Kopi TIMES

Kiai Dan Upaya Memperbaiki Keletihan Sosial

Minggu, 25 Juli 2021 - 08:12 | 132.10k
Dr. H. Moh. Syaeful Bahar. M.Si
Dr. H. Moh. Syaeful Bahar. M.Si

TIMESINDONESIA, BONDOWOSO – Berita duka terus berdatangan. Tiap hari, tiap waktu. Sebagian besar karena Covid 19. Ada informasi dan permohonan doa kesembuhan, karena ada teman, kerabat atau saudara yang masuk ICU, kritis. Ada juga informasi dan permohonan doa maghfirah karena ada teman, kerabat atau saudara yang tak tertolong, wafat, juga karena Covid 19. Berita musibah Covid 19 seperti tak berkurang, terus membanjiri media social, terutama di WA group dan face book.

Awal Juni, saya disambati oleh beberapa dokter di Bondowoso. Mereka adalah para dokter santri, para dokter yang bergabung di Lembaga Kesehatan NU (LKNU). Ada dr. Habib Muzakki, menantu dari KH. Hasyim Muzadi (mantan ketua PBNU), ada dr. Nur Wahyudi, Sp. JP. Seorang dokter spesialis jantung dan pembuluh darah, dan dr. Cavin Rabbani, dokter muda alumni Universitas Airlangga, putra KH. Amin Said Husni (mantan bupati Bondowoso).

Para dokter NU ini mengeluh sekaligus memohon, meminta dan mewanti-wanti agar kewaspadaan terkait pandemi harus ditingkatkan. Prediksi para dokter tersebut, pandemi tak akan segera  berakhir, bahkan, dengan terus berkembangnya varian baru Covid 19 dan diperparah dengan prilaku masyarakat yang tak patuh pada prokes, sangat mungkin gelombang pandemi akan datang lebih dahsyat.

Pandemi Bukan Hanya Persoalan Kesehatan

Tak lama dari pertemuan itu, saya dengar dokter Habib positif Covid 19. Saya langsung telpon, Alhamdulillah ternyata dokter Habib dalam kondisi prima, hanya gejala ringan, meskipun tetap memilih di rawat di rumah sakit, bukan isolasi mandiri. Keselamatan keluarga menjadi pertimbangan utama dokter Habib.

Saya juga telpon dokter Nur Wahyudi. Beliau nampak gelisah, suara beliau nampak sedang tidak di posisi nyaman, nampak tertekan. “Pak Bahar, apa bisa saya ketemu dengan para kiai?”, begitu salah satu ucapan dr, Nur Wahyudi. Saya langsung mengiyakan, “bisa dok, sangat bisa, saya akan atur jenengan ketemu kiai-kiai NU”.

Akhirnya dokter Nur Wahyudi bertemu dengan pengurus Cabang NU Bondowoso. Bersamaan dengan jadwal rapat mingguan para kiai. Pengurus PCNU Bondowoso hadir lengkap, dari jajaran syuriah hingga tanfidziyah semua hadir.

Dokter Nur Wahyudi hadir dengan pakaian khas santri. Pakai sarung, baju koko, kopiah putih, dan tentu saja dengan double masker. Sesuai standar kesehatan yang dianjurkan. Duduk persis bersebelahan dengan saya. Saya sampaikan, bahwa para kiai sangat mengapresiasi LKNU dan IDI Bondowoso karena bersedia hadir ke PCNU.

Pada kesempatan tersebut, dokter Nur Wahyudi menyampaikan tentang gentingnya situasi, tentang pandemi yang semakin menggila. Para dokter, perawat dan semua tenaga kesehatan dalam posisi lelah, lelah fisik dan psikis, karena itu, butuh dukungan kiai, butuh support para tokoh masyarakat, terutama dalam hal pencegahan.

Menurut dokter  Nur Wahyudi, masyarakat butuh edukasi, butuh informasi yang valid dan dapat dipercaya mengenai kondisi saat sekarang, tentang semakin menggilanya Covid 19, tentang bagaimana cara menghindar dan selamat dari Covid, tentang protokol kesehatan  dan bagaimana langkah-langkah yang harus diambil ketika terkonfirmasi positif Covid 19. Semua peran itu, tak akan sempurna tercapai jika tanpa support para kiai. Tak akan berhasil jika hanya mengandalkan dokter dan rumah sakit.

