Kopi TIMES

Dampak Psikologis Jangka Panjang pada Kasus Perkawinan Anak

Selasa, 22 Juni 2021 - 08:45 | 84.55k
Dr. Ike Herdiana, M.Psi.,Psikolog; Dosen Fakultas Psikologi Universitas Airlangga Surabaya.
Dr. Ike Herdiana, M.Psi.,Psikolog; Dosen Fakultas Psikologi Universitas Airlangga Surabaya.

TIMESINDONESIA, SURABAYA – Menurut data Bappenas (2020), dalam kurun waktu 10 tahun terakhir praktik perkawinan anak di Indonesia mengalami penurunan sebanyak 3,5 persen. Namun dijelaskan bahwa penurunan tersebut masih tergolong lambat sehingga diperlukan upaya yang sistemis dan terpadu untuk mencapai target sebesar 8,74 persen pada tahun 2024 dan menjadi 6,94 persen pada tahun 2030. UNICEF (2020) menyebutkan bahwa meski menurun, jumlah perkawinan anak di Indonesia masih mengukuhkan Indonesia menjadi negara kedua dengan jumlah tertinggi perkawinan anak di Asia Tenggara setelah Kamboja.

Sementara itu, data Badan Pusat Statistik (BPS) mengenai Profil Kesehatan Ibu dan Anak menunjukkan bahwa pada tahun 2020, usia perkawinan di bawah usia 15 tahun sebanyak 4.5 persen dan di bawah umur 18 tahun sebanyak 18.5 persen. Seperti yang kita ketahui bahwa tahun 2020, Indonesia mengalami pandemic covid-19.

Data tersebut membuka mata kita bahwa selama pandemic, perkawinan anak justru semakin marak. Dispensasi perkawinan anak pada tahun 2020 sebanyak 64.211, naik tiga kali lipat dari tahun 2019 sebanyak 23.126 (Komnas Perempuan, 2021). Dispensasi pernikahan diajukan karena individu yang akan menikah berada pada usia dini. 

Realitasnya, hukum di Indonesia telah mengatur batasan usia dalam melaksanakan perkawinan. Pada awalnya, usia minimal perkawinan perempuan adalah 16 tahun, namun Undang-Undang No. 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak mengatur bahwa seseorang yang masih berusia di bawah 18 tahun masih tergolong anak.

Oleh sebab itu dengan pertimbangan UU Perkawinan harus sejalan dengan UU Perlindungan Anak, maka dibentuklah Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2019 yang telah diberlakukan sejak 15 Oktober 2019 dengan menaikan batas minimal usia kawin perempuan dari 16 tahun menjadi 19 tahun. Dengan adanya peraturan tersebut, maka usia perkawinan laki-laki dan perempuan diberlakukan sama, yakni 19 tahun. 

Mengapa selama pandemic, jumlah perkawinan anak bisa meningkat hingga 3 kali lipat? Komnas Perempuan (2020) mendeteksi adanya beberapa penyebab :  kondisi putus sekolah, tekanan ekonomi, kehamilan yang tidak diinginkan, rendahnya pemahaman tentang hak seksual dan kesehatan reproduksi, dan perkawinan dini atas nama agama.  Fenomena perkawinan dini akhir-akhir ini juga dikaitkan dengan anak-anak yang semakin intens mengkonsumsi media sosial selama pandemic.

Melalui media sosial mereka menemukan informasi tentang romantisme dan kebahagiaan sebuah perkawinan di usia dini. Maraknya glorifikasi perkawinan memuaskan rasa ingin tahu tentang hal ‘pleasure’, sehingga membuat anak-anak lebih tertarik untuk memikirkan perkawinan dibanding pendidikan yang dirasa sangat berat dijalankan selama pandemic. Glorifikasi perkawinan, ditengah kondisi tidak menentu dan masa depan yang dipandang suram, mendorong sebuah pemahaman yang kurang tepat tentang konsep perkawinan.

PANDEMI, KEMISKINAN DAN DAMPAK PERNIKAHAN ANAK

Pandemi secara nyata membuat sebagian besar orang mengalami kehidupan ekonomi yang terpuruk. Tuntutan hidup yang semakin tinggi membuat kondisi pandemic menjadi salah satu risiko bagi kelompok masyarakat rentan. Hal tersebut mendorong beberapa orangtua keluarga prasejahtera memilih untuk melepas anak-anak masuk dalam perkawinan di bawah umur. Perkawinan dipandang sebagai jalan keluar yang paling mungkin untuk melepas ‘tanggungjawab’ sebagai orangtua terhadap anak. Anak yang dikawinkan beban hidupnya akan ditanggung oleh orang lain, yaitu orang yang menikahi.

Orangtua tidak tidak menyadari bahwa keputusan mengawinkan anak memiliki beberapa dampak negatif. Dampak fisik dapat terjadi akibat organ reproduksi anak belum matang untuk hubungan seksual, hamil dan melahirkan. Apalagi dengan akses dan pengetahuan tentang alat kontrasepsi yang terbatas membuat anak belum dapat mengendalikan kehamilan, sehingga berisiko pada kematian. Perkawinan anak juga membuat anak menghadapi risiko putus sekolah, yang menjadikannya kehilangan masa depan.

