Kopi TIMES

Bendera Merah Putih dan Persatuan Bangsa

Rabu, 28 Juli 2021 - 12:00 | 104.66k
Bery M, Penulis buku Daya Ungkit Bonus Demografi Indonesia dan pemerhati isu sosial.
Bery M, Penulis buku Daya Ungkit Bonus Demografi Indonesia dan pemerhati isu sosial.

TIMESINDONESIA, JAKARTA – Kita tentu bersimpati kepada korban pandemi yang terjadi di Malaysia dan banyak negara lain. Apalagi sebagian warga Malaysia sampai mengibarkan bendera putih sebagai pertanda permintaan bantuan. Gerakan bendera putih itu viral karena dukungan poster di media sosial. Dan, mudah kita tebak, bendera tersebut banyak terjadi di lingkungan kelas menengah ke bawah dan pinggiran kota, karena kelas tersebut terjerembab dalam kesulitan ekonomi akibat lapangan pekerjaan lenyap dan peluang usaha sangat minim.

Narasi bendera putihpun, sudah mulai terlihat masif di Indonesia. Beberapa tokoh media sosial yang memiliki follower jutaan, mulai membangun wacana, bagaimana kalau di Indonesia juga memulai gerakan tersebut. Tentu saja kita juga turut prihatin akan kondisi kritis akibat pandemi di dalam negeri. Tapi, meniru gerakan serupa, kiranya hanya akan semakin membuat runtuh psikologis publik. Kita perlu mengingat kembali sejarah bangsa, yang memiliki karakter keberanian (merah) dan putih yang mewakili kesucian (jiwa). Hakikat maknanya, tubuh manusia yang di isi jiwa saling melengkapi dan menyempurnakan.

Karena itu tidak heran, kerajaan Majapahit menjadikan bendera merah putih sebagai simbol kebesaran kerajaan pada abad ke-13 hingga ke-16. Pun, Sisingamangaraja IX dari tanah Batak menggunakan bendera merah putih ketika berperang. Ini membuktikan, ada faktor historis dan psikologis mengapa bendera merah putih menjadi pilihan warna bendera bangsa. Hal ini mengisyaratkan bahwa bangsa Indonesia adalah manusia pantang menyerah  ( berani ) menghadapi tantangan apapun. Dan, pada akhirnya Indonesia meraih kemerdekaan dengan persatuan rakyatnya melawan penjajahan. Karena itu, jika warga bersatu ingin mengibarkan bendera, kiranya lebih kuat, tangguh dan membangun optimisme, jika mengibarkan bendera merah putih sebagai perlambang keberanian dalam menghadapi pandemi dengan kepala tegak. 

Bendera merah putih simbol persatuan dan gotong royong

Namun tentu saja, pengibaran bendera merah putih, tidak cukup hanya sekedar simbol belaka di depan rumah ataupun di media sosial. Narasi besar harus pula di dukung tindakan besar antar warga, pemerintah, dan segenap stoke holder. Bangsa kita membutuhkan persatuan menghadapi pandemi dengan solusi progresif dan produktif agar mampu guyub, tangguh dan lolos dari cengkraman pandemi sialan ini.

Boleh jadi, rangkaian huruf yang mencipta kata persatuan saat ini tengah menjelma hanya sekedar ingatan sempit dan dangkal kita ketika masih sekolah dalam mata pelajaran kewarganegaraan ataupun Pancasila tanpa eling bahwa kata tersebut sungguh elemen krusial menjadi tenaga maha besar yang mampu mendorong semangat juang rakyat dengan alat perang seadanya, berdarah-darah bahkan kehilangan nyawa pada periode merebut kemerdekaan. Pada akhirnya membebaskan bangsa kita dari kebiadaban penjajahan.

Bisa jadi pula, pemahaman gotong-royong hanya di ingat dalam retorika selebrasi politik ketika para politikus menarik simpati rakyat. Padahal, kata tersebut merupakan kearifan lokal daya cipta solidaritas mendarah daging di tengah masyarakat kita. Memori desa sebagai kampung halaman di pelosok negeri, gotong royong menjadi penanda bahwa masyarakat sesungguhnya guyub ketika menghadapi  problem, seperti ketika terjadi bencana. Masyarakat beramai-ramai donasi, menyumbangkan tenaganya membantu korban yang mengalami penderitaan atau sekedar bersama-sama membersihkan selokan dan membantu pesta tetangga.

Tapi, apa yang terjadi sekarang, di tengah pandemi brutal yang menyapu bersih ekonomi  dan jatuh terjerembab, kian mendekati chaos. Kebijakan banyak terlihat serampangan. Policy maker  tidak satu orkestrasi. Manuver politik segelintir elit yang secara gamblang sibuk otak-atik bantuan keuangan negara, menyelamatkan perusahaan dengan dalih kebutuhan padahal lebih terlihat sebagai penyelamatan kepentingan perusahaan sendiri. 

