Kuliner

Jualan Sejak 1990, Ini Menu Andalan Angkringan Khas Bayat Mas Ratno

Senin, 12 Juli 2021 - 10:35 | 135.34k
Angkringan Milik Mas Ratno yang berjualan sejak tahun 1990. (FOTO: Fajar Rianto/TIMES Indonesia)
Angkringan Milik Mas Ratno yang berjualan sejak tahun 1990. (FOTO: Fajar Rianto/TIMES Indonesia)

TIMESINDONESIA, YOGYAKARTA – Bagi warga Yogyakarta atau yang pernah singgah di kota ini, angkringan tentu tidak asing lagi. Gerobak yang berjualan nasi kucing dan aneka minuman ini dapat ditemui di berbagai sudut jalan raya di kota pelajar ini. Salah satunya angkringan khas Bayat Mas Ratno, di Kawasan Bugisan, Kota Yogyakarta.

Kebanyakan, mereka yang berjualan model angkringan adalah kaum pria yang berasal dari Bayat, Klaten, Jawa Tengah. Mereka menggelar dagangan mulai sore hingga malam atau dini hari tiba. Menggunakan gerobak kayu menuju lokasi jualan. Kemudian membawa kembali gerobaknya ke pangkalan usai menutup jualannya.

Interaksi pembeli dan penjual di warung ini pun begitu hangat. Biasanya, penjual angkringan dikenal akrab dengan pembeli dan sering mengobrol dengan santai dalam suasana penuh kekeluargaan.

Pada era 1990, sebagian penjual angkringan ini ikut juragan. Bermodal tempat mangkal, mereka menyewa gerobak sekaligus  mengambil dagangan pada juragan. Juragan angkringan juga menyediakan tempat istirahat (mes) bagi para penjual yang ikut dengannya. Tentu fasilitas pelepas lelah ini terbilang sederhana bentuknya. Ada beberapa juragan angkringan di Kota Yogyakarata pada saat itu di Kawasan Jogokaryan, Bugisan dan Ngampilan.

Ratno mengatakan mulai berjualan pada tahun 1991 di lahan kosong barat Hotel Bugisan, Kota Yogyakrta. Tepatnya, di seberang SPBU Bugisan Jalan Sugeng Jeroni, Yogyakarta. Ratno yang asli Bayat ini dulunya ikut juragan angkringan yang ada di Jalan Pamularsih,  tidak jauh dari tempatnya berjualan.

Angkringan-Milik-Mas-Ratno-yang-berjualan-2.jpg

Angkringan milik pria yang akrab disapa mas Ratno tergolong ramai dibandingkan yang lain. Pelanggannya dari berbagai kalangan. Bahkan, jadi tempat nongrong, baik warga setempat, para pelajar, mahasiswa juga sopir taksi yang saat itu tiap malam antri mengisi BBM di SPBU Bugisan.

Tidak terpaku pada satu tempat, setahun berjualan Ratno kemudian mencari titik lokasi jualan yang baru. Sementara angkringan di Bugisan dijaga oleh saudaranya. Di lokasi yang baru,  ia 'babat alas'  berjualan selama beberapa waktu untuk mencari pasaran. Setelah lokasi tersebut ramai didatangi pembeli, Ratno akan kembali berjualan di  Bugisan lagi. Sementara lokasi yang baru, ia tawarkan (jual) pada teman atau tetangganya yang berminat jualan angkringan.

Saat itu, pedagang angkringan kebanyakan nyambi bertani di desanya. Saat mereka berhalangan akan ada yang menggantikan berjualan. Dengan begitu para konsumen tidak kecewa karena angkringan tetap buka.

Ibarat jamur di musim hujan. Seiring waktu keberadaan angkringan semakin marak jumlahnya. Tak hanya warga Bayat, warga lokal maupun pendatang dari luar Bayat banyak juga yang berjualan angkringan. Tidak di dominasi kaum pria, belakangan para wanitapun ikut menekuni usaha ini. Bahkan ada yang masih muda dan viral karena kelewat cantiknya.

Sementara di satu sisi semakin sulit mencari lahan kosong untuk berjualan. Selain tempatnya terbatas, kalaupun ada biasanya akan dikenakan sewa tempat. Termasuk yang dialami Ratno. Pada tahun 2004, lokasi yang dipakainya berjualan selama belasan tahun akhirnya dimanfaatkan si pemilik tanah.

Kemudian, ia bertekad membuka angkringan sendiri. Mandiri tidak ikut juragan lagi. Pindah  tempat mengarah 13 km keselatan dari tempat ia berjualan sebelumnya. Tepatnya di dusun Salakan, Bangunjiwo, Kasihan, Bantul tempat istrinya berasal. Mulai saat itulah,  dibantu sang istri ia menyiapkan dagangan sendiri lalu melanjutkan usaha angkringan seperti sebelumnya.

Di tempat ini eksisnya berjualan hingga saat ini. Ia juga jarang libur kecuali baru ada hajat keluarga. Meski lokasinya berada di pinggiran namun banyak juga pelanggannya mereka tidak hanya warga setempat. Para pelanggan lama saat jualan di Bugisan masih sering menyambanginya juga.

“Hari biasa menghabiskan 2 kg gula batu, 3 kg gula pasir. Sementara hari Sabtu setidaknya 4 kg gula batu, 5 kg gula pasir habis untuk membuat minuman," terang Ratno, Senin (12/7/2021).

Eloknya menu angkringan mas Ratno, baik nasi kucing ataupun minuman (teh, jahe dll) memiliki rasa yang khas. Yakni cita rasa menu angkringan Yogyakarta era 90an. Ratno menyebutkan, selama ini ia tetap menjaga resep tradisi.

“Ada proses atau perlakuan tertentu untuk meracik nasi kucing sehingga nasi bisa awet dan memiliki rasa khas tersendiri," ujar Ratno.

Begitupun dalam proses menyajikan minuman ia juga memiliki teknik tersendiri sehingga hasil racikan tangannya, baik kemarin, hari ini ataupun lusa tetap memiliki cita rasa dan aroma yang sama.

Selain menyediakan menu nasi kucing, sate usus, kepala ayam, gorengan, baceman, aneka minuman dan sebagainya.

angkringan khas Bayat Mas Ratno juga menyediakan kekiniaan seperti aneka mie, capcay Jawa maupun tahu guling. Jadi buat yang akan merasakan atau mengenang kembali suasana dan cita rasa angkringan Bayat bisa mendatangi tempat ini. Tentunya dengan menerapkan prokes dan tentunya saat ini wajib mengikuti kebijakan PPKM. (*)

**) Ikuti berita terbaru TIMES Indonesia di Google News klik link ini dan jangan lupa di follow.

Advertisement



Editor : Wahyu Nurdiyanto
Publisher : Sofyan Saqi Futaki

TERBARU

Togamas - togamas.com

INDONESIA POSITIF

KOPI TIMES