Kopi TIMES Universitas Islam Malang

Aku Mencintai Selamanya

Selasa, 22 Juni 2021 - 11:14 | 30.83k
Abdul Wahid, Dosen Program Pascasarjana Universitas Islam Malang (UNISMA), penulis buku  dan PP HTN/HAN.
Abdul Wahid, Dosen Program Pascasarjana Universitas Islam Malang (UNISMA), penulis buku  dan PP HTN/HAN.
FOKUS

Universitas Islam Malang

TIMESINDONESIA, MALANG – Saat kapanpun dan dimanapun dalam kehidupan berbangsa ini, idealitasnya apapun ucapan orang yang berlawanan dengan ideologi Pancasila, jawaban kita sebagai subyek bangsa yang berbeda dengannya adalah “aku akan tetap mencintai selamanya”. Kemantapan hati dan sikap dalam mencintainya ini, tentulah identic dengan berjuta rakyat negeri ini yang sangat kuat mencintai ideologinya juga.

Memang faktanya, selama ideologi Pancasila ini dijadikan “imam” dalam konstruksi kehidupan bermasyarakat dan bernegara di republic ini, secara langsung atau tidak langsung, ada sejumlah orang atau kelompok yang tidak mencintainya, dan bahkan memusuhi.

Permusuhan yang ditunjukkan bukan hanya berbentuk melecehkannya, tetapi juga bermaksud menggantinya dengan ideologi atau pemahaman lain, yang untuk mewujudkannya ini dilakukan dengan menciptakan ragam kekacauan seperti terorisme  dan radikalisme atau memproduk banyak ide-ide yang bersifat ajakan pada rakyat untuk memusuhi Pancasila. Demi mewujudkan permusuhannya pada ideologi Pancasila, mereka hadirkan petaka dimana-mana.

INFORMASI SEPUTAR UNISMA DAPAT MENGUNJUNGI www.unisma.ac.id

Dalam sejumlah kasus teroris yang terjadi di negeri ini,  kita bisa membacanya, bahwa ulah teroris  telah meninggalkan dampak mengerikan, sehingga wajar jika kutukan harus dialamatkan pada pelakunya. Teroris ini merupakan kumpulan produsen dehumanisme yang membuat manusia (korban) jauh lebih buruk dan rendah statusnya dibandingkan dengan binatang.

Dalam ranah masyarakat yang mencintai Pancasila, perbedaan (keragaman) paham, etnis, agama, politik, budaya, dan lainnya, antara seseorang atau sekelompok orang dengan seseorang atau sekelompok orang lainnya, idealnya tidak dijadikan sebagai dalih memberlakukan dan membenarkan  radikalisme, pasalnya keragaman ini merupakan realitas kesejarahan yang dijalani oleh manusia dan bangsa manapun di muka bumi ini.

Sayangnya, para teroris termasuk kelompok eksklusif, yang menempatkan orang, kelompok, atau pemeluk ideologi yang tidak seafiliasi dengan dirinya sebagai “setan-setan” atau para baksil yang harus diberantas. Dalam logikanya, mereka diperlakukannya sebagai sekumpulan manusia yang tidak berguna dan hanya menjadi penyebar kehancuran di muka bumi dan ketidakadilan, sehingga pantas divonis mati dengan cara apapun. Misalnya: belum lama ini diberitakan, bahwa terdapat setidaknya 10 orang terduga teroris yang ditangkap pihak berwenang. Mereka terduga teroris yang akan meledakkan tempat-tempat ibadah.

Logika teroris global sudah memberlakukan itu. Seperti ditulis oleh Mukhayyadin Munif (2010), peneliti  masalah teroris yang mengompilasikan strategi terorisme global, bahwa teroris tidak hanya berhenti di satu tempat, satu kelompok sosial, atau beberapa kelompok agama, tetapi mereka terus mencari dan memburu sebagau para gerilyawan ideologis yang menciptakan perang sembunyi-sembunyi, yang kesemua targetnya dianggap sudah seharusnya menemui ajal.

INFORMASI SEPUTAR UNISMA DAPAT MENGUNJUNGI www.unisma.ac.id

Para teroris itu tidak mempertimbangkan kehadiran manusia lain dalam skema dan target operasionalisasinya. Terbukti, yang diutamakan oleh teroris adalah  bagaimana bom diledakkan atau instrumen terorisme bisa dilaksanakan dengan tepat, meski berapapun jumlah nyawa manusia menjadi korbannya.  Bukan berapa banyak nyawa manusia yang harus menjadi korbannya, tetapi  berapa banyak target-target penghancuran dan pembumihangusan bisa diwujudkan, sehingga misi mendirikan negara dengan ideologi baru bisa terbentuk (terwujud).

