Kopi TIMES

Ahmad Zaini Ahsin dan Tarekat HAMiyah

Minggu, 27 Juni 2021 - 11:30 | 70.68k
Imam Malik Riduan.
Imam Malik Riduan.

TIMESINDONESIA, BANYUWANGI – Dengan percaya diri dan senyum lebar ia mulai memegang microphone. Demi mendapati caranya tersenyum saja hadirin sudah bertepuk tangan karena yakin apa yang akan disampaikannya menarik, baru dan lucu. Tiga perkara itu nyaris selalu menyifati pak Ahmad Zaini Ahsin saat berbicara, dalam suasana santai maupun pada forum-forum ilmiah. Ia adalah seorang pengajar agama, aktivis Hak Asasi Manusia (HAM) dan dosen perguruan tinggi Islam yang unik nan tak tergantikan.

Saya masih di tahun kedua sebagai mahasiswa saat itu. Ketika nama-nama seperti Adnan Buyung Nasution, Hendardi, Bambang Wijoyanto, Munir dan Baharuddin Lopa, serta beberapa aktivis senior lain sering tampak di televisi menyuarakan agenda-agenda reformasi. Malam itu kami akan mendengar pemaparan pak Zaini yang baru saja pulang dari sekolah HAM yang diampu nama-nama yang telah saya sebut itu.

Pak Zaini ditantang oleh panitia seminar untuk berbicara HAM dalam perspektif Islam. Saya dan beberapa kawan aktivis curious bagaimana guru tarikh tasyri' yang jenaka ini mengulas sebuah topik kontroversial di pesantren. Kami benar-benar ingin tahu bagaimana wacana HAM yang distigma sebagai produk barat itu akan dikemas dalam perspektif Islam. Apa lagi dipresentasikan di depan ratusan ustaz yang sebagian masih cukup konservatif.

Bukan Zaini Ahsin namanya kalau bicaranya tidak mengandung tiga unsur. Menarik, baru, dan lucu. Malam itu dia buka dengan langsung membuat kategorisasi. Ia mengklasifikasi respon muslim terhadap wacana HAM menjadi dua. Pertama adalah yang merespon positif dengan dalil Al-HAM-dulillahi rabbil alamin. Sementara kelompok lain menanggapi negatif dengan dalil Naudzubillahi minal-HAM-i.

Ledakan tawa dan riuh tepuk tangan di auditorium Pesantren Salafiyah Syafi'iyah langsung pecah malam itu. Asatiz dan para aktivis terpingkal karena gurauan yang unprecedented.

Walaupun latar belakang budaya dan profesi peserta beragam, hampir semua paham dengan dua idiom arab itu. Keduanya adalah kalimat yang sama-sama mengandung kata HAM. Pertama ucapan syukur dengan H yang dalam abjad Arab ح. Sementara yang kedua adalah doa tolak bala dengan H yang dalam bahasa Arab ditulis dengan huruf ه.

Dari dua kalimat pembuka ini saja terlihat betapa briliannya orang ini. Pilihan kalimat pembuka itu tidak hanya menunjukkan betapa dia paham betul kontroversi wacana yang dibawakan serta mengerti khazanah arab klasik, dan yang tidak kalah penting adalah mengerti psikologi audience.

Zaini Ahsin mengabdikan diri untuk isu HAM bukan di gemerlap panggung-panggung seminar atau di media-media populer. Bahwa ia pernah presentasi laporan penelitiannya di International Conference mengenai persoalan HAM masyarakat hutan di sekitar Baluran, itu hanyalah untuk syarat kepangkatan sertifikasi dosen fakultas Dakwah Universitas Ibrahimy belaka. Pak Zaini tipe orang yang tekun pada jalan sunyi dan sepi dari publikasi.

Tahun 1999 saat menjadi reporter BhasaFm Situbondo, saya menurunkan laporan mengenai perjuangan masyarakat Banongan atas hak pengelolaan hutan yang ditinggalinya. Saat melakukan liputan saya merasa tertampar oleh gigihnya perjuangan masyarakat hutan. Orang-orang yang tergusur dan tinggal di gubuk-gubuk semi permanen di bibir-bibir pantai itu antusias bercerita semua dinamika berat dan pahit yang mereka lalui.

