Peristiwa Daerah

Pengguna Lapak Kuliner Daruba Tolak Nilai Kontrak dari Kadispar Pulau Morotai

Jumat, 25 Juni 2021 - 16:18 | 32.15k
Sidik Kharie, salah satu pengguna Lapak Kuliner di Taman Kota Daruba Pulau Morotai. (FOTO: Abdul H Husain/TIMES Indonesia)
Sidik Kharie, salah satu pengguna Lapak Kuliner di Taman Kota Daruba Pulau Morotai. (FOTO: Abdul H Husain/TIMES Indonesia)

TIMESINDONESIA, MOROTAI – Pengguna lapak Kuliner di Taman Kota Daruba menolak nilai kontrak baru yang disodorkan Kepala Dinas Pariwisata (KaDispar) Pulau Morotai.

Keputusan Kadispar dinilai sangat memberatkan, mengingat pendapatan mereka masih minim akibat Pandemi Covid-19 yang terus berlangsung sehingga masih sepinya pengunjung.

Keluhan tersebut disampaikan beberapa pengguna lapak Kuliner di Taman Kota Daruba, Kecamatan Morotai Selatan, Kabupaten Pulau Morotai, Maluku Utara kepada TIMES Indonesia, Jumat (25/6/2021).

"Saya tidak paham dengan kebijakan KaDispar di masa pandemi menetapkan nilai kontrak yang sangat besar, seakan akan kuliner ini milik pribadinya, padahal pendapatan kami masih merosot jauh bila dibandingkan dengan kondisi sebelum Covid-19," ungkap Sidik Kharie, pemilik RM M Djen Kharie.

Sidik bercerita, bahwa sudah sejak lama dirinya sudah punya warung yang berlokasi di Taman Kota Daruba.

Tiba-tiba ia masuk program bantuan UMKM melalui DKP untuk pembangunan lapak Kuliner dari Kementerian Kelautan dan Perikanan yang ketika itu dipimpin oleh Menteri Kelautan dan Perikanan RI Susi Pudjiastuti.

"Waktu itu saya tanya ke Kadis Perikanan Mukhlis Baay yang menanganinya, apabila lapak ini sudah jadi apakah dikontrakkan? Jawab Kadis KP tidak mungkin Kementerian Perikanan mengontrakkan ke pengusaha kecil," ujar Sidik.

Tapi ada ketentuan atau syarat yang harus dipenuhi yaitu membayar  pajak, sehingga selama ini ia setor ke kas daerah melalui PERUSDA Rp 150 ribu per bulan bahkan nilainya berubah-ubah.

"Saya masih ingat betul di mana kata-kata Menteri KP ibu Susi, bahwa kami yang menggunakan lapak ini untuk menjual hasil tangkapan nelayan hanya membayar pajak 10 persen, tapi saat ini kok KaDispar mau kontrakkan, kerjanya hanya menyusahkan rakyat kecil," ucap ucap pelatih tinju ini.

Ia mengaku tidak paham rumus apa yang dipakai oleh Kadispar saat ini sehingga semena mena menetapkan dan mematok mereka wajib menandatangani kontrak dan membayar sebesar Rp 950 ribu per bulan.

"Dengan kondisi pandemi Covid seperti saat ini, kami ambil duit dari mana? pada prinsipnya kami semua yang berjualan di sini menolak kebijakan yang diambil oleh Kadispar Morotai," cetusnya.

Senada dengan Sidik, pemilik lapak RM Bakulu, Siti Syam Makatitta, mengatakan bahwa kebijakan yang dikeluarkan oleh Kadispar dengan menetapkan nilai kontarak sebesar itu sangat tidak relevan dan memberatkan jika dilihat dari pendapatan saat ini.

"Rp 100 ribu perhari saja itu sulit kami dapat, kadang tidak ada sama sekali, kemudian KaDispar telah mengundang kami dua kali membahas soal ini tapi dirinya tidak pernah hadir sehingga pertemuan tidak jadi dilakukan," paparnya.

Ia mengaku seharusnya Dinas Pariwisata survei terlebih dahulu terkait pendapatan pemilik lapak kuliner Taman Kota Daruba, baru dibicarakan bersama.

"Bukan langsung tetapkan nilai kontrak yang menurut saya sangat tidak masuk akal karena jauh dari pendapatan dan kami bersepakat menolaknya," ujarnya.

