Kopi TIMES

Lima Hal ini yang Sering Dilupakan dari Angkringan

Rabu, 28 Juli 2021 - 02:33 | 69.80k
Adibah Rasikhah Amanto, Mahasiswa Profesi Dietitien UGM. 
Adibah Rasikhah Amanto, Mahasiswa Profesi Dietitien UGM. 

TIMESINDONESIA, YOGYAKARTA – Kabar duka melayang dari sudut kota Jogja, tepatnya Klebengan. Sebuah daerah disekitar GOR depan kampus Gadjah Mada dan UNY ini berjajar banyak warung makan. Salah satu yang paling ramai di sana adalah Angkringan Pak Panut.

Benar, baru saja (19/07/2021) salah satu akun twitter (baca: @Txtdariugm) mengabarkan berita meninggalnya salah satu pebisnis angkringan ini akibat Covid-19.

Berita itu memicu rasa sedih netizen terutama mereka, mahasiswa/pelajar yang pernah menjadikan angkringan Pak Panut sebagai penyelamat hidup di kala akhir bulan. Bahkan nama Pak Panut sempat trending di sosial media sehari setelah kabar duka datang. Selain tempatnya luas dan murah, angkringan ini juga menyediakan beragam menu terutama bebakaran kecap. Ini yang paling laris di sini.

Sebagai penikmat kuliner, di tengah persaingan rumah makan dan segala modifikasi menu modernnya angkringan tetap bisa bertahan sebagai salah satu usaha yang masih dinikmati oleh beragam kalangan hingga sekarang. Berikut beberapa fakta menarik tentang angkringan.

1.    Founder Angkringan

Meskipun banyak dan terkenal ditemukan di daerah Solo dan Jogja, angkringan sendiri berasal dari daerah Bayat, Klaten. Sebuah kota yang terletak di antara Surakarta (Solo) dan propinsi DIY. Dilansir dari redaksi Explore Indonesia (2008), angkringan dibawa ke Jogja oleh sosok bernama Mbah Pairo dengan pikulan khas Klaten menuju tempat berdagang di emplasemen Stasiun Tugu Jogja tahun 1950.

Jadi sebenarnya budaya angkringan sudah ada sejak lama dan baru menyebar pasca tahun 50-an. Budaya ini diikuti oleh Lik Man pada thaun 1969 di daerah Jl. Wongsodirjan yang sekarang disebut Angkringan Kopi Joss.

2.    Samakah Angkringan dengan HIK?

Berbeda dengan daerah Jogja dan Klaten, di Solo (Surakarta) angkringan lebih dikenal dengan sebutan Hik. Menurut artikel dari Mulyadi (2010), nama Hik sendiri merupakan onomatopoeia dari suara penjual yang menjajakan dagangan berbunyi 'Ting ting hiik!' kala itu. Hik sendiri juga memiliki kepanjangan yang berarti hidangan istimewa (ala) kampung.

Menurut Pak Heri Priyatmoko (penulis buku Sejarah Wisata Kuliner Solo), kata angkringan berasal dari kata 'angkring' yang sebenarnya sudah berusia seabad lalu. Terdapat bukti adanya kata 'angkring' yang ditulis jurnalis Djawi Hiswara pada koran edisi 28 Januari 1918.

3.    Lebih dari Sekedar Warung Makan

Tidak hanya berfungsi sebagai warung makan, dalam tatanan budaya, angkringan juga dapat dilihat sebagai simbol masyarakat proletar yang bertahan untuk mencari penghidupan. Heri menambahkan lagi secara filosofis angkringan atau hik mengajak kita untuk menikmati hidup barang beberapa saat, tanpa harus tergesa-gesa oleh kepentingan lain dan waktu. Hal ini tercermin dari bentuk hidangan-hidangan yang membuat kita tidak perlu khawatir untuk bisa membayarnya.

Pada tataran mahasiswa, angkringan dikenal sebagai tempat untuk menyelamatkan perut sekaligus berdiskusi atau sekedar bercengkrama dengan kawan pasca perkuliahan.

4.    Modernisasi Angkringan

Kini angkringan sudah tersebar di banyak kota-kota besar dengan tipe menu yang menyesuaikan selera khas daerah setempat. Bisnis angkringan semakin dilirik oleh para pengusaha dan dikembangkan sesuai selera dan target pasar. Para pegiat usaha mulai menyesuaikan harga, desain, hingga modifikasi menu pun dilakukan untuk menarik konsumen.

Kini angkringan tak hanya lekat dengan image warung makan pinggir jalan. Banyak kita temukan variasi bisnis angkringan yang memadukan tema café/restaurant dengan gaya tradisional khas angkringan, seperti di Jogja ada House of Raminten misalnya.

5.    Angkringan khas mahasiswa

Bagi seorang mahasiswa, angkringan tidak hanya menjadi tempat makan semata. Di salah satu suduh kota Jogja, Klebengan, terdapat angkringan yang menjadi penyelamat hidup banyak orang kala akhir bulan. Beragam menu ditawarkan di sana, berkisar antara Rp500 hingga Rp4000. Bahkan untuk minumannya berkisar Rp2000 hingga Rp3000 saja. Benar-benar sangat ramah di kantong mahasiswa.

Berdiri sejak tahun 1992, almarhum bersama keluarga membangun bisnis angkringan ini. Tak sedikit orang mengaku sangat puas atas pelayanan, rasa, dan harga yang ditawarkan angkringan khas mahasiswa ini.

Selamat jalan Pak Panut. Terima kasih atas kehadiran angkringan legenda yang selalu menyelamatkan akhir bulan kami, dari masa mahasiswa hingga lulus sarjana.

***

*) Oleh: Adibah Rasikhah Amanto, Mahasiswa Profesi Dietitien UGM. 

*) Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggung jawab penulis, tidak menjadi bagian tanggung jawab redaksi timesindonesia.co.id

***

**) Kopi TIMES atau rubrik opini di TIMES Indonesia terbuka untuk umum. Panjang naskah maksimal 4.000 karakter atau sekitar 600 kata. Sertakan riwayat hidup singkat beserta Foto diri dan nomor telepon yang bisa dihubungi.

**) Naskah dikirim ke alamat e-mail: [email protected]

**) Redaksi berhak tidak menayangkan opini yang dikirim apabila tidak sesuai dengan kaidah dan filosofi TIMES Indonesia.

**) Ikuti berita terbaru TIMES Indonesia di Google News klik link ini dan jangan lupa di follow.

Advertisement



Editor : Faizal R Arief
Publisher : Lucky Setyo Hendrawan

TERBARU

Togamas - togamas.com

INDONESIA POSITIF

KOPI TIMES