Kopi TIMES

Buzzer Itu Keniscayaan Booming Media Sosial

Rabu, 28 Juli 2021 - 07:11 | 104.21k
Rachmat Kriyantono, PhD (Ketua Jurusan Ilmu Komunikasi FISIP Universitas Brawijaya)
Rachmat Kriyantono, PhD (Ketua Jurusan Ilmu Komunikasi FISIP Universitas Brawijaya)

TIMESINDONESIA, MALANG – Rocky Gerung pernah menyebut di beberapa media bahwa "Buzzer adalah pekerjaan paling buruk, budak dari kedunguan, dan perbudakan modern politik istana". Menurut saya, hal ini merupakan kritik terhadap dirinya sendiri. Karena, dia sendiri sebenarnya adalah Buzzer, yakni buzzer untuk opini melawan/beroposisi dg pemerintah. Seakan-akan kata "Buzzer" itu negatif. Jadi,  jangan menganggap buzzer itu negatif dan hanya mengaitkan buzzer dengan pemerintah, oposisi pun juga punya buzzer. 

Buzzer dan Media Sosial

Kata "Buzzer" itu netral. Sejak dahulu, setiap orang bisa menjadi buzzer, yakni menyebarkan opini atau berita tentang sesuatu hal atau sesuatu peristiwa. Dahulu, pesan menyebar lewat word of mouth communication. Sekarang buzzer ini makin intens karena keniscayaan boomingnya media sosial. 

Media sosial makin membuat terjadinya global-village dan ubiquitous makin cepat, seperti jalan tol superhighway. Masyarakat bisa lebih banyak mengetahui berbagai peristiwa atau isu di berbagai penjuru tempat dalam waktu singkat. Dunia yang luas ini pun bagaikan berubah menjadi sebuah desa atau kampung yang masing-masing penghuninya bisa saling kenal (Global-village). Segala informasi itu pun begitu cepat diterima dan menerpa masyarakat, seakan-akan masyarakat tidak bisa menghindar dari terpaan informasi tersebut (Ubiquitous). Itu semua karena tangan kita hampir tidak pernah lepas dari media sosial dan internet.

Buzzer menurut Ilmu Public Relations?

Buzzer adalah individu atau kelompok tertentu yang menyuarakan dan menyebarkan opini-opini terhadap suatu isu atau peristiwa tertentu dengan harapan opini ini bisa diikuti orang lain. Buzzer bisa dilakukan secara sukarela, yakni oleh individu-individu pengguna medsos. Individu tertarik pada suatu isu dan menyuarakan dukungan atau penolakan terhadap isu tersebut. Bisa saja, individu-individu ini secara sukarela berkelompok menjadi komunitas tertentu sehingga lebih sistematis dan terkoordinasi. Contoh "Gerakan koin Prita" terhadap kasus Rumah Sakit Omni, adalah buzzer-buzzer terhadap isu ketidakadilan dalam layanan medis, disampaikan individu-individu yang akhirnya membangun komunitas gerakan. Sukarelawan, kader, dan simpatisan parpol, misalnya, juga merupakan buzzer yang sering menyebarkan suara parpolnya.

Buzzer juga bisa dilakukan secara berbayar. Pemerintah, parpol koalisi, parpol oposisi, politisi dan perusahaan bisa membayar seseorang atau kelompok tertentu di luar organisasi untuk membantu menyebarkan pesan-pesan sesuai kepentingan organisasi yang membayar itu. Biasanya buzzer yang dibayar ini adalah orang-orang yang dianggap berpengaruh (opinion leaders), termasuk public figure. Media massa dengan kemampuan framing-nya pun bisa menjadi buzzer. Contoh: Dalam kasus Lumpur Lapindo, TV One bisa disebut Buzzer positif bagi Lapindo dan Metro TV bisa disebut Buzzer negatif bagi Lapindo.

Dalam Ilmu Public Relations, kedua jenis buzzer ini bisa dilakukan dan wajar-wajar saja. Bertujuan untuk efek sounding atau peneguhan opini organisasi agar lebih mudah diterima masyarakat. Penggunaan Buzzer ini berprinsip pada "Let's someone else tell about us" karena jika orang lain berbicara tentang kita, bukan diri kita sendiri, maka akan menimbulkan efek kepercayaan yang lebih tinggi. Jika makin banyak orang yang menebarkan opini-opini organisasi maka membuat opini organisasi menjadi opini mainstream. Bahkan, tugas utama praktisi public relations adalah menciptakan dukungan-dukungan dan menciptakan active public, yakni publik yang secara sukarela aktif menyebarkan pesan-pesan organisasi kepada orang lain.

Hanya saja, suatu organisasi jangan menjadikan buzzer yang dibayar sebagai strategi komunikasi utama. Buzzer mestinya hanya penguat pesan-pesan resmi organisasi. Komunikator utama tetap adalah public relations organisasi. Tidak perlu, setiap saat memerlukan membayar buzzer. Biasanya urgensi membayar buzzer terjadi saat krisis, ketika reputasi positif dan kepercayaan publik terhadap organisasi menurun. Opinion leaders atau public figure yang dibayar pun adalah yang kredibel.

Buzzer dan Etika Komunikasi

Jadi, setiap orang bisa menjadi buzzer, baik dibayar atau sukarela. Hanya saja, dalam perspektif etika komunikasi, kita perlu memperhatikan beberapa hal. Pertama,  Buzzer harus menyebarkan/memviralkan pesan dengan disertai data/fakta alias tidak berbohong/hoaks. Kedua, hindari penyampaian pesan dengan mengejek, mengolok-olok, dan menghina orang lain yang bisa memecah belah bangsa. Ketiga, jadilah buzzer kebaikan, yakni hanya menyampaikan pesan-pesan kebaikan, bukan pesan-pesan yang fitnah, memecah-belah dan keburukan lainnya.(*)

*) Penulis, Rachmat Kriyantono, PhD (Ketua Jurusan Ilmu Komunikasi FISIP Universitas Brawijaya)

 

*) Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggung jawab penulis, tidak menjadi bagian tanggung jawab redaksi timesindonesia.co.id

***

**) Kopi TIMES atau rubrik opini di TIMES Indonesia terbuka untuk umum. Panjang naskah maksimal 4.000 karakter atau sekitar 600 kata. Sertakan riwayat hidup singkat beserta Foto diri dan nomor telepon yang bisa dihubungi.

**) Naskah dikirim ke alamat e-mail: [email protected]

**) Redaksi berhak tidak menayangkan opini yang dikirim apabila tidak sesuai dengan kaidah dan filosofi TIMES Indonesia.

**) Ikuti berita terbaru TIMES Indonesia di Google News klik link ini dan jangan lupa di follow.

Advertisement



Editor : Yatimul Ainun
Publisher : Ahmad Rizki Mubarok

TERBARU

Togamas - togamas.com

INDONESIA POSITIF

KOPI TIMES