Kopi TIMES

Birokrasi Adaptif di Era Digital

Kamis, 24 Juni 2021 - 14:02 | 84.98k
Penulis H Rudi Irawan, S Sos, M Si (PNS Pemprov Sumsel dan Ketua IKA FISIP Unsri)
Penulis H Rudi Irawan, S Sos, M Si (PNS Pemprov Sumsel dan Ketua IKA FISIP Unsri)

TIMESINDONESIA, PALEMBANG – Perkembangan teknologi saat ini sedang mengalami disrupsi. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) disrupsi diartikan hal yang tercabut dari akarnya atau dikenal dengan perubahan yang mendasar atau fundamental. Disrupsi teknologi dikenal sebagai era terjadinya inovasi dan perubahan besar-besaran secara fundamental karena hadirnya teknologi digital. Istilah disrupsi pada dasarnya sudah dikenal sejak lama, guru besar Harvard Business School yaitu Clayton M. Cretensen mempopulerkannya kembali melalui buku yang berjudul The Inovvator Dilemma.

Christensen (1997) dalam Jurnal Transformative 2021 "Birokrasi, Disrupsi, dan Anak Muda" menyebut Disrupsi merupakan istilah untuk menjelaskan adanya sebuah perubahan besar yang mengubah tatanan. Cara untuk menanggulangi kemunculan disrupsi yaitu dengan melakukan inovasi.

Mengambil istilah Talcott Parson, disrupsi sebagai perubahan sistem yang sedang terjadi dan menuntut adanya adaptasi dengan perubahan tersebut. Saat ini Indonesia sedang menghadapi perubahan ini. Akibat pandemi disrupsi teknologi mengalami percepatan dan tantangan inilah yang harus dihadapi saat ini. Sebelum membahas mengenai Penguatan Birokrasi di Era Disrupsi digital terlebih dahulu kita lihat dua masalah besar yang dihadapi bangsa Indonesia.

Pertama, Pada 2030-2040, Indonesia diprediksi akan mengalami masa bonus demografi, yakni jumlah penduduk usia produktif (berusia 15-64 tahun) lebih besar dibandingkan penduduk usia tidak produktif (berusia di bawah 15 tahun dan diatas 64 tahun). Pada periode tersebut, penduduk usia produktif diprediksi mencapai 64 persen dari total jumlah penduduk yang diproyeksikan sebesar 297 juta jiwa. Kondisi ini menuntut bangsa Indonesia dapat memetik manfaat maksimal dari bonus demografi yakni ketersediaan sumber daya manusia (SDM) usia produktif yang melimpah.

Kedua, usia produktif tersebut melek teknologi. Berdasarkan data dikutip dari Kompas, Selasa (23/2/2021) pengguna internet di Indonesia pada awal 2021 ini mencapai 202,6 juta jiwa. Jumlah ini meningkat 15,5 persen atau 27 juta jiwa jika dibandingkan pada Januari 2020 lalu. Total jumlah penduduk Indonesia sendiri saat ini adalah 274,9 juta jiwa. Ini artinya, penetrasi internet di Indonesia pada awal 2021 mencapai 73,7 persen.

HootSuite menggambarkan pengguna internet berusia 16 hingga 64 tahun diketahui memiliki beberapa perangkat elektronik berbeda, termasuk telepon genggam (baik smartphone maupun non-smartphone), laptop/PC, tablet, smartwatch, dan sebagainya. Pengguna internet Indonesia (usia 16 hingga 64 tahun) yang memiliki telepon genggam adalah 98,3 persen. Tak ayal, telepon genggam juga tampil menjadi perangkat favorit pengguna internet untuk mengakses internet. Tercatat ada 96,4 persen atau 195,3 juta orang Indonesia yang mengakses di internet melalu ponsel genggamnya.

Revolusi industri terkini 4.0 atau generasi keempat mendorong sistem otomatisasi dan integrasi di dalam semua proses aktivitas. Teknologi internet yang semakin masif tidak hanya menghubungkan jutaan manusia di seluruh dunia, tetapi juga telah menjadi basis bagi transaksi perdagangan dan transportasi secara online (Ahmad Yusril Wafi, 2019).

Ada beberapa hal yang terjadi dalam dalam era disrupsi teknologi  yakni terbukanya peluang bisnis baru bidang jasa, layanan lebih mudah diakses dan dipilih karena serba online dan serba smart, pintar, lebih menghemat waktu dan lebih akurat. Situasi ini menandakan perubahan sangat cepat, fundamental dengan mengacak-acak pola tatanan lama untuk menciptakan tatanan baru. Dampak dari disrupsi juga lahirnya model baru yang lebih inovatif dan disruptif. Cakupan perubahannya tidak hanya dunia bisnis, perbankan tetapi juga transportasi, sosial masyarakat, pendidikan tetapi pemerintahanan.

