanah airnya.

Pun demikian para Tabi’in, demi menjaga keutuhan bangsa agar tidak terjadi pemberontakan dimana-mana, Hasan al Bashri saat menemui orang berumpah serapah hendak menyerang dan mencaci Hajjaj bin Yusuf Ats Tsaqafi beliau menasehati yang bersangkutan dengan satu nasehat yang akan terus dikenang oleh sejarah, “Jangan kau caci dia, pemimpinmu adalah cerminan dari akhlakmu wahai rakyat, sebagaimana kau berakhlak itulah pemimpinmu”.

Hasan al Bahsri tidak hanya lantang kritis terhadap rakyat yang di bawah, beliau juga lantang menasehati para penguasa. Dikisahkan bahwa Hajjaj membangun rumah yang sangat megah nan mewah, lalu dia mengundang rakyatnya untuk mendoakan dirinya, tiba-tiba Hasan al Bashri datang seraya berkata, “sungguh, Firaun pun membangun istana yang jauh lebih megah dari ini dan Allah membinasakannya, Celakalah Hajjaj! Bahwa penduduk langit telah murka padamu atas semua yang kau perbuat, dan penduduk bumi telah menipumu atas keridaan mereka terhadap perbuatanmu!”.

Hasan Al Bashri mengkritik keras Hajjaj atas perbuatannya membunuh Sahabat besar sekaligus keponakan Nabi Saw yaitu Abdullah Bin Zubair di tanah suci Makkah di depan Ka’bah. Semangat Hasan Al Bashri dalam memberikan pencerahan terhadap siapapun yang menyeleweng ini timbul dari rasa nasionlisme yang teramat besar dan kesadaran bahwa negara yang aman adalah dambaan tiap warga negara, beliau berharap jika ada suatu permasalahan dalam negara semua pihak termasuk penguasa dan rakyat harus instropeksi diri membenahi akhlak.

Pun demikian banyak kisah heorik bagaimana jiwa nasionalis dari para Tabi’in seperti: Abu Hanifah, Atha’ bin Abi Rabah, Muhammad bin Sirin, Qatadah, Said bin Jubair, Umar bin Abdul Aziz dan seterusnya.

INFORMASI SEPUTAR UNISMA DAPAT MENGUNJUNGI www.unisma.ac.id

Sejarah juga mengabadikan bagaimana heroiknya Tabiut Tabi’in dalam hal membela Agama, nusa dan bangsa. Seperti Imam Ahmad bin Hanbal menghadapi fitnah mu’tazilah seputar doktrin al Quran adalah makhluk, Imam Syafii yang pernah dituding mendukung syiah dan dituduh hendak membelot sekaligus merongrong penguasa saat itu, Imam Malik yang dicambuk karena dianggap melawan perintah Abu Ja’far Al Manshur lantaran beliau meriwayatkan hadith bahwa talak tidak akan jatuh bagi orang yang dipaksa (ketika itu Abbasiyah membuat fatwa, rakyat harus taat pemerintah, yang tidak taat maka talaq jatuh terhadap istrinya) dan masih banyak lagi. Mereka semua adalah orang-orang yang sangat mencintai Agama, nusa dan bangsa.

Hingga tidak rela terjadi sesuatu yang menyeleweng pada ketiganya. Jiwa nasionalis membuat mereka bijak dalam bersikap, jiwa religius menjadikan mereka teguh hati dalam mengahadapi konsekwensi dari setiap ucapan benar yang disampaikan.

Nasionalis dan religius adalah dua kutub yang seyogyanya tidak patut dipertentangkan, namun harus senantiasa berjalan berdampingan saling mendukung satu sama lain, dengan inilah para salaf terdahulu membimbing umat hingga muncul baldatun thayyibatun wa rabbun ghofuur (Negeri yang selaras antara kebaikan alam dan kebaikan perilaku penduduknya. Negeri yang penduduknya subur dan makmur, namun tidak lupa untuk bersyukur). 

INFORMASI SEPUTAR UNISMA DAPAT MENGUNJUNGI www.unisma.ac.id

*)Penulis: Thoriq Al Anshori, M.Pd, Dosen Fakultas Agama Islam (FAI) Universitas Islam Malang (UNISMA).

*)Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggungjawab penulis, tidak menjadi bagian tanggungjawab redaksi timesindonesia.co.id

**) Ikuti berita terbaru TIMES Indonesia di Google News klik link ini dan jangan lupa di follow.

Advertisement



Editor : Dhina Chahyanti
Publisher : Rochmat Shobirin

TERBARU

Togamas - togamas.com

INDONESIA POSITIF

KOPI TIMES