Kopi TIMES

Jadi Pribadi Kecanduan Menulis

Minggu, 25 Juli 2021 - 00:21 | 105.44k
I Gede Alfian Septamiarsa, S.Sos, M.I.Kom; Pranata Humas Ahli Pertama Biro Administrasi Pimpinan Sekretariat Daerah Provinsi Jawa Timur (Grafis: Rofi/TIMES Indonesia)
I Gede Alfian Septamiarsa, S.Sos, M.I.Kom; Pranata Humas Ahli Pertama Biro Administrasi Pimpinan Sekretariat Daerah Provinsi Jawa Timur (Grafis: Rofi/TIMES Indonesia)

TIMESINDONESIA, SURABAYAKATA ‘’Candu’ ’sering dikonotasikan negatif. Ya, maklum, sebab Candu mengalami perluasan makna. Sejatinya, candu merupakan getah kering pahit berwarna cokelat dan sedikit kuning. Getah itu diambil dari buah Papaver Somniferum.

Dulu, Candu kerap digunakan untuk mengurangi rasa nyeri serta menimbulkan rasa kantuk. Orang yang mengonsumsi getah ini kerap ketagihan. Perlahan, kata Candu pun mengalami perluasan makna yakni dari kata Candu menjadi kecanduan. Orang yang kecanduan diartikan sebagai orang yang ketagihan.  

Ini awal munculnya konotasi negative dari kata Candu. Prinsipnya, kata candu yang mengalami perluasan makna menjadi kecanduan tidak adalah netral. Penilaian makna bergantung pada kalimat yang berada di belakangnya. Kecanduan ibadah bermakna positif, kecanduan minuman keras bermakna negative.

Nah, lalu bagaimana dengan kecanduan untuk menulis? negate atau positif? Lalu apakah salah ketika menyebut aktivitas Menulis itu Candu? 

Nah, sebelum menjawab itu, perlu memahami makna atau arti penting menulis. Pada zaman kuno, masyarakat kerap mengabadikan sebuah momentum melalui tulisan. Bentuk tulisan itu menempel pada beragam sarana. Salah satu sarana yang kerap dijumpai adalah batu. Di masa sekarang, tulisan kuno yang menemel pada sebuah batu disebut prasasti. 

Saat ini, tulisan kita menempel pada kertas atau pada file yang tersimpan pada computer dan sejenisnya. Intinya sama-sama tulisan. Hanya sarana penempatan tulisan sudah berbeda. Tentu saja, perbedaan itu dipengaruhi perkembangan teknologi di masa kini. 

Bisa jadi, tulisan kita yang saat ini menempel pada kertas atau file, akan dianggap prasasti bagi pembaca di masa mendatang. Mereka membaca tulisan kita tentang fenomena Covid-19 era 2020 – 2021. Masyarakat pada abad mendatang menyebut tulisan kita sebagai prasasti yang mengulas awal wabah Covid-19. 

Dari sini, muncul gambaran bahwa prasasti itu memiliki makna luar biasa. Prasasti bisa merupakan lukisan situasi yang berwujud tulisan. Dan tulisan yang kita buat saat ini adalah prasasti yang akan dibaca masyarakat abad mendatang. Itu pula salah satu hal yang menarik bagi seorang penulis seperti saya.

‘Kecanduan’ menulis ini saya rasakan sejak kecil tepatnya saat masih di bangku sekolah. Dimulai dari mencatat berbagai kegiatan maupun pelajaran ke dalam buku tulis, buku agenda, dan sebagainya.

Bahkan untuk dapat mengingat pelajaran, terkadang saya harus menulis ulang apa yang telah saya pelajari dari bangku sekolah ke buku tulis kosong lainnya. Sebab, bagi saya dengan menulis itu bisa mempercepat dalam menghafal pelajaran. 

Ketika masih boomingnya menulis lewat blog pun pada tahun 2010, juga membuat saya juga tertarik untuk menulis di sebuah blogspot. Saya pun memulai menulis berbagai hal simple berkaitan dengan apa yang saya rasakan, maupun sedang trend saat itu.

Misalnya, Grammy Award yang saat itu sensasional dengan mengenakan konsep futuristik. Kemudian juga saya menulis tentang tren Surabaya Car Free Day, yang saat itu baru dimulai untuk warga Surabaya. 

Menulis ini semakin menjadi kebiasaan dengan pekerjaan yang sedang saya geluti yaitu sebagai Pranata Humas di sebuah instansi pemerintah. Sebagai pranata humas, saya memiliki tugas untuk menulis siaran pers dalam kegiatan Gubernur, Wakil Gubernur, Sekretaris Daerah, Ketua TP PKK Provinsi, Ketua Dekranasda Provinsi, maupun Ketua Dharma Wanita Persatuan Provinsi. 

Dengan demikian saya terus belajar mengenal dunia penulisan utamanya di pemerintahan. Bagiamana menuangkan tulisan dengan gaya jurnalistik dari sisi pemerintahan menjadi tulisan yang enak dibaca. Bagaimana mengemas ide, judul, pendapat, dan pemikirannya ditulis secara runtut dan asyik diikuti dengan kaidah jurnalistik yang ada?

Tentunya hal tersebut tidak mudah seperti membalikkan telapak tangan, terlebih lagi saya pada saat mengambil mata kuliah jurnalistik di bangku kuliah termasuk kurang nilainya dibanding teman-teman lain.

Namun berdasarkan insting dan ilmu dasar jurnalistik yang dimiliki, saya memberanikan diri untuk menulis siaran pers. Meskipun saya masih terngiang bahwa lemah dalam penulisan berita pada masa kuliah. 

