Kopi TIMES Universitas Islam Malang

“Militansi” Petani

Rabu, 14 Juli 2021 - 10:00 | 55.23k
Abdul Wahid, Dosen Fakultas Hukum (FH) Universitas Islam Malang (UNISMA) dan penulis buku.
Abdul Wahid, Dosen Fakultas Hukum (FH) Universitas Islam Malang (UNISMA) dan penulis buku.
FOKUS

Universitas Islam Malang

TIMESINDONESIA, MALANG – Presiden Joko Widodo menyebut mengatasi masalah pangan, kalau mau gampang menyelesaikannya memang dengan impor.  Namun Presiden berkeyakinan bahwa Indonesia bisa mencapai swasembada beras.

Untuk kepentingan itu, di samping soal konsistensi menegakkan moratoroium impor beras atau pangan lainnya, yang stoknya di negeri masih menumpuk, juga diperlukan penguatan  sikap “militansi petani” dalam menggarap sector pertanian.

Beberapa negara  lain yang cukup kuat ketahanan pangannya atau tidak hancur sector pertaniannya, bukan disebabkan oleh kinerja aparat pemerintah (negara) dalam melawan mafia atau para pemilik modal kuat yang mengimpor bahan-bahan pangan, tetapi juga berkat ketangguhan (militansi) para petani dalam menjaga produktifitas pertaniannya.

“Orang yang dapat menghadapi hidup, adalah mereka yang  bangkit  dan mencari keadaan seperti yang diinginkan.  Bila tidak menemukannya,    mereka menciptakan keadaan tersebut,” demikian pernyataan    George Bernard Shaw, yang sejatinya mengingatkan setiap orang untuk menciptakan keadaan yang menguntungkannya.

INFORMASI SEPUTAR UNISMA DAPAT MENGUNJUNGI www.unisma.ac.id

Petani pun bisa menciptakan keadaan, dari keadaan yang kurang menguntungkan menjadi kondisi mencerahkan, yang langkah ini menjadi bukti adanya kebangkitan, tidak menyerah dengan keadaan yang menyusahkan, atau tidak pasrah menerima kenyataan yang tidak menguntungkannya.

Kaum petani yang menciptakan keadaan yang berbeda dengan sebelumnya merupakan upaya strategis, pasalnya dalam dirinya ada keberanian memulai atau mencoba, yang kesemuanya  ini membawa resiko seperti menanam bibit-bibit pangan, namun kenyataannya tidak menghasilkan..

Para petani diingatkan tentang  keberadaan dirinya yang ditentukan oleh peran-peran yang dimainkannya sendiri. Peran yang ditunjukkan akan menentukan besar kecilnuya pencapaian. Peran yang ditentukannya ini juga menjadi kekuatan yang bisa menghambat mafia pangan.

Kualitas hidup seseorang hanya bisa diraih dengan cara mencari dan menciptakan keadaan sesuai yang dicita-citakan atau diobsesikannya. Mencari dan terus mencari merupakan syarat utama bagi seseorang yang bercita-cita meraih kesuksesan. Begitu pula petani, kualitas hidupnya  secara ekonomi bukan merupakan kemustahilan untuk bisa membaik, bilamana petani terus menunjukkan “karyanya” di lahan pertanian.

INFORMASI SEPUTAR UNISMA DAPAT MENGUNJUNGI www.unisma.ac.id

Kalangan mafia pangan tidak akan mampu mempermainkan harga pangan, misalnya dengan melakukan impor secara terus menerus, manakala petani konsisten menunjukkan militansinya dalam memproduk pangan dalam negeri.

Bahan pangan yang diimpor mafia pangan akan kalah bersaing dengan produk petani dalam negeri, yang selain produktifitasnya tetap terjaga, juga tidak kenal patah semangat dalam memprogresifitaskan  aktiftas pertaniannya.

Mafia pangan tentu akan terus menerus bergerilya untuk menaklukkan pemerintah supaya merestui impor bahan pangan sebanyak-banyaknya. Mereka akan terus bereksperimen agar pemerintah menyerah kalah oleh serangan atau berbagai bentuk permainan bertajuk “mendestruksi” pasar.

Selain menjadikan pemerintah sebagai targetnya, mereka juga menempatkan petani sebagai obyek yang secara gradualitas atau sistematis  dihabisinya. Kalau petani sudah dihabisi dengan cara melemahkan etos kerjanya seperti dibuat jadi penakut dengan pangan impor terus menerus, maka bisa dipastikan para mafia ini akan semakin merajalela dan bahkan  absolut.

