Kopi TIMES

Menyembelih (Adu) Domba

Senin, 19 Juli 2021 - 15:08 | 54.01k
Bahrian Muhammad, Alumni Pondok Pesantren Bayuanyar Madura. Alumni IAIN Jember. Aktif di literasi NU Bondowoso.
Bahrian Muhammad, Alumni Pondok Pesantren Bayuanyar Madura. Alumni IAIN Jember. Aktif di literasi NU Bondowoso.

TIMESINDONESIA, BONDOWOSO – Perayaan Idul Adha 1442 Hijriah masih dalam kondisi pandemi Covid-19 (Corona Virus Disease 2019). Banyak pesta, seremonial ritual agama harus ditiadakan atau tetap berjalan dengan protokol kesehatan. Mulai Idul Fitri hingga ibadah haji. Bencana wabah sudah menginjak usia dua tahun di negeri ini. Kasus positif hampir menyentuh angka 3 juta. Mahkluk mikroskopis penghuni baru di bumi telah mengubah segalanya. Kondisi sosial, aktivitas ekonomi, pendidikan dan semua sektor kehidupan harus mencari gaya baru agar tetap bisa berjalan.

Di awal Tahun 2021, kasus di Indonesia sempat menurun. Banyak orang optimis, negeri dengan penduduk 271 juta ini akan segera melewati masa 'sakit' yang berkepanjangan. Ternyata tidak, corona hanya landai sejenak. Ia kemudian bermutasi menjadi varian-varian baru yang semakin menggila. Virus 'beranak-pinak' untuk mempertahankan diri. Ada jenis Alfa, Beta, Gamma, Delta, Lambda dan Kappa. Semoga tak muncul mutan baru dari mahkluk ini.

Penulis bukan ahli epidemiologi. Jadi tidak mungkin membahas secara digit varian virus. Lagian kita bisa membacanya di media-media mainstream. Tetapi penting diketahui, bahwa ada jenis baru yang orang jarang menyadari keberadaannya. Padahal lebih berbahaya dari 'cucu-cucu' corona tadi. Namanya infodemik, yakni wabah virus hoaks atau kabar bohong yang menyertai kasus Covid-19. 

Kecepatan infeksi wabah ini melebihi corona. Anehnya, orang yang terjangkit tak merasakan gejala apapun. Padahal kondisinya bisa saja sudah sangat akut. Media penularan infodemik paling efektif adalah media sosial. Baik Facebook, Instagram, pendapat yang ngawur,Twitter hingga media chatting WhatsApp dan sejenisnya.

Wabah dusta ini adalah toksik yang memperparah kondisi dan memperlambat penekanan kasus Covid-19. Bayangkan, informasi bohong tentang susu yang diklaim bisa mengobati corona. Telah menyebabkan panic buyingdan hampir menyebabkan keributan di sebuah supermarket. Hoaks tentang cairan vaksin yang dikabarkan bercampur virus, membuat penduduk di sebuah kampung menolak vaksinasi. Tentu banyak lagi dusta yang akibatnya bisa memperlambat penanganan.

Pemerintah pun punya tugas tambahan. Selain meng-updatedata kasus Covid-19, juga disibukkan menangani sebaran dusta tentang pandemi. Data Kominfo mulai awal pandemi haingga Tanggal 16 Juli kemarin, sudah ada 3.806 hoaks, dan 3.345 diantaranya sudah di-take down, sisanya dalam proses. Itu yang terdata, tentu belum termasuk yang disebarkan lewat group WhatsApp keluarga, komunitas dan lain-lain. 

Apa efek dari dusta berjamaah ini? Akibatnya kita mudah diadu domba. Rakyat seolah-olah berhadapan dengan pemerintah, warga dengan sesama warga dan atau sebaliknya. Akhirnya masyarakat sibuk mencari pembenaran dan dalil atas hoaks yang mereka imani keberadaannya, serta mendukung apapun yang sejalan dengan keyakinannyan itu.

