Kopi TIMES

Internalisasi Pendidikan Islam Moderat di Sekolah Dasar

Selasa, 27 Juli 2021 - 08:25 | 100.71k
Moh. Nor Afandi, Mahasiswa Progam Studi Doktor Pendidikan Agama Islam Universitas Muhammadiyah Malang.
Moh. Nor Afandi, Mahasiswa Progam Studi Doktor Pendidikan Agama Islam Universitas Muhammadiyah Malang.

TIMESINDONESIA, MALANG – Dunia pendidikan tidak bisa terhindar dari fenomena kekerasan yang menjadikan tujuan pendidikan gagal diraih. Radikalisme bisa hadir dari berbagai elemen dalam pendidikan. Pusat Pengkajian Islam dan Masyarakat (PPIM) Universitas Islam Negeri (UIN) Jakarta merilis hasil riset yang menunjukkan bahwa banyak pendidik Pendidikan Agama Islam (PAI) di tingkat pendidikan dasar dan menengah cenderung berpaham eksklusif dan bersikap tidak toleran terhadap kelompok yang berbeda paham dengan mereka yang sesama muslim bahkan pada non-muslim.

Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia Nadiem Makarim menyampaikan bahwa radikalisme adalah salah satu problematika dalam pendidikan yang harus ditindak tegas. Pemerintah perlu bekerja sama dengan sekolah atau madrasah agar bisa mengatasi dan mencegah adanya radikalisme. Hal tersebut menggambarkan bahwa lingkungan pendidikan menjadi salah satu sasaran bagi gerakan radikalisme dalam menyebarluaskan pahamnya. Tidak hanya menjadi ancaman bagi negara, secara spesifik radikalisme juga menjadi ancaman bagi pendidikan.

Tidak sedikit dari sasaran gerakan radikalisme adalah peserta didik di tingkat sekolah dasar. Pengaruh yang diberikan misalnya, melalui konten-konten di media sosial, tayangan film anak atau film kartun, gerakan keagamaan, serta memprovokasi peserta didik agar turut serta menyebarkan paham radikalisme. Jika pendidikan tidak tanggap terhadap fenomena tersebut, maka radikalisme akan menggusur tujuan pendidikan itu sendiri. Pendidikan dasar memiliki tanggung jawab dalam mencegah adanya radikalisme. Peserta didik yang berada di tingkat pendidikan dasar adalah individu dalam masa tumbuh kembang yang mudah sekali dipengaruhi oleh lingkungan. Peserta didik di sekolah dasar lebih banyak belajar dengan meniru, meneladani figur-figur yang ditemukan dalam kesehariannya.

Watson melalui penelitiannya pada 1987, menyebutkan ada tiga sebab utama gagalnya pembelajaran agama di sekolah, yang pertama adalah proses pendidikan yang diajarkan lebih mengarah kepada proses doktrinasi sehingga pembelajaran agama diposisikan sebagai sesuatu yang bersifat absolut dan tak terbantahkan, lal lebih menekankan pada pembelajaran agama yang bersifat normatif-informatif, dan yag terakhir adalah kuatnya ideologi atau komitmen agama yang dianut oleh seorang pendidik.

Ketiga penyebab tersebut, dalam kondisi tertentu dapat melahirkan pola pikir intoleran bagi peserta didik. Pembelajaran yang normatif disusul dengan doktrin-doktrin keagamaan yang tak terkontrol dapat membuat cara berpikir satu arah, sehingga peserta didik tidak mau menerima masukan, dan bahkan perbedaan. Sebagai dampaknya, mereka pun akan menyetujui atau membenarkan aksi kekerasan untuk membela kelompok atau agamanya. Dengan demikian, ada dua titik rentan yang mudah disusupi di lingkungan sekolah yaitu pendidik dan peserta didik. 

Bertolak dari semakin maraknya faham radikalisme yang melahirkan perilaku intoleran bahkan dapat mengarah pada tindakan terorisme, maka menjadi keniscayaan untuk mengembangkan paham Islam moderat di lingkungan lembaga pendidikan. Hal ini karena untuk menjaga dan melestarikan keberagaman dalam kebersamaan yang sangat efektif dimulai sejak dini, yakni dari sekolah dasar. Sekolah dasar menjadi salah satu lembaga publik yang sangat tepat untuk menjelaskan tentang makna dan pentingnya Islam moderat. Pada lembaga sekolah, pola pikir sekaligus pola interaksi anak yang tidak seragam (heterogen) itu mulai hadir dan terbentuk. Sekolah dasar menjadi ruang strategis untuk membentuk mental bagi tumbuhnya watak keberagaman yang kuat dan menumbuh kembangkan pemahaman Islam moderat sehingga menginternal pada dirinya.

