Kopi TIMES

UUCK dan Semangat Penyelesaian Legalitas Perkebunan

Jumat, 18 Juni 2021 - 19:35 | 103.97k
Arifin Ma’ruf, S.H. M.H., (Peneliti dan Analis Kebijakan pada Yayasan Javlec Indonesia, Penulis saat ini juga bekerja sebagai Technical Assistance Hukum dan Kebijakan SPOS Indonesia – Yayasan KEHATI Jakarta).
Arifin Ma’ruf, S.H. M.H., (Peneliti dan Analis Kebijakan pada Yayasan Javlec Indonesia, Penulis saat ini juga bekerja sebagai Technical Assistance Hukum dan Kebijakan SPOS Indonesia – Yayasan KEHATI Jakarta).

TIMESINDONESIA, JAKARTA – Carut marutnya legalitas perkebunan di Indonesia, sudah seharusnya untuk segera diselesaikan. Apabila terus dibiarkan tentu akan menimbulkan persoalan baru.

Ketidakjelasan legalitas disinyalir menjadi salah satu faktor penyebab timbulnya tumpang tindih perizinan maupun legalitas lahan. Bukan tanpa sebab, ketidakjelasan legalitas perkebunan ternyata diakibatkan adanya aturan yang tidak jelas. Hal ini dapat kita jumpai dalam kebijakan terdahulu, misalnya, pada Pasal 21, Pasal 22, Pasal 23 Permentan 98/Permentan/OT.140/9/2013, ketentuan tersebut mengatur bahwa dalam penerbitan Izin Usaha Perkebunan Baik IUP-B, IUP-P dan IUP tidak mensyaratkan kepemilikan Hak Guna Usaha (HGU). Padahal HGU adalah bentuk legalitas lahan, pertanyaanya bagaimana mungkin perusahaan perkebunan yang berbasis lahan diperbolehkan beroperasi padahal tidak memiliki HGU?.

Apabila merujuk pada kebijakan yang lain, yakni pada Pasal 1 angka 3 Permen ATR/BPN 7/2017, bahwa kepemilikan sertifikat hak atas tanah (sertifikat hak guna usaha/HGU) merupakan landasan hukum untuk mengusahakan tanah. Klausul “landasan hukum untuk mengusahakan” dalam Pasal 1 angka 3 dapat dimaknai bahwa kepemilikan sertifikat HGU merupakan dokumen dasar untuk melakukan aktivitas diatas tanah tersebut. Dengan demikian, seharusnya keberadaan sertifikat hak guna usaha menjadi dasar penerbitan perizinan-perizinan dari istansi lain termasuk kementerian pertanian dalam menerbitkan Izin Usaha Perkebunan.
Ketidakjelasan UU Perkebunan 

Ketidakjelasan pengaturan mengenai legalitas lahan perkebunan juga terdapat dalam Pasal 42 Undang-Undang Nomor 39 tahun 2014 tentang perkebunan (UU 39/2014) bahwa “kegiatan usaha budidaya Tanaman Perkebunan dan/atau usaha Pengolahan Hasil Perkebunan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 41 ayat (1) hanya dapat dilakukan oleh Perusahaan Perkebunan apabila telah mendapatkan hak atas tanah dan/atau izin Usaha Perkebunan.” 

Alih–alih memperbaiki pengaturan sebelumnya, lahirnya UU 39/2014 malah memperparah berlangsungnya illegalitas lahan perkebunan. Ketentuan tersebut dapat dimaknai bahwa pembangunan kebun sawit atau pengolahan dapat beroperasi apabila sudah memiliki hak atas tanah (HGU) dan/atau Izin Usaha Perkebunan (IUP) (salah satu) atau kedua-duanya. Pengaturan semacam ini jelas akan mengakibatkan konflik kewenangan dan tumpang tindih perizinan seperti tumpang tindih antara IUP dan HGU maupun IUP dengan perizinan lainya. 

Bagi penulis, ketentuan Pasal 42 dalam UU 39/2014 merupakan penyelundupan hukum untuk memudahkan perizinan namun bertentangan dengan peraturan lain di bidang agraria maupun kehutanan, karena tidak mengindahkan legalitas lahan. Selain itu, adanya pengaturan dalam Pasal 42 ini seolah-olah ingin menyandingkan kedudukan IUP dengan HGU pada posisi yang sejajar dalam hal pembuktian legalitas penguasaan tanah. Padahal antara HGU dan IUP adalah sesuatu yang sangat berbeda, Izin Usaha merupakan bentuk legalitas dari kegiatan usahanya baik usaha produksi maupun pengolahan, sedangkan HGU adalah menunjukkan legalitas lahannya. Dengan demikian, IUP tidak bisa dijadikan justifikasi atas legalitas lahan yang dikuasai/dikelola. 

Syukurnya, Pada tahun 2015, beberapa ketentuan dalam Undang-Undang Nomor 39 Tahun 2014 tentang Perkebunan (UU 39/2014) salah satunya Pasal 42 di uji materi/judicial review di Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia. Melalui Putusan MK No. 138/PUU-XIII/2015, memutuskan untuk mengubah kalimat dan substansi UU No. 39/2014 tentang Perkebunan, yakni menghilangkan kata “atau” pada pasal tersebut. Pasca Putusan MK, substansi Pasal 42 menjadi berubah yakni “Pembangunan kebun sawit atau pengolahan dapat dilakukan apabila sudah memiliki hak atas tanah (HGU) dan Izin Usaha Perkebunan (IUP)”. Dengan demikian, perusahaan wajib memiliki kedua-duanya.