Anak juga tidak memiliki kesempatan untuk  mandiri secara finansial karena tanpa pendidikan yang baik mereka tidak akan memiliki kualitas sumber daya yang memadai. Tidak berhenti sampai disitu, anak yang menikah sangat rentan menjadi korban kekerasan dalam rumah tangga akibat tidak dapat memenuhi harapan pasangan dan lingkungannya untuk menjadi istri dan ibu yang baik. Ketidakadilan perlakuan ini semakin menguatkan anak menjadi korban pada kekerasan lain, yaitu pengabaian ekonomi atau finansial. 

Anak yang dilahirkan dari seorang ibu berusia dini, memiliki risiko mendapatkan pengasuhan yang tidak sehat, karena kehidupan emosi ibu yang kurang matang dan ketidakmampuan ibu dalam mengembangkan keterampilan pengasuhan. Kondisi demikian dapat memicu terjadinya perceraian yang tidak diinginkan, dan  menghasilkan dampak psikologis yang lebih buruk. Mereka mengalami trauma karena akumulasi pengalaman hidup yang negatif sejak mereka dinikahkan. Itulah mengapa praktik perkawinan anak merupakan pelanggaran atas hak-hak hidup anak (HAM) karena akan memberikan dampak negatif jangka panjang.

TRAUMA MENTAL JANGKA PANJANG DAN UPAYA MENGATASI 

Trauma mental akibat perkawinan anak berdampak jangka panjang. Sebuah hasil penelitian dari Strat (2011) mengungkapkan bahwa perkawinan anak di bawah umur menyebabkan beberapa gangguan psikologis yang berkaitan dengan kecemasan, depresi dan bipolar. Selain risiko gangguan mental meningkat, mereka juga mengalami trauma psikologis yang dampaknya jangka panjang. Perkawinan anak harus mendapatkan perhatian serius dari semua pihak, termasuk masyarakat.

Kesadaran untuk mengendalikan terjadinya perkawinan anak harus berangkat dari level keluarga. Kesulitan ekonomi keluarga harus diatasi dengan cara yang relevan, bukan dengan mengawinkan anak. Dalam perspektif yang lebih luas, kemiskinan merupakan persoalan multidimensi yang harus ditanggulangi bersama-sama, karena sangat terkait dengan banyak aspek yakni pendapatan, pendidikan, kesehatan, gender dan lainnya. 

Pengendalian di level keluarga juga merupakan kunci anak tidak terbuai oleh kisah manis perkawinan di media sosial. Anak-anak harus dibawa kembali kepada jalur dan orientasinya sebagai anak. Mengajak anak kembali fokus pada pendidikan, meski kondisi saat ini membuat sekolah menjadi hal yang sulit untuk dinikmati.

Orangtua tetap mengambil tanggungjawab bagi anak-anak dan melindungi hak-hak mereka, juga mengantarkan mereka untuk memiliki kehidupan yang lebih baik di masa depan. Pihak sekolah harus bergerak pada jalur yang sama, yakni memberikan edukasi tentang dampak dari perkawinan dini dan mengajak anak-anak aware dengan kesehatan reproduksi mereka.

Anak yang mengalami trauma karena perkawinan dini harus segera mendapatkan penanganan psikologis. Mereka harus didampingi dan dibantu untuk mengelola dirinya menghadapi permasalahan pelik perkawinan. Pengalaman-pengalaman traumatis tersebut harus diuraikan dengan bantuan professional melalui konseling atau terapi psikologis. Jika terdampak pada fisik harus pula mendapatkan pertolongan segera secara medis.

Keluarga dan lingkungan tempat dimana anak tinggal harus supportif dan positif, dan menganggap bahwa perkawinan yang sudah terjadi adalah tanggungjawab bersama. Begitu pula dengan masyarakat sekitar tidak harus melekatkan stigma, terutama pada anak perempuan yang menikah, karena hanya akan membuat mereka semakin terpuruk dan kehilangan kepercayaan diri untuk melangkah melanjutkan hidup.  

***

*)Oleh: Dr. Ike Herdiana, M.Psi.,Psikolog; Dosen Fakultas Psikologi Universitas Airlangga Surabaya.

*) Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggung jawab penulis, tidak menjadi bagian tanggung jawab redaksi timesindonesia.co.id

***

**) Kopi TIMES atau rubrik opini di TIMES Indonesia terbuka untuk umum. Panjang naskah maksimal 4.000 karakter atau sekitar 600 kata. Sertakan riwayat hidup singkat beserta Foto diri dan nomor telepon yang bisa dihubungi.

**) Naskah dikirim ke alamat e-mail: [email protected]

**) Redaksi berhak tidak menayangkan opini yang dikirim apabila tidak sesuai dengan kaidah dan filosofi TIMES Indonesia.

**) Ikuti berita terbaru TIMES Indonesia di Google News klik link ini dan jangan lupa di follow.

Advertisement



Editor : Ronny Wicaksono
Publisher : Ahmad Rizki Mubarok

TERBARU

Togamas - togamas.com

INDONESIA POSITIF

KOPI TIMES