Kopi TIMES

Mengenal Sejarah dan Polemik Rokok

Sabtu, 24 Juli 2021 - 14:26 | 57.77k
Agus Zehid, Mahasiswa Fakultas Adab dan Humaniora Jurusan Tarjamah UIN Jakarta; Mahasantri Darus Sunnah International Hadith for science.
Agus Zehid, Mahasiswa Fakultas Adab dan Humaniora Jurusan Tarjamah UIN Jakarta; Mahasantri Darus Sunnah International Hadith for science.

TIMESINDONESIA, JAKARTA – Andi seorang pemuda yang baru saja tumbuh dewasa. Ketika itu ia mencoba mencuri sebuah motor, tetapi ia tertangkap terlebih dulu. Setelah kejadian itu, Andi melakukan taubat nasuha, namun sayangnya, sebagian masyarakat tetap mengenalnya sebagai pencuri. Citranya sebagai pencuri tidak mudah dihilangkan, sehingga mata kewaspadaan selalu tertuju kepadanya.

Demikianlah perkataan Milan Kundera 'orang tak lain hanyalah citra dirinya sendiri' dalam bukunya L’immortalite. ia menerangkan bahwa di mata masyarakat, hakikat pribadi sendiri tidak banyak berperan. Citra masyarakat selalu memberikan Impres, di antara nilai positif begitupun negatif. Citra buruk yang melekat pada mahluk hidup pun, rasanya sulit sekali dibenahi. lalu bagaimana jika keburukan itu disandarkan kepada benda mati yang tak mampu melakukan apapun. 

Begitulah posisi rokok yang menjadi titik berat kita saat ini. Sejak manusia lahir dan mulai mengenal dunia, mereka sudah dicekoki dengan citra negatif rokok. Melalui orang tua, para dokter, bahkan iklan-iklan dalam media dan televisi. Citra rokok akhirnya menjadi doktrin yang kebenarannya tidak pernah dipertanyakan lagi. Rokok menjadi benda mati yang menderita, tidak dapat menjadi dirinya lagi yang berharap memiliki nilai objektif.

Sejarah Rokok

Selian ad-Dukhan, masyarakat arab memiliki beberapa sebutan lain untuk menunjuk rokok, diantaranya at-Tabgh, at-Tutun, dan at-Tinbak. Nama-nama tersebut sudah mashur di kalangan masyarakat umum. 

Dijelaskan bahwa tembakau (at-Tabghu) pada awalnya merupakan tanaman lokal pada daerah Tobago-suatu negeri di Meksiko, Amerika Utara. Pada masa pendudukan Amerika, orang-orang berimigrasi dari eropa untuk singgah dan menetap di sana. Mereka bergaul dengan penduduk asli, sehingga mengetahui adat dan istiadat wilayah tersebut, termasuk rokok. 

Ketertarikan mereka terhadap rokok, memotivasi mereka untuk membawa bibitnya ke kampung halaman. Pemindahan ini terjadi pada 1517 M atau 935 H. hanya saja, tembakau baru tersebar luas di eropa pada tahun 1560 M/977H. Yohana Pailot dari Vunisia mengunjungi Raja Alburqanal di panama, kemungkinan besar ia membawa bibit tembakau dari vunisia, sehingga tersebar di negeri itu. Dari Vunisa tembakau dibawa ke negeri-negeri eropa oleh Rahib Vunusia yang bernama Vesus Lorenz. Sejak saat itu tembakau menjadi mashur di seluruh eropa. 

Bagaimana Hukum Rokok Menurut Para Ulama

Sebagian Ulama menganggap hukum rokok sebagai sesuatu yang haram, di antara ulama yang berpendapat demikian ialah Syaikh As-Syihab al-Qalyubi dalam kitab hasiyahnya, Syaikh Hasan as-Saranbila seorang ulama mazhab hanafi, Syaihk Laqqin yang memiliki risalah Khusus terkait pengharaman rokok, risalah ini dinamakan Nasihah al-Ikhwan bi al-ijtinab Syarb ad-Dukhan, dan beberapa ulama lainnya yang mengharamkan hukum rokok. 

Dalam pengharaman ini, setidaknya terdapat 4 unsur yang disepakati oleh para Ulama tersebut. pertama rokok dapat membahayakan kesehatan berdasarkan pendapat para dokter, mengenai hal ini semua ulama sepakat. Kedua, dalam pandangan mereka rokok menjadi haram sebab dapat memabukkan dan menjadikan bahan lemas. Ketiga, bau asap rokok tidak disenangi oleh sebagian orang-orang, terkhusus pada saat-saat tertentu seperti, shalat jamaah. Keempat, merokok dipandang sebagai perilaku pemborosan tabzir dan menggambarkan sifat berlebih-lebihan. 