Dari situ, saya belajar bagaimana cara menulis siaran pers yang baik dan benar dari atasan. Dimulai dari judul dan lead harus sesuai, diawali dari hal yang paling penting menuju yang biasa seperti segitiga terbalik. Selain itu, dalam awal paragraf harus meliputi 5W+1H. What (apa), who (siapa), when (kapan), where (di mana), why (mengapa), dan how (bagaimana). 

Bagi saya, menulis siaran pers itu benar-benar membutuhkan usaha yang ekstra. Tape recorder, notes kertas, dan ballpoint menjadi bekal dalam liputan saat itu. Tetapi bersyukur dengan perkembangan teknologi, sekarang menulis bisa dilakukan dengan menggunakan mobile phone dan merekam voice sebagai bahan tulisa lewat aplikasi mobile phone juga. 

Dari kebiasaan menulis itu pun mampu membuat saya bertugas ke luar daerah Jawa Timur hingga ke luar negeri. Sebut saja Georgia, Azerbaijan, India, Thailand, dan Singapura. Saya diberi mandat untuk menulis siaran pers kegiatan-kegiatan yang dilaksanakan pada negara-negara tersebut. 

Bahkan kebiasaan menulis ini juga tidak hanya dituangkan sebagai siaran pers, tetapi juga tulisan-tulisan features, opini pada media cetak maupun online. Begitu juga artikel-artikel dalam majalah internal kantor pun saya juga lakukan. 

Masing-masing jenis tulis memiliki tantang tersendiri. Ketentuan atau format tiap platform untuk penulis berbeda-beda dan saya pun dalam tahapan mengenal kembali cara menulis yang dapat diterima dan enak dibaca.

Penulisan artikel dan opini harus mampu membawa pembaca ikut terhanyut dan memahami sesuai kondisi yang berlangsung, gagasan terkait fenomena-fenomena yang terjadi. 

Perlahan tapi pasti berbagai artikel dan tulisan opini saya berhasil hasilkan. Terkadang tulisan itu muncul dari diskusi dengan teman-teman sesama penulis atau rekan-rekan media. Dari mulai cerita tentang hal teknis, kisah perjalanan, cerita pendek dan curhat kehidupan.

Kepekaan terhadap momen dan peristiwa menjadi dasar untuk bisa terus konsisten dalam menulis. Dan kepekaan tersebut dapat dilatih karena kebiasan dan dukungan dari lingkungan sekitar.

Bahkan saya sering kali memiliki catatan-catatan hari-hari nasional yang bisa dijadikan bahan tulisan. Atau saat liputan kegiatan Gubernur, Wakil Gubernur itu saya kembangkan lebih luas menjadi tulisan features atau opini. 

Namun tak selalu mulus hasil tulisan saya dimuat pada media-media mainstream. Saya harus terus menulis dan menulis hingga dapat dimuat dalam media tersebut. Dari kasus ini saya bisa lebih memahami bagaimana ketentuan atau jenis tulisan yang diterima oleh mereka.

Kerap kali tulisan itu lahir hanya sekedar pelampiasan saya dan upaya mengungkapkannya dalam rangkaian kata. Sama halnya dengan yang sekarang saya lakukan.

Seperti itulah awal mula kecintaan saya dalam menulis. Kebiasaan terus menerus digembleng dalam penulisan membuat jadi cinta menulis. Selain itu, untuk bisa menghasilkan tulisan yang baik juga diperlukan berbagi informasi dan ide dengan rekan yang juga mempunyai passion menulis. 

Pada awalnya memang sulit memulai untuk menulis apalagi dengan format artikel dan opini, tetapi akan lebih mudah jika sudah terbiasa. Bahkan kalau orang sudah terbiasa menulis, akan ada yang kurang dalam dirinya jika tidak menulis. Ibaratnya kalau tidak menulis sehari saja, seperti ada yang hilang dalam diri ini. Bagi saya kecanduan menulis itu sangat menyenangkan.

Jadilah seorang pranata humas yang mampu menulis dengan cinta. Sehingga hasil tulisannya mampu menjadi wahana transformasi pengetahuan antara sekolah dengan masyarakat, atau orang-orang yang berminat membacanya. Jika demikian, bisa dikatakan menulis itu ‘candu’ dengan konotasi yang positif dapat memberikan manfaat dan wawasan bagi masyarakat. Selamat menulis dan berkarya. 

***

*) Oleh: I Gede Alfian Septamiarsa, S.Sos, M.I.Kom; Pranata Humas Ahli Pertama Biro Administrasi Pimpinan Sekretariat Daerah Provinsi Jawa Timur.

*)Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggungjawab penulis, tidak menjadi bagian tanggungjawab redaksi timesindonesia.co.id

 

____________
**) Kopi TIMES atau rubik opini di TIMES Indonesia terbuka untuk umum. Panjang naskah maksimal 4.000 karakter atau sekitar 600 kata. Sertakan riwayat hidup singkat beserta Foto diri dan nomor telepon yang bisa dihubungi.

**) Naskah dikirim ke alamat e-mail: [email protected]

**) Redaksi berhak tidak menanyangkan opini yang dikirim.

**) Ikuti berita terbaru TIMES Indonesia di Google News klik link ini dan jangan lupa di follow.

Advertisement



Editor : Imadudin Muhammad
Publisher : Sholihin Nur

TERBARU

Togamas - togamas.com

INDONESIA POSITIF

KOPI TIMES