Mafia bisa masuk dalam kehidupan kita, sejatinya karena kita lemah atau  kita bukakan pintu untuk mereka. Kalau kita kuat  atau masyarakat Indonesia mempunyai ketahanan moral dan  nasionalitas yang tinggi,  serta gigih  dan konsistensi dalam menegakkan regulasi, maka mafia tidak akan mempunyai pintu masuk untuk beraksi dan berakselerasi.

Dalam buku yang ditulis oleh Haryono tentang “Kerja Cerdas, Kerja Keras, dan Kerja Religius” (2019), kita dikritiknya, bahwa   kita ini terkadang asal-asalan dan tidak serius dalam menghadapi dan menjalani kehidupan di muka bumi. Prinsip asal bisa kerja atau dapat kerja misalnya tidak boleh dibiarkan bertahan, karena prinsip demikian bisa membuat seseorang kesulitan mendapatkan prestasi besar dalam kehidupannya.

INFORMASI SEPUTAR UNISMA DAPAT MENGUNJUNGI www.unisma.ac.id

Apa yang disebut itu cermin realitas sosial, bahwa di tengah masyarakat, masih hidup bertahan dan bersemai prinsip sesuka hati dan membiasakan hidup santai, menerima kernyataan tanpa ada usaha, minim perjuangan, “miskin” kegigihan, jauh dari ketekunan, tanpa kreatifitas, atau tidak sungguh-sungguh mengerahkan segala kemampuan. Penyakit ini  seolah telah demikian akrab menjadi bagian dari hegemoni penyakit yang kita terima.

Kita juga misalnya gampang bilang bahwa apa yang terjadi sudah ada garisnya dari Tuhan, padahal kita sebenarnya tidak pernah tahu, apa sebenarnya garis yang sudah dibuat atau dirumuskan oleh Tuhan. Kita mudah menyebut kalau kemudahan atau kesulitan, kesenangan atau kesusahan, kesejahteraan atau kemiskinan, keberdayaan atau ketidakberdayaan, yang mengenai kita sudah diatur dari “Yang Maha Atas”.

Deskripsi itu tak bermaksud menghakimi petani bukan sebagai pekerja dan “produsen” yang gigih dan tangguh, tetapi sebagai kritik, bahwa tidak sedikit diantara petani yang menjual lahan pertaniannya pada korporasi atau kalangan pemilik modal, yang kemudian dari modalnya ini digunakan untuk membuka usaha atau menjadi tenaga kerja ke luar negeri.

Sikap atau mentalitas seperti itu jelas tidak bisa diandalkan untuk melawan mafia pangan. Mereka seharusnya jadi generasi yang memproteksi otoritas jagat pertanian supaya tetap menjadi lahan produktif yang menyejahterakan. Sayangnya, mereka justru terjangkit penyakit serius, yang justru menjadi entry point  bagi kalangan mafia untuk mendestruksinya.

Mentalitas “miskin” etos kerja di lahan pertanian akan dengan gampang menjadi obyek permainan kalangan mafia pangan. Mafioso pangan ini mempunyai strategi sistematis dan mematikan yang terus menerus diujicobakan  untuk mereduksi dan melemahkan para keluarga petani.

Pemerintah (negara) wajib menggiatkan kampanye tentang urgensinya proteksi humanistik lahan pertanian dan penguatan mentalitas petani dalam membangun etos kerja dan progresifitas kerjanya. Kalau pemerintah dan petani tidak saling menyadari perannya masing-masing, maka mereka ini akan di-pimpong atau dibuat saling berhadapan terus menerus lewat politik devite et impera yang digalakkan kalangan mafia. ***

INFORMASI SEPUTAR UNISMA DAPAT MENGUNJUNGI www.unisma.ac.id

*)Penulis: Abdul Wahid, Dosen Fakultas Hukum (FH) Universitas Islam Malang (UNISMA) dan penulis buku.

*)Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggungjawab penulis, tidak menjadi bagian tanggungjawab redaksi timesindonesia.co.id

**) Ikuti berita terbaru TIMES Indonesia di Google News klik link ini dan jangan lupa di follow.

Advertisement



Editor : Dhina Chahyanti
Publisher : Rochmat Shobirin

TERBARU

Togamas - togamas.com

INDONESIA POSITIF

KOPI TIMES