Rasanya terlalu pandir, jika kita buta atas semuanya. Mengambil kesempatan dalam kesempitan sepertinya menjadi jargon gerombolan penjahat tersebut. Persis karakter fiksi Siberat dalam kisah komik Disney. Perampok tak berakal apalagi berhati nurani. Harta dan takhta kelompoknya lebih genting daripada nyawa bergelimpangan akibat salah kebijakan. Mari kita lihat, salah satu keputusan terkait vaksin covid-19 menjadi simpang siur. Bagaimana keputusan gratis dan tidak gratis justru membingungkan para pegiat usaha apalagi rakyat jelata. 

Akronim PPKM ( Pemberlakuan Pembatasan Kegiatan Masyarakat ) kian menjadi bumerang bagi pemerintah karena terlihat tidak adil bagi rakyat kelas bawah yang mencari sesuap nasi kerena harus mengisi perut dan memberi kehidupan keluarga. Baru-baru ini pula kita menyaksikan viralnya video pemukulan oknum satpol PP terhadap seorang wanita yang membela dirinya karena sebenarnya sudah mematuhi PPKM. Belum lagi, peristiwa kericuhan di Surabaya yang ramai-ramai masyarakatnya menolak PPKM. Aparat sampai di lempari batu. Kita tidak dapat menutup mata, masih banyak lagi sebenarnya di akar rumput kejadian serupa, namun jauh dari jangkauan media.

Benang merah apa dapat kita simpulkan dari peristiwa tersebut ? Benarkah ini hanya soal komunikasi ? Tentu saja, di awal pandemi bulan Maret tahun 2020, kita dapat memaklumi karena memang semua negara berdampak pandemi gagap dalam keputusan. Namun, saat ini, bukan saja keputusan terlihat bermasalah, kita dapat melihat secara gamblang, bagaimana pembuat kebijakan tidak satu orkestrasi. Komunikasi salah sasaran dan diantara pejabat terlihat menyelamatkan kepentingannya, agar tetap survive.

Mari kita lihat, bagaimana seorang menteri keluar negeri di saat situasi darurat pandemi dalam negeri. Kita juga menyaksikan bagaimana seorang menteri dengan lelucon tidak lucunya memberikan penghargaan pada sebuah sinetron, yang astaga naga, terlihat tidak relevan dengan situasi genting sekarang. Apalagi, sinetron tersebut tidak tampak memberikan semangat hidup publik kecuali hanya sekedar hiburan semata. Membaca situasi darurat sekarang, mengapa justru tidak memberikan penghargaan kepada orang-orang yang berjibaku dalam mengatasi pandemi ? Dokter, perawat, relawan, barangkali. Sudah lenyapkan sense of crisis?

Maka, benarlah adagium, jika kita ingin melihat karakter sesungguhnya dari seseorang, berilah ia kekuasaan. Di situ akan terlihat realitasnya, apakah orang tersebut cakap atau malah menjadi gerombolan perampok.

Saat ini marilah bergandeng tangan daripada sekedar mengeluh, marah, atau malah menyalahkan situasi sulit karena jika sikap tersebut di pertahankan, bukan tidak mungkin, kapal yang kita tumpangi bersama ini akan tenggelam. Terhujam masuk kedalam palung penderitaan berkepanjangan. Kita sudahi saling lempar tanggung jawab dan sibuk dalam narasi provokatif.

Pertanyaannya sekarang bagaimana memulihkan persatuan bangsa kita sekaligus membangkitkan gotong royong di tengah masyarakat kita ? Jawabannya hanya satu. Pemimpin harus menjadi teladan. Contoh nyata. Praktik di lapangan. Maka mari kita mengingat sejarah pahlawan kemerdekaan. Teladan paling relevan saat ini adalah seorang Bung Hatta. Bagaimana prinsip moral hidup sederhana dan menolak untuk korupsi. Kita sudah sering membaca, hingga akhir hidupnya Bung Hatta tidak mampu membeli sepatu kesayangannya. Bagaimana ia menolak uang saku ketika diundang berkunjung  ke Irian Jaya ( Papua ). 

Meneladani moral Bung Hatta dalam situasi sulit pandemi, kiranya perilaku tak bermoral seperti korupsi, jangan lagi sampai terjadi seperti kasus di kementerian sosial dan kementerian perikanan.

Praktik gotong royong dan persatuan bangsa

Sikap lain yang bisa di praktikkan dari teladan moral bung Hatta dan bisa sangat efektif adalah kesederhanaan. Dalam situasi berat ekonomi dibutuhkan keberanian dan sikap solidaritas para pejabat negara, wakil rakyat, dan segenap pegawai negeri sipil menyumbangkan gajinya. Hidup dengan sederhana. Mengacu APBN tahun 2020, alokasi belanja pegawai mencapai Rp 416, 14 triliun.  Memang, terlihat pukul rata, namun saya percaya, semangat persatuan dan gotong royong tersebut dapat menjadi tuah kolektif  bangsa lolos dari bencana sosial. 

