Kopi TIMES

Faktor Politik sebagai Penentu Perubahan Konstitusi

Sabtu, 17 Juli 2021 - 01:15 | 66.93k
 Bahaudin, Analis Politik dan Konstitusi IPI.
Bahaudin, Analis Politik dan Konstitusi IPI.

TIMESINDONESIA, JAKARTA – Bahwa praktik ketatanegaraan diberbagai negara telah menunjukkan bahwa perubahan terhadap konstitusi pernah terjadi, termasuk di Indonesia. Perubahan terhadap UUD di Indonesia terjadi dalam kurun waktu 1999-2002 atau terjadi perubahan 4 (empat) kali terhadap UUD Tahun 1945. Salah satu hasil perubahan tersebut adalah MPR RI tidak lagi memiliki kewenangan menetapkan Garis-Garis Besar Haluan Negara (GBHN). Dan kini setelah 20 tahun reformasi berlalu, timbul keinginan untuk kembali melakukan perubahan terbatas terhadap UUD NRI Tahun 1945. 

Jika kita telaah dengan seksama, upaya menghadirkan PPHN dalam sistem ketatanegaraan di tanah air sejatinya merupakan agenda resmi MPR RI. Hal ini setidaknya bisa kita lihat dari adanya 2 (dua) Putusan MPR RI yakni Keputusan MPR No. 4 Tahun 2014 dan Keputusan MPR No. 8 Tahun 2019. Dalam Keputusan MPR No. 8 Tahun 2019 seluruh fraksi-fraksi dan kelompok DPD di MPR RI telah sepakat menghadirkan kembali PPHN dalam lanskap politik-ketatanegaraan di tanah air. Yang belum menjadi kesepakatan adalah mengenai bentuk hukumnya. Ada pandangan bentuk hukum PPHN melalui TAP MPR RI dan pandangan kedua bentuk hukum PPHN hanya sebatas Undang-Undang saja, yakni menyempurnakan UU yang sudah ada, dalam hal ini UU No. 25 tahun 2004 tentang SPPN dan turunannya. 

Amandemen terbatas yang menjadi agenda resmi kenegaraan MPR RI sama sekali tidak mengubah masa jabatan presiden, tidak mengubah periodesasi masa jabatan Presiden dan tidak mengubah mekanisme pemilihan Presiden-Wakil Presiden. Presiden-Wakil Presiden tetap dipilih langsung oleh rakyat dalam Pemilu yang luber dan jurdil. 

Mekanisme Perubahan Diatur dalam UUD NRI Tahun 1945

UUD NRI Tahun 1945 juga telah tegas mengatur mekanisme perubahan terhadap Pasal-Pasal dalam UUD NRI Tahun 1945, sebagaimana diatur dalam Pasal 37 UUD NRI Tahun 1945. Pasal 37 ayat (1) UUD NRI Tahun 1945 misalnya menjelaskan usulan perubahan Pasal-Pasal dalam Konstitusi yang harus diajukan oleh 1/3 anggota MPR RI. Jika kita simulasikan anggota MPR RI saat ini berjumlah 711 orang, maka untuk bisa mengajukan perubahan adalah 1/3 dari 711 orang yakni 237 anggota MPR RI. 

Kemudian dalam Pasal 37 ayat (2) UUD NRI Tahun 1945 disebutkan bahwa usulan perubahan terhadap Pasal-Pasal dalam UUD NRI Tahun 1945 harus dilakukan secara tertulis. Artinya disini diperlukan kajian akademis mendalam. Dan dalam Pasal 37 ayat (3) dijelaskan bahwa untuk mengubah Pasal-Pasal dalam UUD NRI Tahun 1945 paling tidak dihadiri oleh 2/3 dari 711 anggota MPR RI, artinya jumlah yang diperlukan adalah sebanyak 474 orang. Sedangkan mekanisme pengambilan Keputusan Perubahan UUD NRI Tahun 1945 dilakukan dengan persetujuan 50% anggota plus 1. Sehingga jika kita simulasikan 50% dari 711 anggota MPR RI adalah 355 dan jika ditambah 1 orang adalah 356 orang. 

Faktor Politik Sebagai Penentu

Berdasarkan sifatnya Konstitusi dibagi dua, yakni luwes dan rigid. Negara-negara yang memiliki konstitusi luwes (fleksibel) diantaranya New Zealand dan Kerajaan Inggris. Sedangkan negara-negara yang memiliki konstitusi kaku (rigid) diantaranya Amerika Serikat, Australia, Kanada dll. 

C.F. Strong sebagaimana dikutip Jimly Asshiddiqie menjelaskan bahwa UUD yang tergolong fleksibel, mekanisme perubahannya kadang-kadang cukup dilakukan hanya dengan the ordinary legislative saja seperti di New Zealand. Sedangkan UUD yang dikenal kaku (rigid) mekanisme perubahannya dilakukan melalui: lembaga legislatif, oleh rakyat langsung melalui referendum, oleh utusan negara bagian atau dengan kebiasaan ketatanegaraan. Jimly Asshiddiqie: Pengantar Ilmu Hukum Tata Negara, Jakarta: Raja Grafika, 2016, Hlm. 155-156. 

Pada bagian lain, Prof Jimly Asshiddiqie memberikan pandangan, bahwa yang menjadi tolak ukur sebuah UUD bersifat luwes atau rigid tidak hanya berdasarkan pada mekanisme mengubahnya saja, melainkan yang menjadi faktor dominan adalah faktor politik. 

Jimly menegaskan bahwa pada akhirnya yang menentukan perlu atau tidaknya UUD diubah adalah faktor konfigurasi kekuatan politik yang berkuasa pada suatu waktu. Betatapun kakunya atau sulitnya suatu naskah UUD diubah, apabila konfigurasi kekuatan politik berkuasa menghendaki perubahan maka konstitusi itu berubah.

Sebaliknya, meskipun UUD tersebut sangat mudah diubah, namun jika kekuatan politik yang berkuasa tidak menghendaki adanya perubahan, tentu saja konstitusi tersebut tidak adakan berubah.  Karena pada pokoknya itulah, konstitusi itu merupakan produk politik, faktor kekuatan politiklah yang justru sangat determinan pengaruhnya dalam menentukan apakah konstitusi dapat diubah atau tidak. Jimly Asshiddiqie: Pengantar Ilmu Hukum Tata Negara, Jakarta: Raja Grafika, 2016, Hlm. 158. 

***

*)Oleh: Bahaudin, Analis Politik dan Konstitusi IPI.

*) Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggung jawab penulis, tidak menjadi bagian tanggung jawab redaksi timesindonesia.co.id

***

**) Kopi TIMES atau rubrik opini di TIMES Indonesia terbuka untuk umum. Panjang naskah maksimal 4.000 karakter atau sekitar 600 kata. Sertakan riwayat hidup singkat beserta Foto diri dan nomor telepon yang bisa dihubungi.

**) Naskah dikirim ke alamat e-mail: [email protected]

**) Redaksi berhak tidak menayangkan opini yang dikirim apabila tidak sesuai dengan kaidah dan filosofi TIMES Indonesia.

**) Ikuti berita terbaru TIMES Indonesia di Google News klik link ini dan jangan lupa di follow.

Advertisement



Editor : Ronny Wicaksono
Publisher : Rizal Dani

TERBARU

Togamas - togamas.com

INDONESIA POSITIF

KOPI TIMES