Kopi TIMES

Kedaulatan Neohipokritisme

Senin, 21 Juni 2021 - 19:00 | 43.95k
Bambang Satriya; Guru Besar Universitas Merdeka Malang dan penulis buku.
Bambang Satriya; Guru Besar Universitas Merdeka Malang dan penulis buku.

TIMESINDONESIA, MALANG – “Orang yang paling tidak bahagia ialah mereka yang paling takut pada perubahan”. Demkian pernyataan Mognon Me Lau, yang hakikatnya mengajak setiap elemen bangsa, khususnya di kalangan elitisnya untuk giat dan bangkit melakukan perubahan. Jika sedang terpuruk, maka tidak boleh menyerah dalam ketidakberdayaan dan beragam penyakit mental yang membelenggunya. 

Saat sedang tertindas dan dilindas oleh beragam penyakit individual, kultural, dan struktural seperti saat ini, pesan Mognon itu menjadi terasa penting. Pesan itu bisa menjadi spirit moral elemen bangsa ini untuk sadar dan bangkit mendekonstruksi penyakit mentalitas yang sudah membuat bangsa berwajah bopeng di sana-sini. Tanpa ada kesadaran untuk membangkitkan diri, bangsa ini mustahil menemukan zaman keemasan (golden era). 

Fakta memprihatinkan di negeri ini adalah atmosfir semakin memprihatinkannya para pejuang dalam mempertahankan dan menyelamatkan ajaran kebenaran, keadilan, kejujuran, dan kemanusiaan. Ini tak lepas dari sepak terjang para elitis yang tidak sedikit diantaranya terjangkit penyakit neohipokritisme  atau “kemunafikan gaya baru”  (parasit modern), yang modusnya mereka menampilkan diri seolah-olah sebagai pekerja politik atau pejuang struktural yang berintegritas moral tinggi, padahal dibalik tampilan itu, mereka tak lebih dari sekumpulan bandit yang aktif menjarah atau menggerogoti kekayaan rakyat.

Mereka itu seolah sebagai sosok penyampai ajaran kebenaran yang tidak kenal menyerah atau berjiwa militansi dalam beragama dan bernegara (brnasionalisasi), namun kenyataannya, mereka tak lebih dari sekumpulan oportunis kriminalis yang suka memproduksi berbagai bentuk kejahatan istimwa (extra ordinary crime).

Mereka itu sejatinya sudah mendapatkan dan akrab menyampaikan doktrin “katakan kebenaran, meskipun pahit akibatnya". Sayangnya mereka memilih jalan paradoksal. Dokrin yang disampaikan itu sebenarnya sebagai landasan peringatan terhadap profil manusia-manusia yang sekedar cari selamat dan “ningrat” untuk diri, keluarga, dan golongannya, bukan golongan manusia-manusia yang gigih menyelamatkan “kematian” kebenaran dan keadilan, dan sebaliknya jadi sosok generator yang mempercepat kelumpuhan kebenaran dan keadilan. 

Doktrin itu sejatinya juga mengajarkan setiap elemen bangsa supaya tak tergelincir menjadi manusia-manusia palsu atau elemen bangsa yang denasionalis. Budayawan kenamaan Mochtar Lubis pernah mengritisi berbagai mental manusia Indonesia yang tergolong tidak nasionalistik, karena mempertahankan sikap-sikap buruknya. Diantara mental buruk yang melekat dalam diri manusia Indonesia adalah mental hipokrit, menerabas, dan lemah etos kerjanya. Mental hipokrit merupakan gambaran dari manusia palsu, suka ambivalensi, berpribadi ganda atau “pecah” (split of personality).

Gambaran mental atau soslok  palsu itu terbentuk dalam konstruksi personalitas tidak satunya kata dengan perbuatan, disparitasnya suara hati dengan realitas aksi-aksi, atau antara yang tampak sebagai produk aktifitas dengan hakikat kebenarannya terjadi paradoksal. Kelihatannya obyektif, padahal realitasnya disobyektif, tampak  adanya kebenaran, padahal sebaliknya tersirat modus penipuan dan kecurangan atau “pengaborsian” keadilan dan kejujuran. 

Apa yang dikhutbahkan kelihatan menunjukkan sebagai pendakwah kekuasaan yang sangat militan di bidang kebenaran dan penegak keadilan, kejujuran, dan nilai-nilai kemanusiaan. Padahal faktanya, mereka ini pegiat dalam tataran kejahatan, penyebar angkara, penyemai kezaliman, dan penabur lestarinya kemaksiatan individual, kultural, dan struktural, serta ironisnya membarterkan sumberdaya bangsa ke tengkulak-tengkulak global secara ilegal.

Tampilan lewat kata maupun perbuatannya itu menunjukkan penampilan pribadi, yang bisa membuat orang lain terpesona, padahal tampilan ini sarat bias dan bius, berpotensi menjebak, dan rawan menjerumuskan, serta menghancurkan secara sistemik. Tentu saja publik bisa terkecoh dan dibodohi dengan gampang, karena publik menilainya dari bahasa kebenaran dan kejujuran yang tersurat, sementara dibalik itu sarat rekayasa, kriminalisasi, dan pembarteran negeri. 

Dapat dengan mudah terbaca sekarang, bahwa republik ini masih benar-benar mengidap sakit parah akibat sepak terjang komunitas komuitas elite yang bermental palsu (neohipokritisme), yang kemasan perilakunya mencerminkan diri dan kelompok sebagai, meminjam istilah pakar kriminologi Edwin Sutherland  “penjajah-penjahat di lingkaran krah putih” (white collar crime).

Neohipokritisme itulah yang membuat kondisi seperti saat ini, tetap menjadi penyakit laten. Siapapun Presidennya kelak, “tema-tema” perjuangan yang dihadapinya tidak jauh berbeda, yakni melawan bangsa sendiri ternyata lebih sulit dibandingkan melawan kekuatan asing.

***

*) Oleh: Bambang Satriya; Guru Besar Universitas Merdeka Malang dan penulis buku.

*) Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggung jawab penulis, tidak menjadi bagian tanggung jawab redaksi timesindonesia.co.id

***

**) Kopi TIMES atau rubrik opini di TIMES Indonesia terbuka untuk umum. Panjang naskah maksimal 4.000 karakter atau sekitar 600 kata. Sertakan riwayat hidup singkat beserta Foto diri dan nomor telepon yang bisa dihubungi.

**) Naskah dikirim ke alamat e-mail: [email protected]

**) Redaksi berhak tidak menayangkan opini yang dikirim apabila tidak sesuai dengan kaidah dan filosofi TIMES Indonesia.

**) Ikuti berita terbaru TIMES Indonesia di Google News klik link ini dan jangan lupa di follow.

Advertisement



Editor : Faizal R Arief
Publisher : Rizal Dani

TERBARU

Togamas - togamas.com

INDONESIA POSITIF

KOPI TIMES