Kopi TIMES Universitas Islam Malang

Dekonstruksi Tafsir Misoginistik

Selasa, 13 Juli 2021 - 03:33 | 65.66k
Abdul Wahid, Dosen Ilmu Hukum Universitas Islam Malang (UNISMA) dan penulis buku.
Abdul Wahid, Dosen Ilmu Hukum Universitas Islam Malang (UNISMA) dan penulis buku.
FOKUS

Universitas Islam Malang

TIMESINDONESIA, MALANG – Lembaga atau forum-forum kajian  keagaamaan yang tersebar di masyarakat sudah waktunya mereformasi paradigma tafsir agama yang bercorak misoginis (berdasar kebencian) terhadap peran perempuan di masyarakat. Lembaga atau forum-forum “pengadil” berjustifikasi agama ini perlu melihat secara obyektif, bahwa agama (Islam) yang dihadirkan ke dunia melalui Nabi Muhammad SAW ini bermisi pembebasan, pemanusiaan, egalitarianisme, atau pembumian rahmatan lil-alamin, sehingga keadilan bisa dirasakan oleh siapapun tanpa kecuali.

Dalam tafsir agama bercorak misoginis, posisi perempuan terdepak atau termarjinalisasi  ke  wilayah inferioristik layaknya “warga klas dua”, sehingga opsi berani yang diambilnya yang berelasi dengan dunia atau aktifitas laki-laki, dianggapnya sebagai bentuk pengingkaran dan pengkhianatan terhadap kodrat kewanitaan. Opsi perempuan menjadi pekerja keras, yang bisasa dikerjakan kaum laki-laki seperti menjadi pekerja keras atau kasar diperlakukannya sebagai objek misoginisasi gender, yang membuat  perempuan terampas hak demokratisasinya di ranah publik atau di zona yang semula menjadi milik kekuatan maskulinitas.

INFORMASI SEPUTAR UNISMA DAPAT MENGUNJUNGI www.unisma.ac.id

Perempuan yang mau menjadi tukang ojek merupakan tipe perempuan pekerja keras, yang dalam ajaran Islam, sosok demikian dimuliakan oleh Allah, seperti halnya laki-laki yang hidupnya tidak menyerah pada ketidakberdayaannya atau berusaha membebaskan kesulitan ekonominya dengan cara bekerja.  Perempuan tukang ojek inipun membuktikan kalau pekerjaan yang dipilihnya mengandung misi pembebasan dan pemanusiaan diri, keluarga, atau siapapun yang menjadi tanggungjawabnya.

Dalam ranah egalitarianisme yang digariskan Islam, tidak ada perbedaan atau diskriminasi dalam mencari, mengayuh, dan mewarnai dunia kerja, termasuk memanfaatkan lahan per-ojekan. Kalau perempuan dengan sukarela atau terpaksa menjatuhkan opsi menjadi tukang ojek, seharusnya opsi ini dihormati sebagai bagian dari ruh agama yang menempatkannya sebagai pekerja keras, tak mudah menyerah dengan “takdir” kesulitan yang membelenggunya, dan pejuang hak yang berelasi dengan idealisme kelayakan hidup.

Dalam tulisan Imam KH (2007) berjudul ”Tangan Bercahaya Tuhan” disebutkan al-kisah, suatu ketika Nabi bertemu dengan salah seorang sahabatnya yang sedang bekerja. Sang pekerja ini bersalaman dengan beliau.  Begitu bersalaman, Nabi kaget, sebab ternyata tangan orang ini kasar atau keras sekali. “Ada apa ya rasul Allah”? demikian Tanya sahabat itu melihat kekagetan di wajah Nabi. “Kenapa dengan tanganmu wahai sahabatku?, Tanya Rasul.

“Tanganku menjadi kasar dan keras akibat terus menerus digunakan membelah kayu dan batu”, jawab sahabat itu sambil menundukkan mukanya, merasa malu. “Tidak usahlah merasa malu, karena tangan kasarmu ini sangat disukai oleh Allah SWT. Karena Allah mencintai orang-orang yang mau bekerja keras. Allah  mencintai orang-orang yang tidak putus asa (gampang menyerah)”, demikian penjelasan Nabi.

INFORMASI SEPUTAR UNISMA DAPAT MENGUNJUNGI www.unisma.ac.id

Mendengar penjelasan junjungannya, sahabat tersebut bukan main gembiranya, karena apa yang dilakukan atau diperbuatnya selama ini ternyata mendapatkan penghargaan yang demikian tinggi di hadapan Tuhan. Apa yang dikerjakan telah berbuah pujian agung dari Tuhannya, tangannya telah menyinarkan cahaya cinta dari Tuhannya.

Meskipun yang mendapatkan penghargaan dari Nabi tersebut seorang lelaki, tetapi yang dinilai oleh agama, bukanlah dari aspek matriakhi atau patriakhinya dalam melakukan pekerjaan. Dalam ranah ini, perempuan yang mau bekerja keras pun  berhak atas penghargaan sebagai perempuan mulia, dan bukannya harus dimarjinalkan atau dialinasikan dengan fatwa yang mengharamkannya.

Perempuan yang jadi tukang ojek pun dalam menjalankan profesinya bukanlah didasarkan prinsip menjaul harga diri, tetapi kapabilitas atau keahlian, yang tidak semua perempuan bisa melakukannya.. Kalaupun saat menjalankan profesinya ini, ada sedikit bersentuhan kulit dengan lawan jenis, maka ini bukan berlatar kesengajaan, di samping tidak didasari niatan melakukan perbuatan maksiat.

Sudah saatnya sekarang, kalangan agamawan tidak sekedar bisa menelorkan fatwa tanpa berempati, berdialektika,  dan menerjemahkan realita yang dihadapi perempuan. Fatwa haruslah didasarkan pertimbangan humanitas, bukan berlatar misoginis yang hanya mengakibatkan perempuan semakin menderita.

Sikap ”mencibir” sebagian kita yang melihat perempuan bekerja dengan kekuatan fisiknya demi memenuhi banyak kepentingan dalam hidupnya adalah panggilan kewajiban dan sekaligus hak asasinya sebagai makhluk tuhan yang berderata, yang tidak boleh dibedakan dengan pemikiran dan sikap egosentrisme kita. ***

INFORMASI SEPUTAR UNISMA DAPAT MENGUNJUNGI www.unisma.ac.id

*)Penulis: abdul wahid, Dosen Ilmu Hukum Universitas Islam Malang (UNISMA) dan penulis buku.

*)Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggungjawab penulis, tidak menjadi bagian tanggungjawab redaksi timesindonesia.co.id

**) Ikuti berita terbaru TIMES Indonesia di Google News klik link ini dan jangan lupa di follow.

Advertisement



Editor : Dhina Chahyanti
Publisher : Rochmat Shobirin

TERBARU

Togamas - togamas.com

INDONESIA POSITIF

KOPI TIMES