Misalnya dusta soal bahaya interaksi obat yang disebarkan oleh dr Lois Owien. Masyarakat yang dari awal 'berhadapan' dengan pemerintah, akhirnya membenarkan segala ucapan Lois. Video dokter yang sudah tidak terdaftar di IDI itu dibagikan ke setiap paltform media sosial. Orang-orang yang tak percaya Covid-19 sudah menemukan 'ayat' baru untuk mebela diri. Sekali lagi infodemik telah berhasil mengadu domba bangsa ini.

Infodemik muncul bukan karena kesalahan uji coba di sebuah laboratorium. Tetapi dipicu kerusakan nalar pikir. Tentu juga karena dikesampingkanya hati nurani. Sebab kata Profesor K. Bertens, nurani adalah 'instansi' dalam diri yang menilai tentang moralitas perbuatan-perbuatan kita secara langsung, kini dan di sini. Karena dengan hati nurani kita bisa menghayati baik dan buruk tentang perilaku kita sendiri. Para penyebar hoaks tak menggunakan 'instansi' itu.

Belajar Pada Keluarga Ibrahim

Hari Raya Idul Adha atau Idul Kurban, tidak lepas dari kisah keluarga Ibrahim. Seorang nabi yang dikenal begitu sangat sabar dan bergelar ulul azmi. Perjalanan kisahnya menjadi latarbelakang disyariatkannya Hari Raya Idul Kurban. Ia dan keluarganya (Siti Hajar dan Ismail) dikenang dan kisahnya dibacakan dalam khutbah usai Salat Id. 

Sebagaimana diceritakan Al-Quran, Nabi Ibrahim bermimpi menyembelih anaknya, Ismail. Mimpi itu tak lain adalah wahyu dari Allah sekaligus untuk menguji iman sang nabi. Mimpi itu datang sebanyak tiga kali. Ibrahim meyakini bahwa Tuhan yang ia sembah tidak mungkin berdusta (bermain-main) soal wahyu itu.

Kemudian Ibrahim datang menemui Ismail dan menceritakan titah Tuhan yang datang dalam tidurnya. Tanggapan Ismail sangat mengejutkan, ia meminta ayahnya untuk melaksanakannya. Ismail mengajukan beberapa syarat. Ia meminta agar tubuhnya diikat supaya tidak memberontak dan pisau yang digunakan diasah setajam mungkin.

Di sisi lain, setan hendak menyebarkan infodemik di keluarga Ibrahim. Pertama setan mendatangi sang nabi. Tapi iman dalam hati Ibrahim setangguh baja untuk melaksanakan perintah itu. Bahkan ia melemparkan batu ke arah setan sebanyak tujuh kali. 

Kemudian setan datang merayu Siti Hajar, isteri Ibrahim, untuk membujuk suaminya agar tidak menyembelih Ismail. Tapi Siti Hajar tak peduli dan melempari setan dengan batu sebanyak tujuh kali. 

Setan belum menyerah, kini giliran Nabi Ismail yang dibujuknya agar tidak mau dikorbankan ayahnya. Dengan segala dusta (baca: hoaks) setan merayu Ismail agar berpaling dari informasi yang benar (wahyu Tuhan). Nyatanya Ismail begitu teguh pada pendiriannya. Ia menimpuki setan dengan batu sebanyak tujuh kali. Ibrahim kemudian malaksanakan perintah. Tetapi Tuhan mengganti Ismail dengan domba yang gemuk untuk disembelih. 

Ibrahim dan keluarganya mengajarkan kepada kita, bahwa berpegang pada berita yang benar itu kadang pahit rasanya. Tetapi manis yang akan akan dituai. Misalnya di tengah pandemi, aktivitas kita dibatasi. Makanya  kita harus sabar mengikuti informasi dari orang yang punya kredibel. Maka Tuhan akan segera menggantinya dengan kehidupan normal seperti sedia kala. 

Ibrahim dan keluarganya memilih tidak berdebat dengan setan (hoaks). Justru mereka kompak mengusirnya. Sebab bisikan setan yang terkesan membelai telinga, sebenarnya menyesatkan dan merugikan di kemudian hari. 

Begitu juga hoaks tentang Covid-19 yang katanya adalah konspirasi dan hanya virus biasa. Mungkin terdengar melegakan dan membuat kita tak lagi takut. Tetapi di sisi lain, informasi seperti ini akan membuat orang lalai dan banyak yang mati sia-sia. Akhirnya mereka meninggalkan anaknya dalam keadaan yatim, piatu, bahkan berstatus yatim piatu. Bisa baca di media, bagaimana hoaks dr Lois telah memakan 'korban'.

