Kopi TIMES Universitas Islam Malang

Rindu Punggawa Negarawan

Kamis, 08 Juli 2021 - 10:27 | 44.08k
Abdul Wahid, Dosen Fakultas Hukum (FH) Universitas Islam Malang (UNISMA) dan Penulis Buku.
Abdul Wahid, Dosen Fakultas Hukum (FH) Universitas Islam Malang (UNISMA) dan Penulis Buku.
FOKUS

Universitas Islam Malang

TIMESINDONESIA, MALANG – “Zamen bundeling van olle krachtern  van de natie”,  yang bermaknakan “tekad bersama untuk mendahulukan kepentingan bersama, masyarakat, bangsa, dan negara di atas kepentingan pribadi dan golongan sendiri”, demikian ungkap Bung Karno di hadapan rakyat dan pejabat pemerintahan dengan tujuan membangkitkan rasa nasionalisme, komitmen kebangsaam dan pencerahan Indonesia.

Pesan Bung Karno itu  sebenarnya sudah jelas, bahwa, dalam membangun bangsa, setiap orang yang dipercaya menjadi punggawa negara atau menduduki kursi yang membawa atribut atau identitar suara rakyat, idealnya mengutamakan atau mendahulukan komitmen kebangsaan yang ditujukan demi mewujudkan kesejahteraan rakyat, membebaskan kemiskinan, berjuang di garis depan untuk melawan berbagai ancaman asing dan penyakit internal yang cenderung mengoyak republik menjadi sebuah kapal “titanic” atau negeri yang retak, dan mensucikan diri sesuci-sucinya agar tidak terjerumus dalam kasus dan apalagi pembenaran korupsi, kolusi, dan nepotisme yang sudah lama jadi penyakit kanker.

INFORMASI SEPUTAR UNISMA DAPAT MENGUNJUNGI www.unisma.ac.id

Idealnya, para “punggawa” itu mempu jadi negarawan, aktif menunjukkan kapabilitas iintelektual-spiritual dan aseptabilitas moral-politiknya  untuk meninggikan arti tanggungjawab (kewajiban) kepada rakyat dan bukannya memilih jalan sebaliknya, menjadikan rakyat sebagai kendaraan untuk memenuhi “birahi politik”-nya semata, kegilaan jabatan, dan nafsu kapiralistiknya.

Sayangnya, jalur pembusukan amanat itulah yang ditempuh sebagian kaum punggawa negeri ini, sehingga tampilnya mereka sebagai pengibar dan pilar kedaulatan rakyat tidaklah lebih dari sekumpulan  gerombolan dan petualang yang gemar menciptakan peluang-peluang strategis yang membuatnya jadi selebriti kaya-raya atau menempati strata elitisme “upper class”. Kroni dan kepentingan partai dijadikan sebagai keluarga absolutismenya dengan mengalahkan amanat kerakyatan.

Rakyat yang tidak cukup antusias dalam menyambut berbagai bentuk pesta demokrasi dewasa ini sebenarnya sebagai isyarat kalau rakyat sedang mempertanyakan konduite moral kader-kader parpol yang akan menjadi punggawa di kemudian hari. Bagi rakyat negeri ini, keinginannya jelas, yaitu punya pemimpin yang benar-benar punya jiwa keberpihakan terhadap krisis yang mengakumulasi ini.

Kita yang waras tentulah merefleksi, apalah artinya pagelaran demokrasi kalau nanti yang memimpin atau mewakilinya adalah pemabuk-pemabuk kekuasaan, yang hanya  pandai mengumbar keserakahannya.  Rakyat sudah haus dan lapar menantikan kehadiran punggawa yang berjiwakan negarawan, dan bukan punggawa  yang  bajingan.

Pemerintahan baru era reformasi ini  yang diproduk melalui kepercayaan rakyat (dihasilkan lewat berbagai pesta demokrasi) memang telah lahir berkali-kali atau sudah beberapa periode penggantian kepemimpinan nasional, namun dalam ranah ini tidak sedikit batu sandungan atau penyakit yang menyerangnya.

INFORMASI SEPUTAR UNISMA DAPAT MENGUNJUNGI www.unisma.ac.id

Kelahiran  sauatu rezim  itu tentu saja diidealkan menjadi prototype dari suatu sejarah model pemerintahan yang berbeda dibandingkan rezim-rezim sebelumnya.  Artinya pemerintahan baru ini sangat didambakan sebagai wujud pemerintahan yang mencitrakan jati diri rakyat yang sudah memberikan kepercayaan kepada pemerintah. Rakyat yang sudah lama menginginkan perubahan tentu saja wajib hukumnya untuk diakomodasi.

Salah satu bentuk perubahan yang didambakan oleh rakyat adalah dekonstruksi dalam tubuh pemerintahan sendiri yang masih kental dengan berbagai bentuk penyakit, khususnya mental sebagai “pesulap”.  Mental ini telah menjadikan Indonesia  mengalami keropos, mengidap krisis berkepanjangan. Di kalangan pejabatnya berlomba menyulap hak-hak publik menjadi hak-hak pribadi dan kroni. Mereka

Ibarat orang mandi, tidak ada yang namanya mandi itu dari bawah. Mandi itu cermin membersihkan diri yang berasal dari “atas”, baik dengan cara disiram, digerojog, maupun disikat habis-habisan supaya raga  dan segala anatominya yang menjadi kekuatan menggerakkan rezim ini bisa berjalan dengan baik dan normal.  Kalau dalam tubuh pemerintahan ini bersih dengan ditandai bersihnya mentalitas pesulap di kalangan komunitas elitnya dan bibit-bibitnya, maka barulah kita bisa berharap banyak terhadap masa depan Indonesia yang lebih baik.

Logislah kalau kemudian presiden siapapun di era demikian ini harus atau dipaksa berhadapan secara langsung dengan orang-orang dekatnya, sangat niscaya tidak bersih dari ambisi dan keserakahan sebagai pesulap. Dari sinilah sejatinya tantangan diri menjadi pemimpin negarawan, yakni mengalahkan beragam penyakit yang menggerogoti keberdayaan bangsa.

INFORMASI SEPUTAR UNISMA DAPAT MENGUNJUNGI www.unisma.ac.id

*)Penulis: Abdul Wahid, Dosen Fakultas Hukum (FH) Universitas Islam Malang (UNISMA) dan Penulis Buku.

*)Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggungjawab penulis, tidak menjadi bagian tanggungjawab redaksi timesindonesia.co.id

**) Ikuti berita terbaru TIMES Indonesia di Google News klik link ini dan jangan lupa di follow.

Advertisement



Editor : Dhina Chahyanti
Publisher : Rochmat Shobirin

TERBARU

Togamas - togamas.com

INDONESIA POSITIF

KOPI TIMES