Kopi TIMES

PGRI, Organisasi Paling 'Sakti'

Sabtu, 26 Juni 2021 - 10:33 | 131.02k
Wibisono Setiawan, S.S, M.Pd, D.PEd; Dewan Pendidikan Kabupaten Bondowoso.
Wibisono Setiawan, S.S, M.Pd, D.PEd; Dewan Pendidikan Kabupaten Bondowoso.

TIMESINDONESIA, BONDOWOSO – Persatuan Guru Republik Indonesia (PGRI) merupakan organisasi profesi guru yang terlahi 99 hari sejak Indonesia merdeka, tepatnya didirikan sejak tanggal 25 November 1945. Sehingga, setidaknya PGRI yang lahir pada masa orde lama dengan kesaktiannya mampu menembus orde baru hingga kokoh berdiri hingga orde reformasi. Kokohnya PGRI sebagai organisasi profesi tertua menarik untuk melihat bagaimana organisasi ini menghadapi era revolusi industri 4.0. 

Telah tercatat dalam tinta emas dan menjadi doktrin yang luar biasa kuat pada palung hati setiap guru yang terbalut batik kusuma bangsa bagaimana perjuangan PGRI. Penghormatan pemerintah orde baru kepada PGRI melalui keputusan presiden no 78 tahun 1994 dengan menetapkan tanggal 25 November sebagai hari guru nasional dan diperingati sampai sekarang.

Penggunaan tanggal keramat 25 November tersebut adalah bukti nyata penghargaan pemerintah kepada PGRI. PGRI pada era presiden SBY juga menjadi garda terdepan keluarnya Undang-Undang  Nomor 14 Tahun 2005 Tentang Guru dan Dosen. Melalui UU tersebut, profesi guru menjadi profesi primadona yang diimpikan banyak orang, salah satu pendorongnya adalah tunjangan sertifikasi.

Perjuangan PGRI dalam rangka membangun bangsa Indonesia melalui pendidikan dengan ikhtiar kuat untuk terus menciptakan generasi emas masa depan bangsa Indonesia adalah bukti kesaktian PGRI. Sebagai organisasi profesi, PGRI senantiasa selalu berupaya untuk terus meningkatkan-melindungi-dan memuliakan guru yang mendasari gerak perjuagannya. Faktanya, hingga detik ini PGRI adalah organisasi profesi guru dengan jumlah anggota terbanyak se-Indonesia dengan pengurus organisasi dari tingkat pusat (PB PGRI) hingga tingkat pengurus ranting.

Namun, pepatah semakin tinggi sebuah pohon akan semakin tinggi pula hempasan angina yang menghatamnya. Tidak saja besar jumlah anggotanya dan banyak pendapatan dari iuran anggotanya namun keropos dimensi tata kelola organisasinya.

Lahirnya era reformasi membuka kran para guru untuk memiliki kebesan berserikat yang akhirya membuat pemerintah memberikan pengakuan keberadaan organisasi profesi guru yang diakui oleh Dirken GTK sejak tahun 2015 selain PGRI yaitu; Persatuan Guru Nahdlatul Ulama (Pergunu), Ikatan Guru Indonesia (IGI), Persatuan Guru Seluruh Indonesia (PGSI), Federasi Serikat Guru Indonesia (FGSI), dan Federasi Guru Independen Indonesia (FGII). Realitas tersebut tentu saja menguji kesaktian PGRI, sekaligus harus membuat organisasi tersebut terbangun dari zona nyamannya. 

Harus diakui PGRI adalah organisasi paling 'SAKTI', laksana kapal buatan Inggris yang bernama Titanic. Namun, sejarah yang harus menjadi pelajaran berharga adalah bahwa kapal besar Titanic dengan kebesaran dan kemewahannya 109 tahun yang lalu akhinya tenggelam akibat kesombongan para pelaku organisasi di dalamnya karena terbuai oleh ke-SAKTI-an kapal yang dijalnkannya. Lantas, apakah PGRI yang 'SAKTI' itu akan tenggelam seperti kapal Titanic? akan seperti Ramayana dan Giant, raksasa yang akhirnya runtuh karena ditinggalkan jamaahnya?

