Kopi TIMES

Resistensi Media Mainstream dalam Semarak Media Sosial

Kamis, 05 Agustus 2021 - 15:33 | 143.80k
Edi Junaidi DS, Jurnalis TIMES Indonesia.
Edi Junaidi DS, Jurnalis TIMES Indonesia.

TIMESINDONESIA, JAKARTA – Sudah bukan rahasia lagi jika posisi media mainstream mulai dianggap telah disaingi oleh keberadaan media sosial. Pengguna media sosial dianggap lebih merasa bebas berekspresi karena memiliki otoritas kuat dengan banyaknya fitur di dalamnya sehingga tidak hanya hiburan namun berita mereka bisa nikmati hanya dengan bermodalkan paket prabayar yang murah.

Di lain pihak, mode pekerjaan jurbalisme media tidaklah semudah membalikkan telapak tangan, tantangan lapangan dan biaya tidak murah. Hal ini tidak lantas kadang menjadi ukuran publik simpati ataupun memberikan apresiasi pada media arus utama.

Dalam beberapa tahun terakhir, kita telah menyaksikan jejaring sosial berkembang. Jejaring dunia maya membentuk kembali komunikasi di seluruh dunia secara signifikan meningkatkan kecepatan penyebaran berita, dan menghubungkan dunia lebih kuat dari sebelumnya.

Meskipun jejaring media sosial telah menjadi penemuan revolusioner bagi masyarakat, dan banyak peneliti telah beralih ke media sosial untuk mengeksplorasi topik yang sedang hangat, media arus utama masih tetap sebagai asal dari sebagian besar berita yang dibahas di situs jejaring sosial. Uniknya, penggalian aliran data dalam media sosial untuk membuat rekomendasi dari bentuk-bentuk konten seperti video berdasarkan topik yang sedang tren telah menjadi salah satu unsur data dalam komunitas riset. Alasannya, unsur media sosial mengambil posisi penting tidak lepas dari alasan kualitas layanan dapat ditingkatkan secara signifikan .

Perlu diingat, sampai sekitar awal 2000-an, media arus utama, yang hanya mengacu pada di mana kebanyakan orang Indonesia mendapatkan berita mereka, umumnya termasuk surat kabar lokal seseorang, afiliasi TV lokal, dan program berita siaran nasional. Saat ini, lanskap media lebih kompleks. Ini telah meluas dari sumber berita tradisional (cetak, TV, dan radio) ke video, radio AM/FM, podcast, radio satelit, dan media sosial. Seiring berkembangnya, menjadi lebih terfragmentasi, sehingga media tradisional pun dapat memiliki audiens yang semakin sempit.

Di Amerika Serikat tubrukan terjadi di saat sebagian politisi dan lainnya telah membuat klaim bahwa pelaporan media arus utama adalah salah dan bias, telah mencela wartawan berikut penyedia beritanya. Ini telah menyebabkan kebingungan dan ketidakpercayaan. Faktanya, 33% orang Amerika mengatakan mereka tidak percaya pada media massa, menurut jajak pendapat Gallup dari September 2020 lalu.

Misinformasi aktual dan berita palsu semakin mengikis kepercayaan pada institusi politik dan pemerintah. Laju cepat di mana media menjadi viral membuatnya sulit untuk menemukan dan membasmi berita palsu. Pada tahun 2016, berita palsu menyebar lebih cepat di Facebook daripada platform lain, menurut sebuah penelitian yang diterbitkan di Nature Human Behavior.

Sulit memaknakan secara tegas bagaimana posisi pers saat ini dalam istilah pondasi Pilar Ke-empat Negara sebagaimana dinubuatkan peran jurnalisme sebagai pilar demokrasi sejak tahun 1840-an. Pers bebas yang mengutamakan akurasi memastikan bahwa pemerintah di semua tingkatan tetap bertanggung jawab kepada warganya. Cukup mudah untuk menentukan apa yang dianggap sebagai media mainstream, bukan? Perusahaan besar di bawah payung perusahaan dengan jurnalis terlatih dan sumber daya yang luas yang melaporkan berita dan menyebarkan cerita melalui berbagai saluran, dari cetak hingga podcast bisa kita sebut media arus utama.

