Kopi TIMES

Demokrasi Ilusif Menghantui Indonesia

Sabtu, 24 Juli 2021 - 17:07 | 78.09k
Rizky Juda Putra Hidayat, Mahasiswa Ilmu Pemerintahan Universitas Muhammadiyah Malang.
Rizky Juda Putra Hidayat, Mahasiswa Ilmu Pemerintahan Universitas Muhammadiyah Malang.

TIMESINDONESIA, MALANG – Jika dicerna lagi dari apa maksud kata 'demokrasi' ini dengan seksama maka asal mula dari istilah 'demokrasi' dapat ditelusuri kembali pada zaman Yunani kuno, demokrasi diturunkan dari kata Yunani kratos, yang artinya kekuasaan. Demokrasi berarti 'kekuasaan oleh demos' (demos merujuk pada 'rakyat', meskipun orang Yunani asalnya menggunakan ini dengan arti 'kaum miskin' atau 'orang banyak'). Akan tetapi, pengertian yang lebih sederhana yaitu 'kekuasaan oleh rakyat' tidak banyak berarti. Problem dari sebuah demokrasi adalah popularitasnya yang sangat tinggi, sebuah popularitas tinggi yang telah mengancam istilah tersebut menjadi sebuah konsep politik yang tidak bermakna. 

Proses demokratisasi di Indonesia sudah dapat dikatakan usai, karena hal tersebut dapat diukur dari terselenggaranya pemilihan umum untuk dapat memilih anggota legislatif, presiden, dan juga kepala daerah secara damai serta berkelanjutan. Dengan ukuran tersebut pula maka tidak tepat jika menyebut Indonesia pada saat ini adalah negara yang masih berada dalam tahap konsolidasi politik. Namun, memang masih sulit untuk dapat memberikan 'label' perkembangan demokrasi di Indonesia.

Apakah demokrasi yang berjalan sudah masuk tahap berikutnya, tahap penguatan lembaga-lembaga demokrasi, atau justru menuju ke arah sebaliknya. Dapat dikatakan sulit karena proses demokrasi di Indonesia masih cenderung mengarah pada demokrasi ilusif (elusive democracy) yang memiliki arti sebuah demokrasi yang sulit dipahami arahnya, apakah akan terjebak di dalam demokrasi prosedural (procedural democracy) ataukah hanya akan mencapai batas minimal dari demokrasi substansial (substantial democracy). 

Salah satu yang mencirikan demokrasi ilusif yaitu terjadinya politik anomali dalam tahap instalasi demokrasi. Instalasi demokrasi merupakan sebuah proses di mana institusi-institusi demokrasi tumbuh serta berkembang di era transisi. Tahapan instalasi demokrasi dilaksanakan setelah Pemilu 2004 sampai Pemilu 2009, yang ditandai dengan adanya amendemen UUD 1945 pertama, kedua, dan juga ketiga, serta sejumlah pembentukan institusi-institusi demokrasi lainnya.

Sejalan dengan proses instalasi demokrasi yang terjadi, di sisi lain proses politik juga ditumbuhi oleh banyakya politik anomali. Ciri dari politik anomali itu tersebut antara lain, pada proses serta prosedurnya, sistem demokrasi sebenarnya sudah berjalan, tetapi ruang demokrasi tersebut hanya  dimanfaatkan oleh dinasti politik, orang-orang kuat, politik kekerabatan, dan juga oligarki.

Kekuatan-kekuatan politik sipil seakan tereduksi karena semua esensi politik dan kedaulatan rakyat dikurung dengan berkuasanya partai politik dalam sistem politik. Sederhananya adalah suasana dalam kehidupan berbangsa dan bernegara yang memiliki wadah demokrasi, tetapi nilai serta aktornya dipenuhi oleh politik tradisional yang sesungguhnya bukan merupakan aktor yang dikehendaki oleh demokrasi.

Hampir tidak adanya 'ruang kosong' demokrasi bagi kepentingan masyarakat madani (civil society) secara setara, itu semua dikarenakan oleh institusi yang tumbuh dari proses dan prosedur demokrasi yang selalu diisi oleh kekuatan kepentingan politik dan dekat dengan kekuasaan serta dipenuhi oleh aktor-aktor dari partai politik. Institusi dalam demokrasi tumbuh akan tetapi proses permainan oleh partai politik dan orang-orang kuat juga tidak bisa dihindari. sumbu tunggal dalam pengisian ruang demokrasi yaitu partai politik, menentukan segalanya. Aktor-aktor penting dalam civil society seakan 'nyaris lumpuh' akibat terserap dalam jabatan-jabatan political appointee. 

Dapat dipahami bahwa demokrasi yang berjalan tanpa kritik akan menjadi tirani mayoritas atau tirani kekuasaan. Namun sebaliknya, proses politik yang selalu dikritik akan mengalami deligitimasi dan pada titik tertentu akhirnya dapat menimbulkan anarki. Kedua-duanya bukan merupakan pilihan, tetapi sesungguhnya demokrasi memerlukan rule of law yang kuat, independen, serta tidak berpihak maupun memihak.

Tegaknya hukum yang tidak tajam ke bawah, tetapi tumpul ke atas menjadi kunci penting dalam mewujudkan keseimbangan dalam demokrasi agar tetap berada pada garis yang sesungguhnya, bukan cenderung pada 'tirani mayoritas/kekuasaan' dan juga bukan 'anarki'. Refleksi tingkah laku berpolitik yang minim akan moral seakan semakin menjauhkan demokrasi dari realisasi cita-cita utamanya yaitu membawa kesejahteraan bagi umat manusia. 

***

*) Oleh: Rizky Juda Putra Hidayat, Mahasiswa Ilmu Pemerintahan Universitas Muhammadiyah Malang.

*) Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggung jawab penulis, tidak menjadi bagian tanggung jawab redaksi timesindonesia.co.id

***

**) Kopi TIMES atau rubrik opini di TIMES Indonesia terbuka untuk umum. Panjang naskah maksimal 4.000 karakter atau sekitar 600 kata. Sertakan riwayat hidup singkat beserta Foto diri dan nomor telepon yang bisa dihubungi.

**) Naskah dikirim ke alamat e-mail: [email protected]

**) Redaksi berhak tidak menayangkan opini yang dikirim apabila tidak sesuai dengan kaidah dan filosofi TIMES Indonesia.

**) Ikuti berita terbaru TIMES Indonesia di Google News klik link ini dan jangan lupa di follow.

Advertisement



Editor : Ronny Wicaksono
Publisher : Rizal Dani

TERBARU

Togamas - togamas.com

INDONESIA POSITIF

KOPI TIMES