Tulisan ini berangkat dari analisis polemik desakan mayoritas pengurus PGRI tingkat kecamatan berdasarkan desakan anggota untuk melakukan Konferensi Luar Biasa (KLB) kepada PGRI Kabupaten Bondowoso. Desakan kuat KLB pada awalnya karena tragedi video mesum yang diduga dilakukan oleh ketua PGRI Bondowoso.

Meski pada akhirnya ketua yang belum genap setangah tahun menjabat tersebut mengundurkan diri, namun arus kuat KLB terus didengungkan oleh 14 PC PGRI (dari 23 PC PGRI se-Kabupaten Bondowoso). Banyak sekali pelanggaran AD/ART yang diikemas dalam bentuk berita acara dan ditandangani serta diberikan stempel oleh 14 PC dan dikirimkan ke PGRI Jatim. Menariknya, utusan PGRI Jatim yang akhirnya turun ke Bondowoso dengan sekian bentuk intimidasinya memberikan keseimpulan sepihak bahwa KLB tidak bisa dilakukan. 

Kejadian ini menarik untuk dilakukan analisis yang mendalam bahwasannya PGRI sebagai organisasi yang begitu besar ternyata mempunyai AD/ART yang sangat tidak demokratis. Hal itu terihat salah satunya dari aturan KLB yang tertuang dalam AD/ART PGRI pada Bab XXXIII pasal 97 pasal 2 dan 3 sebagai berikut:

Pasal 2 Konferensi Kabupaten Luar Biasa dapat diadakan:
a.    Apabila pengurus kabupaten menganggap perlu dan disetujui konferensi kerja kabupaten
b.    Atas permintaan ½ (seperdua) jumlah cabang/cabang khusus dan mewakili lebih ½ (seperdua) jumlah suara
c.    Atas permintaan pengurus provinsi
Pasal 3 Dalam jangka waktu 2 (dua) bulan sesudah salah satu dan/atau semua permintaan tersebut diterima, pengurus kabupaten wajib menyelenggarakannya.

Untuk mempermudah kajian, berikut ini penulis akan membandingkan dengan AD/ART Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII) dan AD/ART Ikatan Guru Indonesia (IGI) dengan titik fokus akomodasi KLB. 

Pasal 51 Konferensi Cabang Luar Biasa (Konfercab-LB) 
1.    Konfercab-LB merupakan forum yang setingkat dengan Konfercab.
2.    Konfercab-LB diadakan apabila terdapat pelanggaran terhadap Konstitusi (AD/ART dan /atau Peraturan Organisasi) yang dilakukan oleh pengurus cabang.
3.    Ketentuan pelanggaran Konstitusi ditetapkan oleh Mahkamah tingkat tinggi PMII, yang akan diatur dalam peraturan organisasi.
4.    Konfercab-LB diadakan atas usulan 2/3 dari jumlah komisariat yang sah.
5.    Sebelum diadakan Konfercab-LB, setelah syarat sebagaimana disebut dalam poin 2 dan 3 terpenuhi, kepengurusan Cabang didomisioner dan diambil alih oleh PB atau PB menunjuk PKC PMII sebagai pejabat sementara (Pjs), yang kemudian membentuk panitia Konfercab-LB yang terdiri dari unsur Pengurus Korcab dan Komisariatkomisariat.         

BAB XV Pasal 52

Musda Luar Biasa
1.    Musda Luar Biasa dilaksanakan bila disetujui oleh minimal 2/3 (dua per tiga) dari seluruh anggota IGI dari daerah tersebut
2.    Pelaksanaan Musda Luar Biasa dilakukan oleh dewan presidium yang dibentuk oleh pengurus wilayah
3.    Tata cara dan personal dewan presidium diatur di peraturan organisasi 

Berdasarkan aturan AD/ART PGRI yang dibandingkan dengan AD/ART PMII dan IGI tersebut di atas, terlihat dengan jelas bahwa aturan KLB dalam AD/ART PGRI begitu terlihat sangat SAKTI agar semua kepengurusan PGRI dari tingkat lokal hingga nasional terbebas dari 'takdir' lengser kepabron. Bisa dibayangkan, andaikan semua pengurus melakukan kejahatan organisasi dan melanggar semua aturan AD/ART maka kepengurusan tersebut tetap sakti mandraguna tak tergoyahkan. pernyataan lucunya, bagaimana mungkin ½ (seperdua) lebih yang ingin melakukan perubahan dengan jalan KLB harus mendesak pengurus yang mau di KLB untuk menggelar KLB???

