Kopi TIMES

Politik ala Garam

Kamis, 01 Juli 2021 - 21:36 | 81.73k
M. Isra, Mahasiswa Universitas Muhammadiyah Malang.
M. Isra, Mahasiswa Universitas Muhammadiyah Malang.

TIMESINDONESIA, MALANG – Tak bisa dipungkiri masih banyak masalah ekonomi, sosial dan politik yang terjadi di negeri ini. Menjadi keniscayaan bagi seorang pemimpin dengan segala kuasanya untuk menguraikan dan memecahkan masalah yang terjadi disana-sini. Tentunya semua problem harus diselesaikan melalui mekanisme dan prosedur.

Bagaimana pun, itu tidak terlepas dari proses politik. Seperti yang diutarakan Miriam Budiarjo (1981) dalam bukunya yang berjudul “Dasar-Dasar Ilmu Politik”. Bahwa politik itu sangat penting dan tidak terpisahkan dari keseluruhan aspek kehidupan manusia. Pada hakikatnya, politik merupakan suatu fenomena yang berkaitan dengan manusia yang selalu hidup bermasyarakat. Karena pada kodratnya, manusia adalah makhluk sosial yang selalu hidup dinamis dan berkembang. Hal itulah politik selalu mewujudkan diri manusia dalam rangka proses perkembangannya.

Politik berkaitan dengan kekuasaan, dan kekuasaan merupakan denyut kehidupan manusia baik di tingkat negara maupun masyarakat secara luas (Suli Da'im, 2008). Dalam konteks itu, politik dapat dimaknai untuk mendistribusikan nilai-nilai. Dalam hal ini, politik sebagai bagian dari dakwah.

Gagasan idealnya, usaha membangun kemaslahatan dan meninggalkan kemudlaratan, atau dalam Qur'an (surah Ali 'Imran ayat 104), “Dan hendaklah diantara kamu ada segolongan orang yang menyeru kepada kebajikan, menyuruh (berbuat) yang makruf, dan mencegah dari yang mungkar.” Dengan demkian, politik bertujuan untuk mengatur kehidupan manusia agar lebih baik dan mengatasi segala praktik yang menistakan kemanusiaan.

Politik Garam 

Ibarat memasak, garam adalah komposisi penting sebagai bumbu penyedap masakan. Tanpa garam, masakan terasa hambar. Sebaliknya, kalau masakan terlalu banyak garam, akan terasa asin dan tidak sedap. Artinya, garam dalam masakan harus sesuai takaran, tepatnya proporsional.

Lalu apa kaitanya dengan politik?

Layaknya seperti garam itu, politik tanpa bingkai moral akan menjerumuskan perilaku politik yang menghalalkan segala cara akibat pergulatan politik dengan keculasan dan tipu daya. Seolah-olah politik selalu berstigma “lebih kejam daripada fitnah.”

Buya Hamka pernah memberi isyarat, hindari politik gincu tapi gunakanlah politik garam. Bukan hanya warna tapi rasa. Hal serupa juga pernah diungkapkan Prof. H. Amien Rais (1995), bahwa pentingnya politik garam dan tidak memakai politik gincu atau politik bendera. Politik garam dapat dimaknai suatu kegiatan politik yang secara simbolisasinya tidak terlihat, namun substansi/isinya dapat dirasakan oleh rakyat. Beda halnya dengan politik gincu atau politik bendera yang serba terlihat warnanya (simbol) dan belum tentu hasilnya dapat dirasakan. 

Dalam ruang perpolitikan, tentu membutuhkan aktor-aktor yang harus berjuang keras dalam mengabdi kepada bangsa dan negara. Kalau dalam konteks demokrasi, pengabdian yang berbingkai "politik garam", yakni strategi dan program politik yang dipancangkan sebagai niatan untuk menggarami, mempengaruhi, serta mewarnai arah kebijaksanaan politik yang mengarah dari rakyat, oleh rakyat dan untuk rakyat. 

Seorang aktor ketika terjun kedalam politik, ia senantiasa harus dibekali dengan kapasitas intelektual dan sebagai cendekiawan. Pemikiran menarik dari Prof. Soetandyo Wignjosoebroto, yang mengatakan bahwa tugas intelektual dan cendekiawan adalah membantu masyarakat, bukan malah mempersulit atau membuat bingung. Seyogyianya ia berkontribusi lebih konkret dan membumi. Bukan hanya mengepakkan sayap intelektualnya di awang-awang dan menabur wacana-wacana (Wahyudi, 2006). 

Kalau boleh menambahkan, selain konkret dan membumi itu, akan lebih bertenaga jika dibalut dengan kekuasaan. Karena demikian, intelektual dan cendekiawan tak sekadar memberikan saran dan pemikiran, tapi juga mampu mengubahnya. Namun tantangannya, ia ibarat masuk kedalam hutan rimba yang di dalamnya banyak binatang buas. Dalam kondisi seperti itu, hanya ada tiga pilihan: ikut menjadi buas, menjinakkan binatang buas itu, atau menyelamatkan diri dan tidak melakukan perubahan apa-apa. 

Kira-kira pilihan apa yang diambil jika ia mampu menunjukkan kualitasnya ketika berhadapan dengan situasi objektif tersebut?

Tentu akan memilih peran yang kedua. Tetapi, efektivitas peran itu juga akan sangat berpengaruh jika ia tidak memiliki kekuatan untuk menangkis segala pengaruh-pengaruh menyimpang seperti Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme (KKN). Dua kemungkinan jika ia koruptor: selamat dan bertambah kaya, atau sial masuk penjara.

Bukan hanya itu, ada dua pula kemungkinan bagi ia yang jujur: jadi korban politik dan masuk penjara, atau sukses dalam menjaga amanah. 

Terakhir, seorang aktor politik dalam tugasnya menjadi mediating and moderating forces (kekuatan mediasi dan moderasi) terhadap ragam kepentingan politik dalam proses keberlangsungan politik. Kejernihan dalam berpikir dan kuatnya komitmen untuk merangkul, mencari titik temu yang berorientasi pada kepentingan kebangsaan ialah harga mati yang harus ditanamkan dan tak bisa ditawar lagi.

Dengan politik ala garam, tentu akan berarti dan penting untuk diperjuangkan. 

***

*) Oleh: M. Isra, Mahasiswa Universitas Muhammadiyah Malang.

*) Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggung jawab penulis, tidak menjadi bagian tanggung jawab redaksi timesindonesia.co.id

***

**) Kopi TIMES atau rubrik opini di TIMES Indonesia terbuka untuk umum. Panjang naskah maksimal 4.000 karakter atau sekitar 600 kata. Sertakan riwayat hidup singkat beserta Foto diri dan nomor telepon yang bisa dihubungi.

**) Naskah dikirim ke alamat e-mail: [email protected]

**) Redaksi berhak tidak menayangkan opini yang dikirim apabila tidak sesuai dengan kaidah dan filosofi TIMES Indonesia.

**) Ikuti berita terbaru TIMES Indonesia di Google News klik link ini dan jangan lupa di follow.

Advertisement



Editor : Faizal R Arief
Publisher : Sofyan Saqi Futaki

TERBARU

Togamas - togamas.com

INDONESIA POSITIF

KOPI TIMES