Kopi TIMES Universitas Islam Malang

Melawan Makelar Kejahatan

Rabu, 07 Juli 2021 - 11:12 | 20.56k
Abdul Wahid, Dosen Universitas Islam Malang dan penulis buku.
Abdul Wahid, Dosen Universitas Islam Malang dan penulis buku.
FOKUS

Universitas Islam Malang

TIMESINDONESIA, MALANG – Anak-anak kita dewasa ini sedang dalam ancaman serius.  Banyak diantaranya telah dibuat menjadi “mesin” percepatan tindak kejahatan, digiring, ditaklukkan, dan dijinakkan lewat rangsangan-rangsangan yang bersifat instan dan menyenangkan, yang sebenarnya penuh bias dengan harapan, bahwa melalui anak-anak  itu, kerajaan mafioso bisa diperluas, mendapatkan banyak dukungan konsumen, atau menjadi kiblat mutlak dari kalangan usia produktif.

Kalau kepada anak-anak SLTP misalnya, peran yang dimainkan oleh “makelar-makelar kejahatan” (criminal broker) dan mafiosonya bisa dikemas dengan rapi dengan cara menempatkan anak-anak sekolahan sebagai lahan yang perlu dijinakkan dengan berbagai cara, diantaranya dengan memberikan atau mendistribusikan contoh narkoba  secara gratis, yang kemudian kelak jika sudah ketagihan disuruh membayar, bisa utang, dan dijerat supaya mau menjadi makelar-makelar kecil (little brokers) yang mau menjadi agen penyebaran atau perdagangan narkoba di sekolah, lantas bagaimana dengan anak-anak yang sedang duduk di bangku SMU?

INFORMASI SEPUTAR UNISMA DAPAT MENGUNJUNGI www.unisma.ac.id

Peneliti anak Bagong Suyanto pernah mengingatkan, bahwa untuk saat ini, narkotika, tampaknya, telah menjadi salah satu simbol status kehidupan metropolitan. Dengan alasan takut dibilang kuno, seorang remaja kerapkali terjerumus mencoba narkotika dan kemudian terjebak sebagai pecandu yang setiap hari harus mengeluarkan uang ratusan ribu rupiah untuk memenuhi kebutuhan gaya hidupnya sebagai pemadat.

Di Indonesia, data BBN pernah menununjukkan, dalam lima tahun terakhir, diprediksi jumlah pengguna narkotika meningkat rata-rata 28,9 persen per tahun. Pada 2004, jumlah pengguna mencapai 3,2 juta jiwa atau sekitar 5 persen dari jumlah penduduk Indonesia. Yang memprihatinkan, sekitar 2,2 juta penduduk diketahui merupakan kelompok yang secara teratur menggunakan narkoba dan 968 ribu jiwa tergolong pecandu.

Dari data-data tersebut, yang lebih mencengangkan lagi, tidak sedikit diantaranya adalah anak-anak sekolah yang sedang terjebak menjadi korban kalangan mafioso.   Dalam modus operandinya dimulai dari penjajakan lokasi, mencari responden, pendekatan terhadap gank-gank sekolah, dan menawarkan rumus ekonomi dan “hedonisme” (kenikmatan duniawi) bercorak simbiosis mutualisme (saling menguntungkan dan diuntungkan).

INFORMASI SEPUTAR UNISMA DAPAT MENGUNJUNGI www.unisma.ac.id

Kalangan mafioso atau komunitas kriminal itu terbilang cerdik dalam membaca dan menerjemahkan obyektifitas pasar atau konsumen. Jika terhadap mahasiswa, yang nota bene sudah punya kecerdasan moral dan intelektual saja bisa dijinakkan dan diperbudaknya  (6 dari 100 orang mahasiswa menjadi pengguna narkoba), apalagi terhadap anak-anak SMU dan SLTP, tentulah dalam kalkulasinya akan lebih mudah. Dan terbukti sudah, bahwa jaringan mafioso sudah berhasil menembus pagar-pagar sekolah atau mengancam masa depan dunia pendidikan.

Demikian itu artinya, di masa-masa mendatang, atau setidaknya dalam kondisi tertentu,  ancaman kekerasan terhadap anak-anak akan semakin besar. Kalangan mafioso diniscayakan akan terus menerus menggempur dan memperluas jaringannya dengan menempatkan anak-anak sebagai pasar bebas yang mampu digunakan untuk memapankan dan mengamankan lahan atau “area anomalistik-krininalistiknya” di sekolah.

Sekolah merupakan institusi yang terfokus mendidik anak-anak dalam keseriusan dan kedisiplinan belajar. Dalam suasana yang sarat beban rutinitas ini, kalangan mafioso cepat tanggap dengan cara menghadirkan “mainan” yang membius anak-anak.  Mafioso ini mencoba menjual mimpi diantara kesibukan belajar. Di sinilah pertarungan sebenarnya akhirnya terjadi antara sekolah sebagai pusat pembangun moral dan penjaga peradaban dengan kekuatan dari luar yang mencoba menciptakan  atau mendisain sekolah sebagai “pasar kejahatan”

INFORMASI SEPUTAR UNISMA DAPAT MENGUNJUNGI www.unisma.ac.id

Menyikapi kondisi tersebut, barangkali selain sekolah dituntut untuk kerap membuka dialog secara demokratis dan bernuansa kepekaan psikologis, juga dibutuhkan bangunan keluarga yang sakinah, berbasis kasih sayang, dan  tidak asal memanjakan anak-anaknya dengan uang saku berlimpah, fasilitas kendaraan mewah, dan pergaulan sebebas-bebasnya.

Pernah terjadi, Sikap reaktif atau kagetnya sejumlah pelajar SLTA asal Jepang ke sekolah-sekolah di Indonesia yang memperbolehkan anak-anak didiknya bawa kendaraan mewah ke sekolah,  meski menitipkannya dilakukan dengan sembunyi-sembunyi,  seharusnya dijadikan sebagai kritik keras terhadap sekolah dan orang tua, bahwa memberikan kemudahan tidak selalu membawa dampak edukatif terhadap anak-anak, sebaliknya bisa jadi dengan kemudahan itu dapat menjerumuskannya untuk “mempermudah” masuknya mafioso dalam kehidupan anak, karena kalangan makelar kejahatan tentulah bisa lebih mudah dalam menjual informasi dan aksi-aksinya dalam menjerat dan menumbuhkan semangat hedonistiknya, yang kemudian memperlicin jalan ke kalangan penjahat utamanya.

INFORMASI SEPUTAR UNISMA DAPAT MENGUNJUNGI www.unisma.ac.id

*)Penulis: Abdul Wahid, Dosen Universitas Islam Malang dan penulis buku.

*)Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggungjawab penulis, tidak menjadi bagian tanggungjawab redaksi timesindonesia.co.id

**) Ikuti berita terbaru TIMES Indonesia di Google News klik link ini dan jangan lupa di follow.

Advertisement



Editor : Dhina Chahyanti
Publisher : Rochmat Shobirin

TERBARU

Togamas - togamas.com

INDONESIA POSITIF

KOPI TIMES