Mantan presiden RI, BJ Habibie pernah menulis tentang terorisme global, perkembangan teknologi canggih dalam bidang informasi, komunikasi, peledak (explosive) dan transportasi telah meningkatkan dampak dan keberhasilan aksi terorisme. Banyak aktivitas teroris di dunia diilhami dan dipengaruhi oleh gerakan teror abad ke-19 di Eropa, yang menyasar perubahan politik radikal, tidak memihak kepentingan masyarakat luas dan bersifat anarkistis.

 Perbedaan terorisme masa kini dari terorisme masa lalu adalah sekarang korban masyarakat sipil lebih banyak dan luas karena teroris dengan sengaja merekayasa, “mengideologisasi?  dan melaksanakan teror secara acak di mana prilaku teror lebih membidik lokasi dengan kesibukan tinggi atau dipadati banyak orang.

Selain itu, terorisme sekarang menjadi prasarana gerakan atau rentetan tuntutan organisasi politik berideologis atau meyakini kalau yang dilakukannya sudah di jalan kebenaran agama. Untuk menciptakan akselerasinya, perkembangan teknologi seperti senjata dan sistem persenjataan serba automatis, bahan ledakan yang sangat kompak dengan pengendalian jarak jauh, akan memperkuat mobilitas, ketepatan waktu dan kedahsyatan kerusakan akibat tindakan kekerasan berencananya, yang ditopang ruh ideologis. Jika demikian kemajuan teknologi persenjataan yang digunakan oleh teroris, maka kapabilitas instrumen negara di bidang kemananan seperti badan inteljen benar-benar tereksasminasi. 

INFORMASI SEPUTAR UNISMA DAPAT MENGUNJUNGI www.unisma.ac.id

Dengan jaringan terorganisir yang profesional, kemampuan intelektualitas memadai, ideologi dan agama yang eksklusif, dan dukungan persenjataan canggih, jelas menjadi tantangan setiap subyek negara yang benar-benar mencintai Pancasila untuk membuktikan dirinya lebih kuat dibandingkan dengan teroris itu.

Selain itu, yang bisa dijadikan obyek bacaan secara umum oleh setiap pecinta  atau pembelajar Pancasila, adalah sikap militan para teroris dalam menjalankan organisasinya. Mereka adalah ”pejuang-pejuang” dalam organisasi terorismenya, yang rela mati demi keyakinan atas gerakan yang dikonstruksinya. 

Dari ranah tersebut, yang bisa kita jadikan sebagai salah satu obyek pembelajaran ”berideologis” adalah sikap militannya  (teroris lokal hingga global) dalam meyakini kebenaran ideologi gerakannya. Boleh jadi, mereka jauh lebih taat dalam membela organisasi dan meyakini kebenaran ideologi terorismenya dibandingkan kita yang sering berumpah ”mencintai” atau suk berjanji membela Pancasila sampai mati.

Mereka itu taat pada perintah pemimpin, layaknya pemimpin ini sebagai sumber ”wahyu” yang wajib dikiblatinya secara mutlak, di samping sang pemimpinnya ini juga mampu meyakinkan pada anak buahnya kalau manajemen dan gaya kepemimpinanya berpegang teguh pada kebenaran, keadilan, kejujuran, dan amanat. Mereka memberi contoh riil dalam membangun, beraksi, atau membumikan ideologi dalam gerakan.

Kalau teroris bisa seperti itu, kenapa kita sebagai subyek bangsa tidak mempunyai sikap militan dalam mencintai ideologi Pancasila? Kenapa kita tidak bisa membangun mental menyemaikan cinta terbaik demi marwah negeri ini, khususnya dengan menunjukkan sikap bernyali tinggi dalam melawan segala bentuk ancaman dan gerakan terorisme yang bermaksud mencabik-cabik ideologi Pancasila?

INFORMASI SEPUTAR UNISMA DAPAT MENGUNJUNGI www.unisma.ac.id

*)Penulis: Abdul Wahid, Dosen Program Pascasarjana Universitas Islam Malang (UNISMA), penulis buku  dan PP HTN/HAN.

*)Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggungjawab penulis, tidak menjadi bagian tanggungjawab redaksi timesindonesia.co.id

**) Ikuti berita terbaru TIMES Indonesia di Google News klik link ini dan jangan lupa di follow.

Advertisement



Editor : Dhina Chahyanti
Publisher : Rochmat Shobirin

TERBARU

Togamas - togamas.com

INDONESIA POSITIF

KOPI TIMES