Jika para pemimpin memberikan contoh, maka rasanya tidak akan menimbulkan gejolak berarti, apalagi negara dalam situasi darurat. Masyarakat akan memahami situasi. Maka, dengan asumsi memotong 50 persen saja pengeluaran gaji, negara akan mendapatkan impus pertolongan sumber dana bagi penyelamatan warga sebesar Rp 208, 07 triliun ! Ini belum di hitung terkait para anggota legislatif, yudikatif, eksekutif dan segala perangkat aparatur negara.

Cara kedua adalah dengan donasi kolektif warga. LPS ( Lembaga Penjamin Simpanan) tahun 2019 mencatat ada sekitar 270 juta rekening bank di Indonesia. Jika kita asumsikan, ada sekitar 52 juta kelas menengah  ( Bank Dunia, 2019) menyumbangkan Rp 10 juta , maka akan terkumpul Rp.520 triliun. Maka, gabungan dari dana jumbo berjumlah sekitar Rp 728 triliun. Maka, ini sudah cukup meringankan pengeluaran kas negara. Ini belum juga mengasumsikan sumbangan dari golongan kaya raya, yang mungkin jumlahnya ada sekitar 5,4 juta jiwa dengan asumsi 2 persen dari populasi Indonesia. Kaum ini tentu saja sangat mampu menyumbang Rp 10 miliar hingga Rp 100 miliar. Hitung sendiri, berapa puluh triliun yang akan terkumpul.

Sebenarnya, masih banyak pos anggaran negara dan sebagian warga mampu menyokong keuangan negara selain golongan kelas menengah dan atas yang sangat membantu jika semangat persatuan dan gotong royong menjadi standar moral kolektif. Saat ini, kementerian keuangan telah mengeluarkan lebih dari Rp 1000 triliun dalam menangani bencana pandemi Covid-19, di sepanjang tahun 2020 dan 2021. Bukan tidak mungkin, jika pandemi terus berlanjut, hingga tahun 2022, kapal besar kita sebagai bangsa akan tenggelam, akibat bocor lubang besar anggaran. 

Kita tentu saja, sebagai anak bangsa tidak ingin hal tersebut terjadi karena salah satu penyebab sebuah negara tercerai-berai, di akibatkan kemarahan komunal yang tidak tahan dan tahu lagi di mana mencari kerja dan makan. Hal tersebut mulai terlihat riak-riaknya, di mulai dari kebijakan PPKM yang mendapat perlawanan dari sebagian warga di beberapa daerah.

Masih banyak gagasan lain yang bisa di sesuaikan dengan wilayah masing-masing. Misal, sesama warga menolong tetangganya masing-masing. Mungkin membantu menyumbangkan makanan pokok ataupun vitamin bagi yang sedang isoman. Bisa pula saling menyemangati antar tetangga. Konklusinya, ada rasa solidaritas antar warga. Jangan sampai, di daerahnya sendiri terjadi peristiwa busung lapar hanya karena makanan ataupun sikap tidak peduli.

Sebagai penutup, kita sebagai bangsa mungkin perlu mengingat lagu rock cadas keras sebagai pengingat bijaksana dan tegas : Semut-semut bagai sisa –sisa /toleransi peradaban dunia/sementara yang katanya manusia/makhluk paling bijaksana/Oh, halalkan segala cara/Oh, menipu soal biasa. Jadilah semut hitam yang berjalan seirama dan senada. Melintasi segala rintangan, satu semboyan di dalam tujuan : gotong royong dan persatuan !

***

*) Oleh: Bery M, Penulis buku Daya Ungkit Bonus Demografi Indonesia dan pemerhati isu sosial.

*) Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggung jawab penulis, tidak menjadi bagian tanggung jawab redaksi timesindonesia.co.id

***

**) Kopi TIMES atau rubrik opini di TIMES Indonesia terbuka untuk umum. Panjang naskah maksimal 4.000 karakter atau sekitar 600 kata. Sertakan riwayat hidup singkat beserta Foto diri dan nomor telepon yang bisa dihubungi.

**) Naskah dikirim ke alamat e-mail: [email protected]

**) Redaksi berhak tidak menayangkan opini yang dikirim apabila tidak sesuai dengan kaidah dan filosofi TIMES Indonesia.

**) Ikuti berita terbaru TIMES Indonesia di Google News klik link ini dan jangan lupa di follow.

Advertisement



Editor : Wahyu Nurdiyanto
Publisher : Rizal Dani

TERBARU

Togamas - togamas.com

INDONESIA POSITIF

KOPI TIMES