Kopi TIMES

Pamomg Praja, Bukan Pangreh Praja

Rabu, 28 Juli 2021 - 11:13 | 63.28k
Faisal Muzzammil, Dosen STAI DR. KHEZ. Muttaqien Purwakarta.
Faisal Muzzammil, Dosen STAI DR. KHEZ. Muttaqien Purwakarta.

TIMESINDONESIA, PURWAKERTA – Pemberlakuan Pembatasan Kegiatan Masyarakat (PPKM) yang dilaksanakan selama Juli ini, bukan hanya sekedar untuk menekan angka penyebaran Covid-19 gelombang dua, tapi juga membawa efek domino bagi timbulnya permasalahan lain. Diantara permasalahan dalam PPKM yang sekarang tengah menjadi sorotan publik ialah perilaku "oknum" anggota –harus digarisbawahi: oknum anggota– Satuan Polisi Pamong Praja (Satpol PP) yang dirasa banyak pihak kurang humanis dalam menertibkan para pedagang dan masyarakat pada saat pelaksanaan PPKM.

Diketahui bersama, akhir-akhir ini informasi dan berita tentang perilaku oknum anggota Satpol PP yang cenderung represif kepada para pedagang dan masyarakat selalu menjadi headline di berbagai media massa dan viral di berbagai media sosal. Yang paling aktual –dan mudah-mudahan menjadi yang terakhir– ialah insiden penamparan terhadap seorang ibu hamil oleh oknum anggota Satpol PP di Kabupaten Goa, Sulawesi Selatan (14/7) pada saat melakukan razia untuk mematuhi aturan PPKM.

Insiden di Goa tersebut harus menjadi bahan renungan bagi semua pihak, bukan malah saling menyalahkan bahkan saling menyudutkan. Jangan sampai, pelakunya hanya salah satu oknum, namun kemudian yang tercoreng seluruh insntansi Satpol PP.

Oleh karena itu, opini ini ditulis bukan untuk menyalahkan atau membela salah satu pihak, tapi melalui opini ini akan mencoba untuk mengurai makna sederhana dari “Pamong Praja”, agar baik masyarakat atau angota Pamong Praja sendiri memahami makna dari Pamong Praja tersebut. Sehinga setelah diketahui maknanya, akan dapat memudahkan untuk memahami tugas dan fungsinya. Pada akhirnya, setelah mengetahui makna, tugas dan fungsi Pamong Praja, semoga insiden di Goa maupun di daerah-daerah lain tidak akan terjadi lagi. 

Dilihat dari makna kata (etimologi), istilah “Pamong Praja” terdiri dari dua kata, yaitu “Pamong” yang berarti pengasuh; pendidik; pengurus, dan “Praja” yang berarti kota; negeri (sumber: KBBI). Mengacu pada makna tersebut, dapat diketahui bahwa secara sederhana makna dari Pamong Praja ialah seorang pendidik dan pengurus masyarakat pada suatu wilayah kota maupun negara. Kata kerja (verbs) untuk Pamong, dalam bahasa Jawa berasal dari kata “Ngemong” yang berarti menjaga dan memelihara (sumber: Brainly).

Secara lebih luas, kata ngemong ini juga sering diartikan dengan melindungi, melayani, dan mengayomi, sesuai dengan konteks penggunaan kalimatnya. Menarik untuk diamati lebih lanjut, bahwa dari beragam arti Pamong atau Ngemong semuanya mengandung nilai yang positif dan sifat yang konstruktif. Nilai positif dalam artian berorientasi pada hal-hal yang baik, seperti menjaga, melindungi, dan melayani. Sedangkan sifat konstruktif, berarti memiliki paradigma ke arah yang membangun, dinamis, dan berkemajuan, seperti misalnya terepresentasikan dalam makna mendidik, mengurus, dan mengayomi.