Era digital ini juga mendorong terjadinya digitalisasi sistem dalam tatanan birokrasi. Revolusi industri 4.0 ini telah mulai mendorong  pemanfaatan kecerdasan buatan, mesin pembelajar dan otomatisasi dalam menghasilkan layanan yang cepat dalam birokrasi. Untuk itu birokrasi adapti menjadi keniscayaaan untuk mewujudkan birokrasi modern. Apalagi kedepan tantangan manusia Indonesia kedepan sebagai manusia produktif dan melek teknologi menuntut pelayanan birokrasi yang cepat dan hemat.

Max Weber (1978) dalam perspektif teorinya tentang birokrasi modern yang rasional diperlukan untuk ekonomi modern. Apa ciri-ciri dan prinsip birokrasi modern ini? Weber menggunakan konsepsi ”Type Ideal” untuk menjawab pertanyaan ini. Menurut Weber suatu birokrasi modern mempunyai ciri-ciri dan prinsip yakni (1) prinsip kegiatan birokrasi dilaksanakan secara teratur dengan batas-batas otoritas yang jelas. Ini artinya hadirnya teknologi modern dalam birokrasi untuk menjawab bahwa birokrasi untuk memberikan keterukuran dan kepastian dalam pelayanan karena masyarakat era desrupsi membutuhkan layanan yang cepat, terukur, hemat biaya dan waktu.

(2) Prinsip hirarki kewenangan jelas, ada standar layanan yang diberikan. Adaptasi Teknologi diharapkan mampu membuka peluang adanya standar dan kewenangan yang jelas secara otomatisasi. Kita mulai bersyukur saat ini telah ada seperti pelayanan terpadu satu pintu atau mall pelayanan yang terintegrasi secara sistem sebagai bentuk birokrasi modern namun diprediksi bisa berkembang lebih modern dengan prinsip smart digital.

(3) Ada aturan sistem yang jelas tentang perilaku, otoritas, dan tanggung jawab pegawai. Dengan teknologi, integrasi sistem birokrasi dapat terbentuk dan dapat terpantau kinerja SDM secara terukur dan tersistem. Misalkan saat ini telah berkembang penerapkan aplikasi E - RK  (elektronik Remunerasi dan Kinerja) terhadap Organisasi Perangkat Daerah (OPD) di Pemkot Bandung dan Pemkab Musi Rawas.  Melalui aplikasi ini maka terpantau kinerja ASN sesuai indikator penilaian perilaku terdiri atas penilaian integritas, kepemimpinan, pelayanan, komitmen, disiplin dan kerja sama.

(4) Prinsip pegawai direkrut atas dasar merit system (profesionalitas) dan hak pejabat mendapat gaji, reward dan pensiun berdasarkan struktur pengembangan karier yang jelas dan profesional. Disrupsi era digital, SDM yang kompetitif adalah SDM mampu beradaptasi dengan perkembangan teknologi. Spesialisasi era digital akan membangun budaya birokrasi profesional. Mereka yang mampu beradaptasi pada prinsip sistem birokrasi modern maka berhak akan gaji dan reward (tunjangan kinerja) secara layak.

Mengapa Birokrasi Adaptif?

Untuk menghadapi disrupsi era digital  dimana masyarakat melek teknologi pada masa akan datang, maka sudah sangat ideal menyiapkan birokasi berbasis digital sehingga tidak semakin tertinggal. Yang perlu dilakukan yakni menyiapkan sumberdaya yang handal, inovatif, dan berkualitas untuk dapat menghadapi lompatan besar revolusi industri atau dikenal birokrasi adaptif.

Modal besar bakal dimiliki bangsa Indonesia dimasa akan datang yakni bonus demografi dan perkembangan disrupsi teknologi yang menuntut SDM produktif dan inoviatif untuk mendukung pengembangan industri disrupsi digital. Untuk mewujudkan tersebut harus harus diimbangi dengan birokrat yang adaptif, smart dan profesional.

Merujuk pada Road Map Reformasi Birokrasi, mimpi birokrasi Indonesia adalah mencapai fase birokrasi kelas dunia, birokrasi yang memiliki semangat pemerintahan yang dinamis (dynamic governance) yang kuat. Catatan yang perlu dijadikan pertimbangan berdasarkan data Kementerian Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi (PAN-RB) dari 4,28 Juta ASN yang dimiliki Indonesia, hampir 40% merupakan tenaga administratif.

