Kopi TIMES

Bung Karno, Gus Dur dan Masa Depan Gotong Royong

Sabtu, 10 Juli 2021 - 06:27 | 128.51k
Abdurrahman Ad-Dakhil Wahid saat muda (FOTO: gusdursphotos.blogspot.com)
Abdurrahman Ad-Dakhil Wahid saat muda (FOTO: gusdursphotos.blogspot.com)

TIMESINDONESIA, JAKARTA – Ada pertanyaan menggigit. Apakah ide gotong royong sebagai ruh peradaban ala Bung Karno, bisa dihadirkan kembali saat ini?

Ada yang keukeuh bilang bisa. Ada juga yang menjawab: mustahil. Pro-kontra soal ini.

Saat ini memang bukan era Bung Karno. Dunia dan zaman terus berubah. Model kapitalisme dan sosialisme era Bung Karno juga ikut berubah. Mengikuti zaman. 

Saat ini, dominasi kapitalisme global sudah tak terbendung. Tiongkok dan Russia pun, akhirnya dipaksa untuk 'bersahabat' dengan kapitalisme. Lewat cara mereka masing-masing.

Cara dua negara itu meresposn kapitalisme, adalah isyarat maha penting. Bahwa sosialisme dan kapitalisme tidak statis. Namun bergerak mengikuti perubahan.

Pun soal gotongroyongisme. 

Upaya memaksa gotongroyongisme untuk jadi ide alternatif seperti yang dilakukan Bung Karno saat itu, adalah 'hil yang mustahal' dilakukan saat ini. Ide gotong royong harus ikut juga bergerak juga mengikuti zaman. Mengikuti perubahan.

Apa masih ada peluang untuk gotongroyongisme? Jawabnya: Sangat besar.

Peluang itu sebenarnya sudah pernah ditawarkan Gus Dur. Mungkin kita yang belum ngeh maksud Gus Dur saat itu.

Dengan caranya sendiri, Gus Dur menawarkan ide gotong royong lewat gerakan pluralismenya.

Sejatinya. Hakikat ide pluralisme Gus Dur, sebangun dengan ide gotong royong Bung Karno: Harmoni. Bahwa perbedaan adalah harmoni yang sangat indah. 

Bedanya. Politik harmoni (baca gotong royong), dilakukan Bung Karno saat terjadi benturan keras antara kapitalisme dan sosialisme. Sementara, politik harmoni (baca pluralisme), dilakukan Gus Dur saat antara kapitalisme dan sosialisme sudah mulai terjadi dialog.

Ya, bibit dialog sudah muncul saat itu.

Gus Dur melihat peluang besar itu. Gus Dur melihat sebuah harapan baru. Sebuah cakrawala baru buat masa depan sebuah harmoni: lewat dialog. 

Gus Dur juga menilai banyak titik temu dan dialog terjadi antara kapitalisme dan sosialime saat memandang sebuah realitas. Contohnya soal kerusakan alam. Atau melebarnya kesenjangan sosial. 

Bagi Gus Dur, itu peluang besar ide harmoni untuk berdialog juga dengan kapitalisme dan sosialisme.  

Gus Dur memanfaatkan peluang itu dengan mengembangkan politik pluralismenya. Mulai dialog antaragama. Dialog antarbudaya. Sampai dialog antara agama dan sains. 

Dia yakin satu hal. Dialog adalah jembatan emas untuk mewujudkan perbedaan sebagai sebuah harmoni. Dialog kata kuncinya.

Mata rantai ide harmoni

Perjuangan Bung Karno dan Gus Dur adalah sebuah mata rantai perjuangan kemanusiaan khas Indonesia.

Meski bentuk perjuangannya mereka berbeda. Tapi ruhnya tetap sama: Harmoni.

Mereka sama-sama berjuang untuk mewujudkan sebuah kehidupan berbangsa dan bernegara yang harmonis dan damai. 

Meski nasib mereka sama: Dikudeta. Hiks...

Ah...jadikan saja kudeta itu catatan kritis menatap masa depan. Bahwa kita lah penerus masa depan pluralisme Gus Dur. Kita lah penerus masa depan gotong royong Bung Karno. 

Kita lah yang akan mewujudkan ide pluralisme. Ide gotong royong. Dan ide harmoni sebagai ruh peradaban. Semoga...

**) Ikuti berita terbaru TIMES Indonesia di Google News klik link ini dan jangan lupa di follow.

Advertisement



Editor : Faizal R Arief
Publisher : Sholihin Nur

TERBARU

Togamas - togamas.com

INDONESIA POSITIF

KOPI TIMES