Sementara Nurizka pemilik lapak RM Kana Ni Odo mengusulkan pembayaran pajak dilanjutkan melalui kasir sebagaimana yang pernah dilakukan PERUSDA Pulau Morotai demi meringankan pelapak lain yang pendapatannya di bawah rata-rata karena kadang satu hari full tidak ada pengunjung.

"Kalau kembali pada pembayaran pajak makanan melalui kasir dihitung Rp 30 ribu perhari, maka dari sembilan lapak yang ada mereka bisa dapat Rp 270 ribu perhari, ini sudah menguntungkan Dispar dan kami juga tidak merasa terbebani. Kalau Rp 950 ribu perbulan sangat berat," terangnya.

Menurutnya, lapak yang agak ramai pengunjung cuman dua lapak yang berada di ujung pertama dan kedua di pintu masuk, sementara lapak yang ketiga dan seterusnya tidak lagi ramai semenjak Covid-19 ini, per hari saja kadang tidak ada pendapatan sama sekali.

Selain itu, jika memang lapak di kuliner Daruba sudah dikelola oleh Dinas Pariwisata maka alangkah baiknya dibenahi dulu, karena sudah banyak kursi meja yang rusak.

Kemudian ada usulan dari pengunjung kalau boleh dibuatkan juga pintu masuk bagian tengah kawasan kuliner, agar lapak yang di deretan tengah sampai ujung akhir bisa kebagian pengunjung, baru bicara kontrak.

"Untuk nilai kontrak kami pengguna lapak masih bisa pahami kalau disodorkan Rp 300 ribu perbulan, itu pun harus dibicarakan. Malah ini dipatok Rp 950 ribu perbulan, sebagaimana yang ditetapkan Kadispar kami tidak setuju dan menolaknya karena sangat mahal," tegasnya.

Sementara KaDispar Pulau Morotai Ida R Arsad, saat dikonfirmasi mengaku belum mengetahui kalau pengguna lapak di Kuliner Taman Kota Daruba menolak nila kontrak yang disodorkan dan baru tahu saat dikonfirmasi TIMES Indonesia.

"Saya belum dapat info kalau penguna lapak menolak nila kontrak tersebut, baru tahu ini. Kalaupun demikian akan saya komunikasikan kembali ke pimpinan yang lebih tinggi (Bupati) soal penolakan tersebut. Karena penguna lapak di kuliner yang lain tidak menolaknya," ungkapnya.

Menurut KaDispar, alasan minim pendapatan yang disampaikan pengguna lapak kuliner taman kota adalah kesalahan mereka sendiri yang mana selama ini menjual makan terlalu mahal dan tidak miliki harga menu yang tetap, terutama ikan, sehingga pengunjung memilih makan di tempat lain.

"Kalau kita lihat rumah makan lain di luar kuliner taman kota Daruba seperti di seputaran Desa Darame sangat ramai pengunjung, karena mereka menyesuaikan harga sehingga mudah menarik pengunjung, jadi ini soal manajemen," ujarnya.

Disebutkan KaDispar alasan ditetapkan besaran nilai kontrak tersebut karena dilihat tempat Kuliner Daruba berada di pusat kota dan sangat strategis tempatnya bila dibandingkan dengan kuliner yang lain.

Dan, ketidakhadirannya dalam pertemuan dengan pengguna lapak karena sudah mempercayakan Kabid Dispar yang mengurusnya. Nilai kontrak Rp 950 ribu perbulan yang ditetapkan Dispar karena dilihat dari per meter persegi lokasi yang ditempati.

"Kemudian melihat lokasinya sangat strategis dan ramai pengunjung bila dibandingkan dengan kuliner di tempat lain. Jadi soal penolakan ini akan dibicarakan kembali dengan pengguna lapak, karena saya belum dapat laporan dari Kabid staf saya," harap orang nomor satu di Dispar Pulau Morotai.

Soal harga makanan yang dinilai mahal oleh Kadispar Ida R Arsad dibantah para pemilik lapak."Tidak benar kalau kami jual makanan mahal, bahkan di sini harga ikan hanya Rp 25-30 ribu per paket, bahkan ada yang 15 ribu," tegas Sidik dibenarkan pemilik lapak lain di Taman Kota Daruba, Pulau Morotai. (*)

**) Ikuti berita terbaru TIMES Indonesia di Google News klik link ini dan jangan lupa di follow.

Advertisement



Editor : Ronny Wicaksono
Publisher : Sofyan Saqi Futaki

TERBARU

Togamas - togamas.com

INDONESIA POSITIF

KOPI TIMES