Sekolah dasar Al-Furqan yang merupakan salah satu tempat penelitian yang Afandi lakukan adalah salah satu lembaga pendidikan fullday school di kabupaten Jember yang memiliki komitmen ke ummatan dan menjunjung nilai-nilai moderasi. Hal ini tergambar pada empat hal, dimana yang pertama SD Al-Furqan berpijak tidak pada salah satu golongan atau komunitas tertentu dan eleman organisasi keislaman tertentu walau pendiri, pendidik, dan peserta didiknya memiliki latar belakang yang berbeda. Mereka bisa bergaul bersama, berkomitmen, dan berkhitmat dalam satu naungan keluarga besar SD Al-Furqan Jember  dengan selogan we build moslem generation who has holistic education.

Kedua, SD Al-Furqan Jember memiliki pembiasan pagi S3 (Senyum, Salam dan Sapa), doa-doa keseharian yang dibaca secara bertahap untuk merefresh pendidik sebelum memulai pembelajar kurikuler, pembiasaan pagi dengan sholat dhuha berjemaah, dan kuliah tujuh menit (kultum) setelah sholat dhuhur. Berkutnya kegiatan pembelajaran Al-Qur’an (TPA) yang menggunakan Metode Ummi dengan Konsep 3T, yaitu Tartil, Tahfidz, dan Turjuman, penguatan karakter peserta didik melalui program PCC (Positive Caracter Champ) dan CBC (Caracter Building Champ) yang bekerjasama dengan Matahari Care Surabaya, dan yang terakhir SD Al-Furqan Jember secara tata letak giografis dikelilingi oleh beberapa Sekolah Dasar di bawah yayasan atau afiliasi organisasi keagamaan tertentu, diantaranya adalah; SD Katolik Maria Fatimah, SD Al-Baitul al-Amin, SD Lukmanul Hakim, dan SD al-Irsyad.

Empat hal ini, sebagai asumsi bahwa sekolah dasar yang ada di Jember ini berperan nyata dalam penanaman nilai-nilai seperti toleransi, keteladanan, kesopanan, dan saling menghormati sehingga SD Al-Furqan telah melakukan antisipasi sejak dini terhadap mengaruh bahkan menolak faham-faham radikalisme maupun rasisme yang sudah marak dan merasuk pada sendi-sendi lembaga pendidikan. Berangkat dari fenomena ini, Moh. Nor Afandi yang merupakan salah satu mahasiswa progam studi Doktor Pendidikan Agama Islam Universitas Muhammadiyah Malang ini melakukan penelitian untuk mengetahui secara mendalam tentang nilai-nilai dan proses internlisasi pendidikan Islam moderat di SD Al-Furqan Jember dalam pengembangan pandidikan di sekolah dasar.

Ada tiga aspek material yang berperan dalam penanaman nilai-nilai yaitu seseorang yang berfungsi sebagai model acuan untuk menanamkan nilai,  berikutnya adalah lingkungan belajar, dan  perilaku maupun cara pandang. Dengan pendekatan pengembangan moral Thomas Lickona bahwa proses internalisasi difokuskan pada pendidikan yang berorientasi lahirnya suatu tindakan atau tingkah laku yang sesuai dengan kaidah moral yang ditentukan dengan suatu kesadaran yang berdialektik antara pengetahuan moral (moral knowing), perasaan moral (moral feling), dan prilaku moral (moral action). Afandi mengemukakan bahwa dalam penelitian ini ada delapan nilai pendidikan Islam moderat yang berkembang di SD Al-Furqan Jember sebagaimana nilai wasathiyah Ibnu Asyur dalam kitab At-Tahrir wa Al-Tanwir dan hasil MUNAS MUI 2015, yakni Nilai tawassuth (mengambil jalan tengah), Nilai Al-Islah (reforinasi), Nilai Tathawwur wa ibtikar (dinamis dan inovatif), Nilai Al-syura (Musyawarah), Nilai Al-Tasamuh (toleransi), Nilai Al-Tahadl-dlar (berkeadaban), Nilai Tawazun (berkeseimbangan), dan Nilai I’tidal (tegas).

Sedangkan proses internalisasi nilai-nilai pendidikan Islam moderat di SD Al-Furqan Jember melalui ragam dimensi atau pendekatan yang terdiri dari pendekatan kurikulum tematik integratif, aktualisasi trilogi moral, dan integrasi edukatif. Ketiga pendekatan tersebut dikelompokkan menjadi dua aspek internalisasi, yaitu Pertama aspek orientasi melalui keteladanan (uswah). Kedua, aspek aktualisasi melalui habituasi (pembiasaan/ha'dzib). 

**) Ikuti berita terbaru TIMES Indonesia di Google News klik link ini dan jangan lupa di follow.

Advertisement



Editor : Deasy Mayasari
Publisher : Rochmat Shobirin

TERBARU

Togamas - togamas.com

INDONESIA POSITIF

KOPI TIMES