Orang-orang yang dididik oleh alam tanpa bangku sekolah itu harus berdialog, bernegosiasi alot, bahkan menerima resiko represif setiap saat. Baik dari preman, pemerintah daerah maupun tentara. Kepada orang-orang inilah Zaini Ahsin mengabdikan dirinya. Ia belajar mengerti makna hidup dan bertauhid yang hakiki, sekaligus mengajarkan bagaimana membela hak-hak dengan cara-cara yang proper.

Dua tahun lalu saya mengunjunginya di Sukorejo Situbondo untuk pamit berangkat sekolah ke Australia. Hampir tengah malam saya membuka pagar rumahnya dan langsung masuk ke "langger" tempat ia biasa menemui kawan-kawan dekat. Mengetahui saya datang, beliau keluar dengan dua buah bantal, makanan ringan dan kopi. Sesaat setelah saya mengambil posisi rebahan, pak Zaini bercerita kalau ia baru saja pulang dari kantor polisi, mendampingi santri yang ditangkap karena menjual satwa dilindungi. Ia katakan santri itu menemukan burung entah dimana dan merawatnya sampai besar. Saat anak itu tidak punya uang untuk bayar SPP, dia menjualnya secara daring dan diketahui oleh polisi lalu ditangkap.

Saya menduga setelah selesai bercerita, pak Zaini berharap saya akan ganti bercerita seru tentang berbagai hal baru. Sayangnya, setelah kami bersepakat membantu SPP santri itu, saya tertidur pulas sampai siang hari sebelum sempat menghabiskan kopi yang disajikannya. Sungguh pertemuan terakhir yang absurd.

Banongan dan kisah santri tertangkap polisi hanyalah sekelumit kisah perjuangan pak Zaini dalam dunia advokasi. Selain itu masih ada pendampingan masyarakat Merak, Baluran dan entah daerah mana lagi yang menjadi lahan advokasinya.

Beliau memulai melakukan advokasi mungkin sejak Madrasah Aliyah. KHR Fawaid As'ad adalah sahabat sepermainannya, setiap ada warga yang sowan mengadu mengenai pelanggaran haknya, Fawaid muda selalu meminta pak Zaini membantu menyelesaikan masalah itu. Bermula dari situlah ustaz yang bukan sarjana hukum dan terdidik di Masrasah itu menjadi advokat orang-orang kecil dan tertindas.

Beberapa tahun terahir pak Zaini banyak mengajar kitab-kitab tasawuf. Menurut seorang sahabat saya yang juga muridnya, Wahab Assamakiy saja, Pak Zaini intens mendiskusikan karya-karya Syekh Athaillah dan Syekh Abdul Qadir Al Jilani. Rupanya Pak Zaini Ahsin telah mensintesakan pengalamannya bersama orang-orang miskin dan tertindas itu. Lalu mengekstraksikannya bersama renungan-renungan para salaf-shalih dalam kitab-kitab tasauf.

Ia telah menjadi seorang Salik yang meniti jalan sufi melalui tarekat HAMiyah. Pak Zaini menghadap yang maha kuasa dengan membawa cerita perih derita orang-orang terdzolimi bersama istighfar dan dzikirnya pada malam-malam yang sunyi di langgar sederhananya.

'Ala kulli hal, saya yakin dia pergi dengan tenang dan bahagia. Abu Nuwasnya Sukorejo ini akan segera bertukar cerita lucu dengan orang-orang suci di alam kekekalan. Saya percaya Ustad Zaini Ahsin akan segera menyuguhkan kisah yang "menarik, baru dan lucu" pada gus Dur, Adnan Buyung, Baharuddin Lopa dan yang lainnya.

Selamat jalan guru, mentor dan sahabatku. Aku bersaksi engkau adalah orang yang sangat baik.

Ahmad Zaini Ahsin meninggal di RS. Elisabeth Situbondo, Jumat kemarin, 25 Juni 2021, jam 10 malam. Ucapan duka cita terdalam untuk Istri, ibu Mariyam dan putra-putrinya; Amiq, Abing, dan Sabil. (*)

 

Penulis adalah Imam Malik Riduan, Mahasiswa Ph.D di School of Social Sciences Western Sydney University Australia.

**) Ikuti berita terbaru TIMES Indonesia di Google News klik link ini dan jangan lupa di follow.

Advertisement



Editor : Faizal R Arief
Publisher : Rizal Dani

TERBARU

Togamas - togamas.com

INDONESIA POSITIF

KOPI TIMES