UUCK dan Reformasi Kebijakan Perkebunan

Pemerintah bersama dengan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR RI) telah mengesahkan Undang – Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja (UUCK). Salah satu, Undang – Undang yang diubah dengan UUCK yakni Undang–Undang Nomor 39 Tahun 2014 tentang Perkebunan. Beberapa pembaharuan penting khususnya yang berkaitan dengan perkebunan diantaranya adalah adanya kewajiban untuk memiliki Hak Atas Tanah (HAT) bagi perusahaan pekebun. Hal tersebut termuat dalam Pasal 29 angka 12 bahwa “ketentuan Pasal 42 UU Perkebunan diubah sehingga berbunyi Kegiatan usaha budi daya Tanaman perkebunan dan/atau usaha Pengolahan Hasil perkebunan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 41. ayat (1) hanya dapat dilakukan oleh Perusahaan perkebunan apabila telah mendapatkan hak atas tanah dan memenuhi Perrzinan Berusaha terkait perkebunan dari Pemerintah Pusat. (2) Ketentuan lebih lanjut mengenai perrzinan Berusaha sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dalam Peraturan Pemerintah.”

Perubahan kebijakan yang menarik lagi dalam UUCK bidang perkebunan yakni, adanya kewajiban bagi perusahaan yang telah memiliki HAT untuk beroperasi paling lambat 2 tahun sejak HAT diterbitkan, apabila setelah 2 tahun terdapat lahan yang tidak/belum diusahakan maka lahan tersebut akan diambil alih oleh negara. Terobosan kebijakan tersebut diharapkan dapat menjadi jalan keluar atas maraknya penelantaran lahan oleh oknum perusahaan perkebunan. Dengan demikian, pengaturan dalam UUCK ini mempertegas Putusan MK No. 138/PUU-XIII/2015 dimana legalitas lahan merupakan dasar pijakan untuk beroperasinya usaha perkebunan dan menjadi dasar bagi pemberian legalitas usaha perkebunan.

Butuh Ketegasan Pelaksanaan Kebijakan

Kebijakan yang baik, tanpa implementasi yang baik pula tentu tidak akan menghasilkan apa–apa. Bagaimanapun, adanya reformasi kebijakan bidang perkebunan ini harus dilihat sebagai terobosan untuk menyelesaikan persoalan sengkarut legalitas dan izin perkebunan yang selama ini tidak terselesaikan dengan tuntas. Dalam sebuah teori sistem hukum yang cukup popular yang dikenalkan Lawrence M. Friedman, dimana terdapat tiga komponen sistem hukum penting diantaranya substansi hukum (regulasi/aturan), struktur hukum (aparatur hukum) dan kultur hukum (budaya hukum) (Raseukiy, n.d.). 

Dalam teori tersebut ditegaskan bahwa hukum sebagai sebuah sistem dapat bekerja hanya jika ketiga komponen tersebut bergerak simultan untuk membentuk sebuah keterpaduan (Raseukiy, n.d.). Apabila kita kaitkan dengan pokok pembahasan legalitas perkebunan ini, bahwa sudah terdapat aturan hukum bidang perkebunan yang baik, tinggal bagaimana membangun aparatur yang kokoh dalam menegakkan aturan tersebut, dan membangun subyek hukum (baik masyarakat pekebun/perusahaan) agar patuh terhadap aturan tersebut.  Dengan demikian, pemerintah perlu segera menyusun strategi penyelesaian illegalitas lahan perkebunan dan segera mensosialisasikan kebijakan tersebut kepada masyarakat luas, sehingga masyarakat dapat mempelajari, mengikuti dan melaksanakan kebijakan tersebut.

***

*)Oleh: Arifin Ma’ruf, S.H. M.H., (Peneliti dan Analis Kebijakan pada Yayasan Javlec Indonesia, Penulis saat ini juga bekerja sebagai Technical Assistance Hukum dan Kebijakan SPOS Indonesia – Yayasan KEHATI Jakarta).

*) Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggung jawab penulis, tidak menjadi bagian tanggung jawab redaksi timesindonesia.co.id

***

**) Kopi TIMES atau rubrik opini di TIMES Indonesia terbuka untuk umum. Panjang naskah maksimal 4.000 karakter atau sekitar 600 kata. Sertakan riwayat hidup singkat beserta Foto diri dan nomor telepon yang bisa dihubungi.

**) Naskah dikirim ke alamat e-mail: [email protected]

**) Redaksi berhak tidak menayangkan opini yang dikirim apabila tidak sesuai dengan kaidah dan filosofi TIMES Indonesia.

**) Ikuti berita terbaru TIMES Indonesia di Google News klik link ini dan jangan lupa di follow.

Advertisement



Editor : Faizal R Arief
Publisher : Sholihin Nur

TERBARU

Togamas - togamas.com

INDONESIA POSITIF

KOPI TIMES