Munculnya penggunaan Algforitma menjadi persaingan media Mainstream dan media sosial membuat wacana dan konten berseliweram secara bebas. Jurnalisme yang baik tidak boleh bermain dengan nada-nada psikologis dan menulis berita sensational. Hal ini tentu tidak dipatuhi oleh berita dalam dikemas di media sosial. Hakikatnya dalam wilayah etika media sosial sering abai  sehingga kadang membuat permainan ekpektasi yang berlebihan tanpa kedalaman fakta yang dimuatnya. 

Sebagai Facebook di Amerika, penggunanya menyukai dan membagikan artikel yang menjadi viral, yang mengarah pada peningkatan jumlah pembaca. Dalam kasus Google, algoritme penelusuran menampilkan berita yang sedang tren dan artikel lain yang disesuaikan dengan riwayat penelusuran pengguna. Seorang konsumen berita yang mendengarkan podcast dan menonton video di YouTube mungkin masih mendapatkan konten berita dari akun media sosial dan tidak pernah sekalipun berlangganan koran.

Perebutan Kekuatan Wacana

Media arus utama dan media sosial dibedakan dalam satu perbedaan yakni independensi. Kecenderungan menolak media arus utama sering menjurus pada landasan berpikir kepemilikan korporat media akan menumbangkan independensi editorial, sementara media alternatif diwakili oleh media sosial, dengan melayani audiens yang lebih kecil, dianggap memiliki lebih banyak kebebasan untuk melaporkan berita yang tidak diminati oleh media arus utama. Sekalipun media sosial dianggap peka pada suara minor tetapi sulit memberikan kesempatan untuk membuktikan ketepatan dan prosedur dalam pengambilan data lapangan. 

Komitmen dalam pemberitaan jauh bertanggung pada kejujuran proses dan Teknik yang sistematis, dalam media sosial hal ini tidak jelas dalam pembuktiannya. Media arus utama juga sangat berpegang pada ide pokok dan landasan hukum sehingga selentur apapun media mainstream melakukan peliputan, ada jejak dan ikatan pada lansasan aturan dalam pers di mana media sosial juga tidak diengkapi sesistematis seperti pada undang-undang pers. Media sosial tentu membuat penyebaran berita dan informasi menjadi lebih mudah. Semua outlet berita menggunakan media sosial, tidak hanya untuk berbagi cerita, tetapi untuk belajar tentang apa yang sedang terjadi. Media sosial mengubah cara kita mengonsumsi berita dan informasi, dan cara kita mengadvokasi isu-isu yang paling penting bagi kita sebagai komoditas. Kekeliruan ini hanya ditujukan dengan mengupayakan banyaknya followers dan sentrum perhatian tanpa melihat publik terdampak ataupun tidak.

Akan tetapi tulisan ini tidaklah memukul rata, sebab sebagian besar media mainstrem juga memiliki media sosial tetapi itu tidak sama dengan pemberitaan media sosial sebagaimana yang nampak dengan pemberitaan sensasional ataupun pengutipan tanpa sumber.  Di Amerika, sebagian besar konten berita di media sosial berasal dari outlet berita mainstream, seperti NBC News atau Washington Post. Perusahaan media tradisional melakukan apa yang mereka bisa untuk melibatkan pelanggan secara online. Akibatnya, peningkatan jumlah pendapatan media tradisional datang dari platform digital.

Misalnya, New York Times melaporkan 35 persen pendapatan iklannya berasal dari digital; untuk Forbes, jumlahnya adalah 70 persen. Menurut Pew Research, hampir 40 persen orang Amerika mengatakan mereka mendapatkan berita dari Facebook. Dan mereka yang menggunakan media sosial dengan senang hati berbagi dan membuat konten mereka sendiri secara online. Sebuah makalah oleh Columbia Journalism Review menyatakan, “Media sosial tidak hanya menelan jurnalisme, tetapi juga menelan segalanya”.  