Sungguh benar-benar aturan yang menggelikan di balik usia PGRI yang begitu sudah sangat tua, yang seharusnya lebih profesional dan demokratis. Ironisnya, organisasi level kemahasiswaan PMII dan organisasi yang baru terlahir era reformasi IGI terlihat mempunyai aturan yang jauh lebih demokratis. 

PGRI dengan zona nyamannya karena mendapatkan dukungan iuran anggota yang harus jujur diakui lebih karena diuntungkan sudah terlahir sejak lama sehingga seakan-akan menjadi satu-satunya organisasi legal dinas pendidikan malah membuat pelaku organisasi tereduksi kreatifitasnya. Seorang guru pada dasarnya tidak perlu merasa takut atau tidak nyaman dengan tidak ikut iuran bulanan PGRI, mengingat PGRI bukan satu-satunya organisasi profesi guru yang diakui oleh pemerintah seperti dijelaskan di atas.

PGRI ternyata juga tidak mampu menjaga semangat persatuan sesuai sifatnya yang unik yakni unitaristik dalam proses pemilihan pengurus PGRI khususnya tingkat kecamatan. proposisi yang tepat untuk mendeskripsikan kondisi tersebut adalah 'Tidak akan pernah guru SMP terlebih guru SMK/SMA untuk bisa menjadi ketua PC PGRI, kecuali tidak ada lagi calon dari guru/kepala SD yang mau maju’.

Proposisi tersebut lagi-lagi terlihat dari aturan AD/ART PGRI Bab XXXVI pasal 114 ayat 5 yang SAKTI bagi guru SD tersebut seperti berikut;
a.    Setiap ranting/ ranting khusus otomatis memiliki 1 (satu) suara
b.    Untuk suara berikutnya pada masing-masing ranting/ ranting khusus didasarkan atas jumlah anggota: 
1) Untuk jumlah anggota 1 s/d 20 mendapatkan tambahan 1 suara
2) Untuk jumlah anggota 21 s/d 40 mendapatkan tambahan 2 suara 
3) Untuk jumlah anggota 41 s/d 60 mendapatkan tambahan 3 suara
4) Untuk jumlah anggota lebih dari 60 mendapatkan tambahan 4 suara

Dengan format di atas, sangat tidak mungkin guru SMK/SMA bisa terpilih menjadi ketua PGRI tingkat kecamatan dan tentu saja juga sama pada tingkat kabupaten, mengingat jumlah lembaga SMK/SMA pada suatu kecamatan tidak sebanding dengan jumlah SD. Maka dari itu, saatnya para guru berbaju batik kusuma bangsa untuk bersama-sama bergerak menghidupi PGRI dengan melakukan perubahan-perubahan untuk memperkuat organisasi, dan bukan malah mencari hidup di PGRI yang akhirnya hanya nina bobok manis di atas iuran anggota PGRI. Akhirnya, semoga PGRI tidak tenggelam seperti kapal Titanic.

***

*) Oleh: Wibisono Setiawan, S.S, M.Pd, D.PEd; Dewan Pendidikan Kabupaten Bondowoso.

*) Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggung jawab penulis, tidak menjadi bagian tanggung jawab redaksi timesindonesia.co.id

***

**) Kopi TIMES atau rubrik opini di TIMES Indonesia terbuka untuk umum. Panjang naskah maksimal 4.000 karakter atau sekitar 600 kata. Sertakan riwayat hidup singkat beserta Foto diri dan nomor telepon yang bisa dihubungi.

**) Naskah dikirim ke alamat e-mail: [email protected]

**) Redaksi berhak tidak menayangkan opini yang dikirim apabila tidak sesuai dengan kaidah dan filosofi TIMES Indonesia.

**) Ikuti berita terbaru TIMES Indonesia di Google News klik link ini dan jangan lupa di follow.

Advertisement



Editor : Ronny Wicaksono
Publisher : Ahmad Rizki Mubarok

TERBARU

Togamas - togamas.com

INDONESIA POSITIF

KOPI TIMES