Kopi TIMES

Menyoal Rencana Pemerintah terhadap Kebijakan PPN Sembako

Rabu, 23 Juni 2021 - 04:04 | 85.47k
Matheus Gratiano Mali, MPA Dosen Kebijakan Publik – FISIPOL; Universitas Widya Mataram (UWM) Yogyakarta.
Matheus Gratiano Mali, MPA Dosen Kebijakan Publik – FISIPOL; Universitas Widya Mataram (UWM) Yogyakarta.

TIMESINDONESIA, YOGYAKARTA – Beredarnya informasi terkait rencana pemerintah terhadap pemasangan tarif Pajak Pertambahan Nilai untuk sejumlah barang kebutuhan pokok alias PPN sembako yang muncul ketengah publik beberapa hari terakhir ini terasa sangat mengejutkan di tengah himpitan ekonomi masyarakat Indonesia sebagai akibat dari pandemi Covid-19 yang melanda dan belum kunjung berakhir. 

Media ramai memberitakan bahwa PPN terhadap sembako tersebut diketahui berdasarkan bocoran draf perubahan kelima atas Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan. Aturan tentang PPN sebelumnya telah diubah dalam UU Cipta Kerja, yang kemudian menggantikan sejumlah ketentuan dalam UU Nomor 8 Tahun 1983 terkait PPN. Dalam UU Cipta Kerja, selanjutnya diatur bahwa perubahan Pasal 4A UU Nomor 8 Tahun 1983 masih memasukkan "barang kebutuhan pokok yang sangat dibutuhkan oleh rakyat banyak" dikecualikan dari PPN. Namun, Pasal 44E draf perubahan kelima UU Nomor 6 Tahun 1983 itu menghapus sembako dikecualikan dari pengenaan PPN. 

Seperti yang semula diatur dalam Peraturan Menteri Keuangan nomor 116/PMK.010/2017 barang-barang tersebut sebelumnya tidak dikenakan PPN karena menyangkut kebutuhan hidup orang banyak. Sejumlah bahan kebutuhan pokok yang kemudian direncanakan akan dikenakan tarif PPN antara lain, beras dan gabah, jagung, sagu, kedelai, garam konsumsi, daging, telur, susu, buah-buahan, sayur-sayuran, ubi-ubian, bumbu-bumbuan, dan gula konsumsi. 

Mengapa Sembako Kena Pajak ?

Berdasarkan dasar hukum utama yang digunakan untuk penerapan PPN di Indonesia yakni Undang-Undang No. 8 Tahun 1983 berikut perubahannya, yaitu Undang-Undang No. 11 Tahun 1994, Undang-Undang No. 18 Tahun 2000, dan Undang-Undang No. 42 Tahun 2009, Pajak Pertambahan Nilai (PPN) merupakan jenis pajak tidak langsung untuk disetor oleh pihak lain yang bukan merupakan penanggung pajak. Pajak harus dikenakan pada setiap proses produksi dan distribusi, tetapi jumlah pajak yang terutang dibebankan kepada konsumen akhir yang memakai produk tersebut. Indonesia saat ini menganut sistem tarif tunggal untuk PPN, yaitu sebesar 10 persen. 

Ditengah kondisi pandemi saat ini di Indonesia, penerimaan negara sangat tertekan sementara disisi lain belanja negara juga terus meningkat tajam, oleh sebab itu optimalisasi pajak yang diarahkan dapat menjadi sebuah stimulus. Secara bersamaan pemerintah pun menyiapkan alternatif kebijakan yang dianggap mampu menjamin keberlanjutan negara agar tetap dapat terus memenuhi kebutuhan rakyat di masa yang datang.

Hal penting yang dilakukan oleh pemerintah saat ini adalah memastikan rencana pengenaan PPN pada sejumlah kebutuhan bahan pokok alias sembako demi keadilan dan kesejahteraan masyarakat. Hal ini dikarenakan selama ini yang terjadi adalah pemberlakukan PPN 0 persen justru juga dinikmati oleh kelompok menengah atas pada sejumlah kelompok produk barang dan jasa tertentu termasuk sembako.

Argumen yang muncul ke publik adalah sesuai asumsi pemerintah bahwa negara terlalu banyak memberikan pengecualian PPN. Sebagai contoh misalnya beras premium maupun beras dari Bulog, yang saat ini sama-sama tidak dikenakan PPN, begitu juga dengan daging biasa dengan daging wagyu, atau daging ayam yang semuanya tidak dikenakan PPN namun pada kenyataanya barang-barang tersebut juga banyak dikonsumsi oleh kelompok orang kaya. Daya beli konsumen jelas berbeda baik dari jenis maupun harga produk barang tersebut sehingga dianggap perlu dilakukannya proses pemungutan pajak yang selektif serta penentuan target yang tepat agar mampu secara efektif melakukan redistribusi dari kelompok kaya kepada orang miskin secara adil. 
 