Berdasarkan pengamatan dari beragam makna “Pamong” yang bernilai positif dan bersifat konstruktif tersebut, pada opini ini dapat disimpulkan bahwa Pamong Praja memiliki tugas mulia dan fungsi yang sangat sentral dalam melayani, melindungi, mengayomi, dan mendidik masyarakat. Lebih jauh dari itu, Pamong Praja juga mempunyai tugas dan fungsi untuk lebih memajukan negara. Maju atau tidaknya suatu masyarakat dalam sebuah wilayah negara, sangat bergantung pada cara kerja Pamong Praja dalam memberikan pelayanan dan perlindungan secara konstruktif, edukatif dan solutif kepada masyarakat.

Pamong Praja ini, dengan makna, tugas dan fungsi yang sangat positif dan konstruktif seperti diuraikan tadi, berbeda dengan “Pangreh Praja”. Berdasarkan catatan sejarah, sebelum ada Pamong Praja, pada zaman Hindia Belanda ada yang disebut dengan Pangreh Praja (Inlandsch Bestuur). Labolo & Toana (2016) dalam buku Kepamongprajaan di Indonesia: Pertumbuhan dan Perkembangannya, menyatakan bahwa pada masa kerajaan, Pangreh Praja adalah pegawai kerajaan yang bekerja untuk raja dalam hal melanggengkan kuasa sang raja.

Sedangkan pada zaman penjajahan, Pangreh Praja adalah orang yang bekerja untuk keberlangsungan kekuasan Pemerintah Kolonial Belanda di Indonesia. Pada waktu itu, seorang Pangreh Praja dipaksa harus mengerahkan seluruh kekuatannya demi untuk mempertahankan atau memperluas daerah kekuasaan kerajaan atau penjajah. Seorang Pangreh Praja bekerja di bawah tekanan Pemerintah Kolonial yang otoriter. 

Mengamati dan memperbandingkan uraian tersebut, tampak jelas bahwa Pamong Raja, bukan Pangreh Praja. Pamong Praja, sangat berbeda dengan Pangreh Praja. Jika Pamong Praja mempunyai makna, tugas dan fungsi yang positif dan konstruktif, maka Pangreh Praja sebalikmya, cenderung negatif, eksvansif bahkan destruktif. Oleh karena itu, jika pada era modern sekarang ini ada ‘oknum’ Pamong Praja yang tidak humanis, cenderung represif bahkan desktruktif, maka ia bukanlah seorang Pamong Praja, tapi masih menjadi Pangreh Praja. Ia belum mengabdikan diri pada negara secara profesional, tapi masih dikuasai oleh kepentingan pribadi secara emosional.

Betapa mulianya tugas dan fungsi seorang Pamong Praja, hingga mantan wartawan senior yang kini jadi penulis dan budayawan, Sujiwo Tejo dalam bukunya Sabdo Cinta Angon Kasih (2018:88), menyamakan tugas Pamong Praja dengan Pabu Siliwangi. Tejo menulis: Prabu Siliwangi bukanlah sebuah nama. Ia sebuah sistem ‘kepamongprajaan’ atas dasar Silih Wangi, yaitu silih asih, silih asah dan silih asuh. Suatu ketatanegaraan dengan fondasi asas saling menghormati antar-keyakinan. Melalui opini ini, disampaikan harapan banyak pihak, semoga Pamong Praja Indonesia bisa lebih komunikatif, edukatif, solutif, dan yang terpenting humanis.

***

*) Oleh: Faisal Muzzammil, Dosen STAI DR. KHEZ. Muttaqien Purwakarta.

*) Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggung jawab penulis, tidak menjadi bagian tanggung jawab redaksi timesindonesia.co.id

***

**) Kopi TIMES atau rubrik opini di TIMES Indonesia terbuka untuk umum. Panjang naskah maksimal 4.000 karakter atau sekitar 600 kata. Sertakan riwayat hidup singkat beserta Foto diri dan nomor telepon yang bisa dihubungi.

**) Naskah dikirim ke alamat e-mail: [email protected]

**) Redaksi berhak tidak menayangkan opini yang dikirim apabila tidak sesuai dengan kaidah dan filosofi TIMES Indonesia.

**) Ikuti berita terbaru TIMES Indonesia di Google News klik link ini dan jangan lupa di follow.

Advertisement



Editor : Wahyu Nurdiyanto
Publisher : Ahmad Rizki Mubarok

TERBARU

Togamas - togamas.com

INDONESIA POSITIF

KOPI TIMES