Apa yang dikeluhkan dan diharapkan dokter  Nur Wahyudi bukan hal yang berlebihan. Di saat pandemi, apalagi pandemi seperti Covid 19, semua pada gelagapan. Tidak hanya masyarakat awam, dokter, masyarakat yang terdidik dengan baik,  bahkan negara (pemerintah) sekalipun, semua gagap, semua bingung dan tak menemukan formula paling jitu menghadapi dan menangani pandemi.

Semua tahu bahwa para dokter belum terlalu lihai bahkan belum menemukan obat untuk menghadapi virus ini, selain hanya meminta untuk mematuhi dan ketat memakai protokol kesehatan sebagai langkah antisipasi dan pencegahan.  Negara juga bingung, pemerintah juga ragu, antara memprioritaskan menyelamatkan nyawa dan atau menyelamatkan ekonomi. Apalagi masyarakat umum, terutama mereka yang bekerja di sector informal, mereka adalah kelompok terdampak langsung, terpukul dan jatuh, sebagian bahkan kehilangan harapan.

Semua pengamat setuju mengatakan bahwa persoalan pandemi bukan persoalan kesehatan semata. Apa yang saya sampaikan di atas dapat menjadi sedikit bukti, bahwa pandemi bukan semata-mata persoalan kesehatan, tapi lebih dari pada itu. Ekonomi kolaps, system social terganggu, di mana-mana terjadi disorganisasi dan disfungsi social, masyarakat saling mencurigai, saling tuduh dan saling tuding, antara yang meyakini virus ada dan masyarakat yang tidak yakin bahwa virus benar-benar ada, masyarakat mulai meragukan integritas dokter, mereka tak sepenuhnya yakin bahwa pasien yang terinfeksi benar-benar terinfeksi, mereka mencurigai itu hanya bisnis dokter dan rumah sakit, dan yang paling mengerikan adalah keletihan social  (social fatigue ) yang terjadi tengah-tengah masyarakat.

Kondisi ini semakin parah, ketika masih saja da pihak-pihak yang mempolitisasi keadaan, mengambil insentif politik untuk kepentingan politik electoral di pemilu yang akan datang. Para politisi ini, tidak memiliki argumentasi yang kuat, nihil solusi,  hanya terus menebar sensasi untuk menyerang pemerintah dan menyudutkan.

Social Fatigue dan Ikhtiar Memperbaikinya

Tidak lama setelah pertemuan itu, saya mengirim sebuah artikel jurnal kepada dokter Nur Wahyudi. Artikel tentang pandemi Influenza di Indonesia tahun 1919-1918, judulnya Mortality from The Influenza Pandemic of 1918-1919 in Indonesia yang ditulis oleh Siddath Chandra. Yang menarik, dari data yang disuguhkan dalam laporan artikel jurnal ini adalah estimasi masyarakat Madura yang meninggal dunia yang mencapai angka 23 persen. Jumlah yang luar biasa besar, tertinggi di Jawa saat itu.

Tak lama setelah saya kirim artikel tersebut, saya juga membaca sebuah informasi di group WA sesama dosen di UIN Sunan Ampel Surabaya. Informasi tersebut menyebutkan bahwa bahwa gelombang ketiga pandemi Covid 19 baru dimulai, dan biasanya, gelombang ketiga adalah gelombang pandemi yang paling banyak merenggut korban jiwa. Asumsi dasar yang diajukan adalah keletihan social (social fatigue) masyarakat sedang berada di puncaknya. Karena putus asa dan lelah, masyarakat  akhirnya abai pada semua protokol kesehatan.

Keletihan social (Social Fatigue) sangat mungkin akan berakhir menjadi sebuah tragedi kematian, yaitu di saat masyarakat semakin lalai dan lengah. Masyarakat menjadi acuh dan tak terlalu peduli pada protokol kesehatan. Akibatnya, pandemi akan sulit dikendalikan dan dihentikan, faktanya, gelombang pandemi di Indonesia memasuki masa-masa tersulit. Untuk itu, mencari formula solusi yang paling ideal harus terus dicoba, yang koprehensif dan tak hanya memakai pendekatan kesehatan tapi juga pendekatan social keagamaan patut dicoba, persis sama dengan apa yang dilakukan oleh dokter Nur Wahyudi, yaitu menyertakan para kiai dalam mencegah terjadinya keletihana social (Social Fatigue) akut di masyarakat.