Masalah menjadi lebih kompleks, seperti yang ditinjau oleh Yanuar Nugroho (2020), seperlima ASN Indonesia berusia di atas 51 tahun, usia yang sulit untuk mengikuti gerak zaman yang dinamis pada perkembangan disrupsi.

Solusinya, Percepat meregenerasi ASN muda yang adaptif dan inovatif. Kemudian, persiapkan perangkat sistem birokrasi digital. Kabar  baik sejumlah OPD telah mulai adaptif dengan perkembangan ini seperti adanya e-samsat, e -RK dan lain sebagainya. Kedepan  ini perlu diperluas guna menghadapi disrupsi era digital. Terakhir, Kemauan Politik (Political Will) birokrasi Adaptif.

Percepatan birokrasi adaptif disrupsi ini membutuhkan kemauan politik dari top leader (pemimpin) yang menggerakkan birokrasi. Kemauan politik ini menjadi dasar perubahan wajah birokrasi di era disrupsi. Tanpa kemauan politik elit birokrasi adaptif bisa terhambat. Atas dasar itulah, birokrasi dapat dikatakan sebagai sebuah proses maupun sistem yang dibentuk oleh negara secara rasional untuk menjamin mekanisme dan sistem berkerja secara teratur, pasti dan mudah untuk dikendalikan (Yuningsih, 2019).

Blau & Meyer (1971) juga menjelaskan birokrasi sebagai sebuah sistem ataupun kontrol di dalam sebuah organisasi atas dasar aturan-aturan sistematis dan rasional. Birokrasi adaptif sangat penting dalam ranah penyelenggaraan pelayanan publik. Birokrasi adaptif tidak bisa dielakkan lagi di era Disrupsi yang didukung kemunculan teknologi yang berkembang cepat sehingga dapat membentuk pola gangguan pada sistem dalam sebuah organisasi (birokrasi) bahkan perubahan tersebut tentunya membawa dampak besar bagi kehidupan bernegara (Firman, 2015).

Dan Digital governance pemerintahan berbasis digital dapat sebagai solusi dalam kacamata sektor publik yang dapat diartikan sebagai tata kelola pemerintahan yang berbasis teknologi elektronik atau internet. Sektor publik berinovasi untuk memberikan pelayanan bagi masyarakat dengan tanpa harus bertatap muka.

Sebagai penutup, dampak dari Digital Governance melahirkan tata kelola pemerintahan yang berbeda dalam pola kerja birokrasi. Pola aktivitas birokrasi yang berbasis pada governance 4.0 mencakup pada 5 (lima) kemampuan yakni merujuk pada tata kerja yang berimplikasi pada struktur birokrasi sederhana, talent management, capacity building, pembelajaran berbasis teknologi serta Co-working space dan implementasinya membutuhkan Knowledge based Governance sebagai syarat utama dalam menciptakan sebuah perubahan dalam tubuh birokrasi.

Knowledge based governance menuntut adanya kepemimpinan yang berorientasi pada perubahan, memiliki kemampuan perencanaan yang baik dan mengedepankan partisipatif. Hal ini menjadi kekuatan dalam menjalankan pelayanan di sektor publik. (*)

 

*) Penulis H Rudi Irawan, S Sos, M Si., PNS Pemprov Sumsel dan Ketua IKA FISIP Unsri. (Nomor WA Penulis: +62 813-7793-8089)

*) Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggung jawab penulis, tidak menjadi bagian tanggung jawab redaksi timesindonesia.co.id

***

**) Kopi TIMES atau rubrik opini di TIMES Indonesia terbuka untuk umum. Panjang naskah maksimal 4.000 karakter atau sekitar 600 kata. Sertakan riwayat hidup singkat beserta Foto diri dan nomor telepon yang bisa dihubungi.

**) Naskah dikirim ke alamat e-mail: [email protected]

**) Redaksi berhak tidak menayangkan opini yang dikirim apabila tidak sesuai dengan kaidah dan filosofi TIMES Indonesia.

**) Ikuti berita terbaru TIMES Indonesia di Google News klik link ini dan jangan lupa di follow.

Advertisement



Editor : Wahyu Nurdiyanto
Publisher : Lucky Setyo Hendrawan

TERBARU

Togamas - togamas.com

INDONESIA POSITIF

KOPI TIMES