Kopi TIMES

Memberantas Kecerdasan

Sabtu, 24 Juli 2021 - 16:31 | 87.67k
Sofiatul Karimah, Mahasiswi Sastra Inggris UIN Maliki Malang.
Sofiatul Karimah, Mahasiswi Sastra Inggris UIN Maliki Malang.

TIMESINDONESIA, MALANG – Belanda datang ke Nusantara dengan dalih berdagang. Kemudian menguasai perdagangan dengan berbagai strategi jenius, mendekati para bangsawan dan pemerintah, untuk selanjutnya merebut banyak sektor kehidupan rakyat.

Mereka cerdas? Tentu saja, tetapi kecerdasan itu mereka gunakan untuk ‘membodohi’ orang lain, alih-alih mencerdaskan bangsanya sendiri. Saya tidak bilang orang Nusantara tidak jenius, akan tetapi pengetahuan dan cara berfikir kritis mereka saat itu masih jauh dibawah para penjajah.

Jika tidak setuju, mari kita liat bagaimana cerita sejarah yang mengatakan rakyat diam saja saat ditetapkan pemerintah belanda untuk membayar pajak pertanian dari tanah dan jerih payah bercocok tanam milik mereka sendiri, sistem tanam paksa tahun 1830 yang menyebabkan banyak tekanan pada rakyat, sampai paksaan bekerja seperti romusha tahun 1942 oleh penjajah Jepang untuk membangun berbagai fasilitas penting seperti jalan raya, gudang bawah tanah, jembatan, dan kubu pertahanan.

Yang paling diuntungkan? Para penjajah pastinya, meskipun rakyat juga dimudahkan dengan adanya fasilitas umum seperti jalan raya dan jembatan.

Setelah indonesia merdeka pun, kita masih dihadapakan pada peristiwa-peristiwa mencekam, kejadian yang banyak menunjukkan bahwa kecerdasan lebih banyak digunakan untuk memperebutkan kekuasaan, posisi, dan uang; Gerakan 30 September dalam aksi pembantaian anggota PKI, dilarangnya pembacaan buku-buku kritis yang dianggap sebagai ‘aliran kiri’, sampai peristiwa menghilangnya banyak aktivis penurunan Orde Baru khususnya wilayah Jogjakarta dan Solo. Setelah di’tidak cerdaskan’ bangsa lain, rakyat ternyata masih bisa tertipu pemerintah sendiri, yang mana notabene anak bangsa, benar-benar lahir dan besar di Indonesia. 

Mengapa para anggota PKI dibantai? Dibumi hanguskan merata dari bayi, anak kecil, wanita tanpa pengecualian. Supaya memberantas para pembelot negeri yang ketahuan membangkang? Ataukah memberantas oposisi pemerintah yang berusaha menggulingkan kekuasaan? Apakah seberbahaya itu sampai bayi-bayi mungil tak berdosa dan para keluarga tak terlibat ikut terseret menjadi korban? Ini yang paling membingungkan. 'Kenapa anak bangsa tega menebas habis kawan setanah airnya?'

Apa ada kemungkinan sampai sekarang kita masih tetap dibodohi? Ketika pemerintah memberantas puluhan anggota KPK yang telah susah payah berjuang memberantas para ‘Pencuri Berdasi’ dengan alasan tak lulus tes wawasana kebangsaan, yang mana jikalau rentetan kasus itu terungkap akan banyak para petinggi negeri terseret jatuh ke jeruji besi.

Ah, tapi tak apa. Toh mereka akan selalu mendapat hak-hak istimewa, diringankan denda dan hukuman misalnya. Baru beberapa minggu lalu, Pengadilan Tinggi Ibukota memangkas hukuman Jaksa perempuan yang terbukti mengurus fatwa pembebasan salah satu koruptor dengan alasan “Ia adalah perempuan yang harus mendapat perhatian dan perlindungan”.

Sebentar, apa Pak? Harus mendapat perhatian dan perlindungan? Kemudian kami? pemudi yang sedang gigih bermimpi suatu hari bisa bermanfaat bagi negeri? lalu Ibu-ibu kami, nenek kami, tetangga kami yang kurang mampu, balita-balita tak berdosa di pelosok negeri yang kekurangan gizi, anak perempuan bangsa generasi selanjutnya yang tak bisa menempuh pendidikan tinggi hanya karena biaya. Apakah kami juga tidak boleh mendapatkan perlakuan khusus? Di manakah implementasi Pancasila sila ke-5 yang berbunyi ‘keadilan bagi seluruh rakyat Indonesia’. atau sekarang sudah bergeser makna menjadi ‘keadilan bagi seluruh orang berduit?’ 

Baik. Untuk mengamankan posisi saya sebagai perempuan dari keluarga biasa-biasa saja dan sama sekali tak mempunyai link orang dalam, akan diam. Karena saya bisa saja tiba-tiba menghilang entah kemana sebab telah mengkritik pemerintah di era demokrasi tercinta negeri. Atau, minimal gadget saya diretas karena dianggap tidak sopan sudah menjuluki pemimpin negeri. 

Jadi, jangan jadi orang cerdas. Pertama, jika otak hanya digunakan untuk menipu orang lain supaya kebutuhan diri terpenuhi. Kedua, jika kecerdasan itu tidak diimbangi dengan hati nurani. Ketiga, jika otak cerdik itu hanya dibuat untuk mengisi kantong pribadi, tanpa memperdulikan konsekuensi dan dampak.

Bukankah penjajah dahulu juga menipu kita dengan alasan kerjasama? Padahal mereka memang sedang memperkaya diri dengan mengeksploitasi sebanyak-banyaknya sumber daya alam negeri orang. Bukankah kecerdasan yang tidak diimbangi hati nurani akan melahirkan para koruptor dan lintah darat? Kemudian mereka sibuk mencari cara menyemprotkan disinfektan pada virus-virus yang dianggap mengganggu ketentraman. 

Jika sudah begini, apakah kita akan diam saja melihat sejarah ‘penjajahan’ yang sepertinya akan terulang? 

***

*) Oleh: Sofiatul karimah, Mahasiswi Sastra Inggris UIN Maliki Malang.

*) Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggung jawab penulis, tidak menjadi bagian tanggung jawab redaksi timesindonesia.co.id

***

**) Kopi TIMES atau rubrik opini di TIMES Indonesia terbuka untuk umum. Panjang naskah maksimal 4.000 karakter atau sekitar 600 kata. Sertakan riwayat hidup singkat beserta Foto diri dan nomor telepon yang bisa dihubungi.

**) Naskah dikirim ke alamat e-mail: [email protected]

**) Redaksi berhak tidak menayangkan opini yang dikirim apabila tidak sesuai dengan kaidah dan filosofi TIMES Indonesia.

**) Ikuti berita terbaru TIMES Indonesia di Google News klik link ini dan jangan lupa di follow.

Advertisement



Editor : Ronny Wicaksono
Publisher : Lucky Setyo Hendrawan

TERBARU

Togamas - togamas.com

INDONESIA POSITIF

KOPI TIMES