Secara teoritis, melibatkan kiai dalam mencegah dan memperbaiki kondisi keletihan social ini semacam ini adalah tepat. Ini yang dinamakan community based solution, melibatkan masyarakat, para elit di struktur masyarakat hingga grassroot untuk bersama-sama mencari solusi dan formulasi ketahanan social bagi masyarakat. Kiai, saya kira, memiliki berbagai peran utama dalam mencari solusi dan membentuk ketahanan masyarakat tersebut.

Pertama, kiai dapat menjadi ujung tombak untuk meluruskan berbagai hoax yang berusaha membenturkan kebijakan pemerintah terutama dalam upaya menjalankan protokol kesehatan di tengah-tengah masyarakat. Tak jarang hoax-hoax tersebut mendalihkan provokasinya dengan menyitir berbagai dalil-dalil al Qur’an dan Al Hadits. Dengan sedikit diplintir, dimanipulasi, dalil-dalil tersebut berhasil menjadi ‘alat serang’ untuk menolak kebijakan pemerintah, terutama yang berkaitan dengan protokol kesehatan dan vaksinasi. Misal dalil sholat berjamaah, shaf sholat jamaah yang harus rapat, saling berjabat tangan, vaksin dibuat oleh negara musuh Islam dan seterusnya. Tentu semua hoax tersebut tak mungkin dihadapi vis a vis oleh pemerintah, oleh aparat, apalagi hanya oleh para dokter. Yang harus menghadapi dan melakukan netralisasi dan meluruskan semua kesalahan berdasarkan manipulasi teks agama itu hanyalah para kiai.

Kedua, kiai dapat menjadi mitra strategis pemerintah dan para dokter. Sebagai sosok yang sangat dipercaya oleh masyarakat, kiai dapat menjadi tokoh sentral dalam upaya memberikan informasi dan edukasi yang benar tentang Covid 19 pada masyarakat. Kiai dapat menjelaskan bagaimana virus ini dapat menjangkit, menular, menginfeksi seseorang hingga bagaimana cara menghindar dan mengobatinya. Dapat diyakini, jika kiai yang menjelaskan, apalagi sampai memberikan tauladan bagaimana mempraktikkan protokol kesehatan yang baik selama masa pandemi bersedia divaksin,  maka konsensus hidup sehat dan patuh pada protokol kesehatan akan dengan mudah tercapai.

Ketiga, ini yang terpenting adalah, kiai menjadi solution maker atas kekacauan dan keletihan social yang terjadi masyarakat. Kiai harus terus menjadi motivator yang utama. Para kiai harus terus menyatakan bahwa harapan masih ada dan berputus asa adalah dosa. Bahwa iktiar adalah kewajiban sedangkan tawakkal adalah kewajiban juga, keduanya terangkai dalam satu kewajiban dalam Islam. Kiai harus terus merawat nalar kehambaan setiap masyarakat. Bahwa semua yang terjadi adalah kehendak dan seizin Allah swt. Bahwa virus Corona 19 juga makhluk yang diciptakan oleh Allah swt. Maka, mengembalikan semuanya pada Allah swt sang pencipta adalah pilihan paling bijak dan paling aman di saat pandemi. Harapannya, dengan nalar kehambaan yang benar ini, kepanikan dan keletihan social akan dapat ditekan. Dan akhirnya, imun dan iman masyarakat akan tumbuh sehat dan kuat secara bersamaan. Amin.

*) Dr. H. Moh. Syaeful Bahar. M.Si, Penulis adalah Wakil Ketua PCNU Bondowoso dan Dosen Pascasarjana UIN Sunan Ampel Surabaya

 

*)Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggungjawab penulis, tidak menjadi bagian tanggungjawab redaksi timesindonesia.co.id

 

____________
**) Kopi TIMES atau rubik opini di TIMES Indonesia terbuka untuk umum. Panjang naskah maksimal 4.000 karakter atau sekitar 600 kata. Sertakan riwayat hidup singkat beserta Foto diri dan nomor telepon yang bisa dihubungi.

**) Naskah dikirim ke alamat e-mail: [email protected]

**) Redaksi berhak tidak menanyangkan opini yang dikirim.

**) Ikuti berita terbaru TIMES Indonesia di Google News klik link ini dan jangan lupa di follow.

Advertisement



Editor : Yatimul Ainun
Publisher : Ahmad Rizki Mubarok

TERBARU

Togamas - togamas.com

INDONESIA POSITIF

KOPI TIMES