Unsur di atas menjadi dalih para Ulama yang mengharamkan rokok. Selain menjaga kondisi kesehatan, juga memperhatikan aspek-aspek dalam bersosial. 

Ulama yang Menghalalkan Rokok

Tidak sedikit pula Ulama yang berpendapat untuk membolehkan mengkonsumsi rokok. Juga memberi jawaban terhada Ulama-ulama yang mengharamkannya. Salah satu dari ulama tersebut, al-Imam Abd al-Ghani an-Nabilisi ulama bermazhab hanafi, selain itu adapula al-allamah Asy-Syabramalis, Syaikh as-Sulthon al-Hallab, dan al-Barmawi. Al-Barmawi megutip kata-kata gurunya (al-Babily) 'keharaman rokok bukan karena rokok itu sendriri 'haram li-dzatihi' tapi dikarenakan adanya unsur dari luar yang mengubah hukum halal ini'. 

Dengan adanya unsur luar tersebut, maka hukum rokok menjadi relatif. Selama ia tidak terkena mudharat tertentu, tidak membahayakan dirinya, maka hukum rokok menjadi halal. Begitupun sebaliknya, dapat menjadi haram, ketika seseorang dipastikan mendapatkan bahaya ketika menghisapnya. 

Rokok tidak menghilangkan kesadaran bagi yang menghisapnya, seperti yang tuduhkan oleh kelompok yang mengharamkan rokok. Hal tersebut hanya fenomena yang dirasakan seseorang yang baru menghisap rokok, rentan merasakan pusing, namun tidak kehilangan akal, terlebih mabuk.

Setelah kita lihat berbagai macam pendapat mengenai haram dan halalnya rokok, ada pula yang menyimpulkan perdebatan tersebut, bahwa rokok hukumnya makruh. Pendapat ini dilontarkan oleh al-Bajuri dalam Hasyiyah Ala Syarh al-Ghayah pada bagian kitab al-Buyu, dalam kitab tersebut al-Bajuri berkata 'pendapat ini (bahwa rokok hukumnya haram) adalah pendapat yang lemah. Demikian pula pendapat yang mengatakan bahwa merokok hukumnya mubah (boleh).

Pendapat yang mu’tamad adalah makruh, namun demikian hukum rokok dapat menjadi wajib, semisal ketika seseorang meninggalkan rokok dia akan mendapatkan mudharat, terkadang pula hukum makruh itu dapat menjadi haram. Misalnya ketika seseorang membeli rokok dengan uang yang seharusnya dia gunakan untuk menafkahi keluaganya, dan dia tahu dengan menggunakan uang itu untuk membeli rokok, keadaan keuangannya dalam bahaya.'

Pendapat itu didukung oleh sebagian ulama, salah satunya yaitu Syaikh Abd al-Hamid salah satu dari muridnya sendiri. Ia berkata 'perselisihan tentang haramnya rokok itu sendiri sudah cukup menunjukkan tidak tepatnya hukum mubah'

Mungkin inilah pendapat para ulama mengenai hukum menghisap rokok, yang terangkum dalam kitab 'Irsyad al-Ikhwan fi Bayan Hukmi Syurb al-Qahwah wa ad-Dukhan karangan Syekh Ihsan Jempes-Kediri (w.1952 M). Di antara banyaknya pro dan kontra yang juga sama-sama memiliki argumen, setidaknya kita bisa lebih bijak dalam menentukan hukum rokok ini. Tidak terdorong oleh hawa nafsu atau citra yang terbangun sejak dulu di kalangan masyarakat, sehingga tidak dapat menilai hukum secara objektif. 

Wallahu a’lam 

***

*) Oleh: Agus Zehid, Mahasiswa Fakultas Adab dan Humaniora Jurusan Tarjamah UIN Jakarta; Mahasantri Darus Sunnah International Hadith for science.

*) Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggung jawab penulis, tidak menjadi bagian tanggung jawab redaksi timesindonesia.co.id

***

**) Kopi TIMES atau rubrik opini di TIMES Indonesia terbuka untuk umum. Panjang naskah maksimal 4.000 karakter atau sekitar 600 kata. Sertakan riwayat hidup singkat beserta Foto diri dan nomor telepon yang bisa dihubungi.

**) Naskah dikirim ke alamat e-mail: [email protected]

**) Redaksi berhak tidak menayangkan opini yang dikirim apabila tidak sesuai dengan kaidah dan filosofi TIMES Indonesia.

**) Ikuti berita terbaru TIMES Indonesia di Google News klik link ini dan jangan lupa di follow.

Advertisement



Editor : Ronny Wicaksono
Publisher : Lucky Setyo Hendrawan

TERBARU

Togamas - togamas.com

INDONESIA POSITIF

KOPI TIMES