Sebagaimana pepatah China. Bahwa kabar bohong yang terus dihembuskan (di-share) berulang-ulang pada akhirnya akan dianggap sebuah kebenaran. Tentu hal ini akan merugikan semua orang. Baik pemerintah, tokoh hingga lapisan masyarakat paling bawah. Apalagi terkait dengan  nyawa orang banyak. 

Sebenarnya Al-Quran telah mengingatkan bagaimana kita melawan hoaks. Dalam Surat Al-Hujarat Tuhan berfirman: Wahai orang-orang yang beriman! Jika seseorang fasik datang membawa suatu berita, maka telitilah kebenarannya, agar kamu tidak mencelakakan suatu kaum karena kebodohan (kecerobohan), yang akhirnya kamu menyesali perbuatanmu itu.

Artinya, jika seseorang (baca: media sosial) yang telah terbiasa menyebar hoaks menyampaikan sebuah kabar. Maka kita diminta untuk tabayyun(klarifikasi). Salah satunya bisa bertanya kepada orang mempunyai pengetahuan tentang hal itu. Serta bisa dicek melalui media massa. Jangan sampai kita menjadi penular infodemik dan dosa jariyah ini. Sebab dusta yang disebarkan secara massif akan merugikan banyak orang.

Bukan saatnya kita berdebat siapa yang paling benar. Saatnya fokus menyelamatkan diri dan bahu-membahu memikirkan solusi dampak pandemi. Hoaks tak lain adalah virus yang muncul dari hati orang-orang yang dengki dan angkuh. Keangkuhan ini pun juga bisa menyebabkan sakit jasmani. Karena berdasarkan penelitian Dr. Masaru Emoto, penyakit fisik lahir dari penyakit hati seperti iri, dengki dan semacamnya. Sementara bakteri hanya pelengkap semata. Kerusakan akibat dusta telah banyak buktinya.

Kembali ke kisah Ibrahim. Saatnya kita meneladani pesuruh Tuhan yang berhasil menyembelih keangkuhan, amarah dan nafsu pribadinya. Ia juga berhasil membentengi keluarganya dari serangan infodemik. Atas kesabaran dan keteguhan hati, Tuhan kembali menyatukan Ismail dengan Ibrahim dan Hajar. Beda ceritanya, jika ketiganya mengikuti dusta yang disebarkan setan. Mungkin perjalanan hidupnya tidak akan dikenang sebagai syariat. 

Jika kita belum bisa berkurban domba dalam momentum Idul Adha Tahun 2021 ini. Minimal kita bisa menyembelih urat nadi infodemik yang menyebabkan terjadinya adu domba. Yakni dengan tidak menyebarkan hoaks tentang pandemi Covid-19. Terakhir saya ucapkan Selamat Hari Raya Idul Adha 1442 Hijriah. Allahu akbar walillahi al-hamdu. Demikian.

***

*)Oleh: Bahrian Muhammad, Alumni Pondok Pesantren Bayuanyar Madura. Alumni IAIN Jember. Aktif di literasi NU Bondowoso.

*) Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggung jawab penulis, tidak menjadi bagian tanggung jawab redaksi timesindonesia.co.id

***

**) Kopi TIMES atau rubrik opini di TIMES Indonesia terbuka untuk umum. Panjang naskah maksimal 4.000 karakter atau sekitar 600 kata. Sertakan riwayat hidup singkat beserta Foto diri dan nomor telepon yang bisa dihubungi.

**) Naskah dikirim ke alamat e-mail: [email protected]

**) Redaksi berhak tidak menayangkan opini yang dikirim apabila tidak sesuai dengan kaidah dan filosofi TIMES Indonesia.

**) Ikuti berita terbaru TIMES Indonesia di Google News klik link ini dan jangan lupa di follow.

Advertisement



Editor : Wahyu Nurdiyanto
Publisher : Lucky Setyo Hendrawan

TERBARU

Togamas - togamas.com

INDONESIA POSITIF

KOPI TIMES