Menurut survei Nielsen Consumer & Media View (CMV) tahun 2017 saat ini media cetak (termasuk Koran, Majalah dan Tabloid) memiliki penetrasi sebesar 8% dan dibaca oleh 4,5 juta orang. Dari jumlah tersebut, 83%nya membaca koran. Alasan utama para pembaca masih memilih koran adalah karena nilai beritanya yang dapat dipercaya. Elemen trust terhadap konten tentu berpengaruh terhadap iklan yang ada di dalamnya. Keberadaan koran sebagai media beriklan sangat penting untuk produk yang mengutamakan unsur trust misalnya produk perbankan dan asuransi.

Media cetak di Indonesia cenderung dikonsumsi oleh konsumen dari rentang usia 20-49 tahun (74%), memilki pekerjaan sebagai karyawan (32%) dan mayoritas pembacanya berasal dari Kelas Atas (54%). Ini menunjukkan bahwa pembaca media cetak masih produktif dan dari kalangan yang mapan. 

Ada alasan lain yang membuat media sosial dianggap mirip bentuk dengan media arus utama. Pembaca media cetak juga merupakan pembuat keputusan dalam rumah tangga untuk membeli sebuah produk (36%). Dengan semakin berkembangnya teknologi, pembaca media cetak juga menggunakan Internet dalam kehidupan sehari-hari. Tingginya frekuensi penggunaan internet diantara pembaca media cetak yang mencapai 86%, yaitu diatas rata-rata yang sebesar 61% semakin memperkuat fakta bahwa pembaca media cetak berasal dari kalangan yang lebih affluent.
Setidaknya ada beberapa alasan sekaligus kritik pentingnya media mainstream sebagai sumber utama dalam rujukan menukas fakta peristiwa.

Pertama, media arus utama memiliki panduan dan rujukan batasan etis baik pada lembaga perusahaan media dan pekerja media di dalamnya. Sehingga sulit media mainstream secara bebas memilih kehendaknya dan mengorbankan publik pembacanya. Kedua, pekerjaan pers dalam institusi media sudah melewati tahap seleksi profesionalisme dan pengalaman. Dari sini dapat diartikan bahwa pengalaman landscape public sama pentingnya dalam pemahaman resiko dalam menusliskan berita terkait memuat fakta dan data yang salam. Hal ini membelah posisiya dengan kenyatan pada pemberitaan di media sosial yang dikemas secara sederhana.

Karena konsumen memiliki kendali langsung atas umpan media sosial mereka, tanpa sadar dapat membatasi jenis informasi yang mereka lihat yang dapat menyebabkan polarisasi, serta orang-orang yang tidak berpendidikan secara politik dan sosial. Sebagaimana riset Columbia Journalism Review bahwa orang-orang saat ini dihadapkan pada berita yang bercampur dengan gosip, opini, hot take, dan konten bermerek, dari berbagai sumber tetapi seringkali melalui satu platform terutama jejaring sosial, yang cenderung mengarah pada pengelompokan pembaca dan seleranya tidak dengan membentuk manusia yang cerdas dan teliti. Sebagai penutup, kita juga tidak menutup kemajuan sebagai hal yang mesti diterima seperti perubahan desain dan fitur infromasi pada media sosial, tetapi memilih sesuatu yang jauh lebih bermanfaat dan benar jauh dari lebih penting. 

***

*) Oleh: Edi Junaidi DS, Jurnalis TIMES Indonesia.

*) Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggung jawab penulis, tidak menjadi bagian tanggung jawab redaksi timesindonesia.co.id

***

**) Kopi TIMES atau rubrik opini di TIMES Indonesia terbuka untuk umum. Panjang naskah maksimal 4.000 karakter atau sekitar 600 kata. Sertakan riwayat hidup singkat beserta Foto diri dan nomor telepon yang bisa dihubungi.

**) Naskah dikirim ke alamat e-mail: [email protected]

**) Redaksi berhak tidak menayangkan opini yang dikirim apabila tidak sesuai dengan kaidah dan filosofi TIMES Indonesia.

**) Ikuti berita terbaru TIMES Indonesia di Google News klik link ini dan jangan lupa di follow.

Advertisement



Editor : Wahyu Nurdiyanto
Publisher : Sofyan Saqi Futaki

TERBARU

Togamas - togamas.com

INDONESIA POSITIF

KOPI TIMES