Kebijakan yang Cenderung Kontraproduktif 

Rencana kenaikan PPN adalah sebuah alternatif kebijakan yang cenderung kontraproduktif dan dirasakan seolah tidak berpihak dengan masyarakat luas di tengah kondisi pandemi dan ketidakstabilan ekonomi Indonesai maupun global yang belum selesai. Dalam proses pemulihan ekonomi saat ini pemerintah diharapkan lebih fokus dengan pembuatan database yang valid dan terintegrasi, sehingga orientasinya adalah untuk ekstensifikasi dan mengurangi shadow economy yang menjadi sumber masalah tidak optimalnya pemungutan pajak. Hal ini perlu terus diupayakan untuk secara konsisten agar kondisi saat ini tidak mengganggu integritas dan stabilitas sistem perekonomian dan sistem keuangan. Selanjutnya akan mampu mendorong kenaikan pemasukan bagi negara, menjaga keberlanjutan penerimaan dan memberikan keadilan kepada masyarakat.

Dengan demikian, fungsi pajak akan semakin lebih optimal, selain sebagai pembuat anggaran yang memiliki tujuan menyeimbangkan pengeluaran negara dengan pendapatan negara, pengumpul uang buat negara, pengatur ekonomi dan sebagai redistribusi pendapatan yang berkeadilan yakni berfungsi menyesuaikan dan menyeimbangkan pembagian pendapatan demi kesejahteraan masyarakat. Pembuatan data base yang valid dan terintegrasi mengarah kepada peran pemerintah yang lebih berorientasi jangka panjang dibandingkan dengan sekedar pilihan untuk menaikkan tarif PPN yang cenderung semakin membebani masyarakat saat ini. 

Mengganggu Psikologi Pasar 

Di sisi lain, terlihat adanya gejolak pasar sejak isu sembako dikenakan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) merebak di tengah masyarakat. Efek PPN ini nampak dari beberapa komoditas, mengakibatkan reaksi publik khususnya pedagang yang cukup keras dan kuat dalam melakukan penolakan.

Psikologi pasar menjadi terganggu diakibatkan oleh isu yang berkembang tersebut. Pemerintah harus mengambil tindakan tegas untuk menghentikan beredarnya isu yang semakin meluas serta berita yang belum pasti tentang adanya rencana pemerintah dalam membuat rancangan sebuah kebijakan khususnya rancangan peraturan tentang pajak sembako tersebut dan mampu melakukan komunikasi publik yang tepat kepada seluruh pihak agar tidak menimbulkan distorsi informasi maupun informasi yang tidak utuh yang terus menyebar ditengah masyarakat yang mengakibatkan terjadinya kepanikan dan kegaduhan. 

Bangsa ini tentu saja sangat membutuhkan banyak pemasukan dari pajak untuk kebutuhan memenuhi tuntutan belanja negara yang semakin membengkak karena krisis Covid-19, akan tetapi hal ini pula kemudian tidak harus dibebankan kepada bahan pangan pokok masyarakat (PPN sembako), karena kebutuhan pangan adalah kebutuhan dasar bagi seluruh rakyat Indonesia yang tentu saja akan berdampak yang sangat besar pula bagi persoalan lainnya terkait daya beli dan keberlangsungan serta kestabilan ekonomi.

***

*)Oleh: Matheus Gratiano Mali, MPA Dosen Kebijakan Publik – FISIPOL; Universitas Widya Mataram (UWM) Yogyakarta.

*) Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggung jawab penulis, tidak menjadi bagian tanggung jawab redaksi timesindonesia.co.id

***

**) Kopi TIMES atau rubrik opini di TIMES Indonesia terbuka untuk umum. Panjang naskah maksimal 4.000 karakter atau sekitar 600 kata. Sertakan riwayat hidup singkat beserta Foto diri dan nomor telepon yang bisa dihubungi.

**) Naskah dikirim ke alamat e-mail: [email protected]

**) Redaksi berhak tidak menayangkan opini yang dikirim apabila tidak sesuai dengan kaidah dan filosofi TIMES Indonesia.

**) Ikuti berita terbaru TIMES Indonesia di Google News klik link ini dan jangan lupa di follow.

Advertisement



Editor : Faizal R Arief
Publisher : Rizal Dani

TERBARU

Togamas - togamas.com

INDONESIA POSITIF

KOPI TIMES