Kopi TIMES Universitas Islam Malang

Berguru Ke Driyarkara dan Parson

Jumat, 18 Juni 2021 - 11:28 | 36.03k
Abdul Wahid, Dosen Universitas Islam Malang (UNISMA) dan penulis buku.
Abdul Wahid, Dosen Universitas Islam Malang (UNISMA) dan penulis buku.
FOKUS

Universitas Islam Malang

TIMESINDONESIA, MALANG – Ideologi kita (bangsa Indonesia) ini sudah sering dilakukan obyek kajian atau pembelajaran secara khusus di kalangan ahli seperti peneliti dan agamawan. Mereka menilai kalau Pancasila merupakan materi utama yang tidak ada habis-habisnya untuk dijadikan obyek ”ijtihad”.

Atas hal itu, logis jika memunculkan banyak relasi dan aspek antara filsafat dengan agama dengan Pancasila, etika dalam berideologi, keadilan dalam kandungan Pancasila, dan seterusnya.

Meski ada pihak-pihak atau sekelompok orang yang tidak menyukai atau bahkan gencar menyebut kalau bangsa Indonesia ini tersesat jalan akibat menjadikan Pancasila sebagai ideologi, namun realitas yang tidak bisa dioungkiri, bahwa Pancasila telah menjadi pijakan bangsa ini secara istimewa dan luar  biasa.

INFORMASI SEPUTAR UNISMA DAPAT MENGUNJUNGI www.unisma.ac.id

Suatu kajian atas Pancasila dalam kacamata filsafat tentang manusia menurut aliran eksistensialisme disumbangkan oleh N Driyarkara, bahwa keberadaan manusia senantiasa bersifat ada-bersama manusia lain.  Manusia tidak jadi berguna kehadirannya di tengah masyarakat atau berbangsa ini jika tidak memberikan yang bermanfaat bagi manusia lainnya. Ejsistensialitas dirinya adalah berkat peran yang dilakukan orang lain, sehingga ketika menuntut dirinya berguna, haruslah memberikan nilai guna sebanyak-banyak atau sebesar-besarnya untuk orang lain.

Oleh karena itu rumusan filsafat dari Pancasila adalah sebagai berikut: ”Aku manusia mengakui bahwa adaku itu merupakan ada-bersama-dalam-ikatan-cintakasih dengan sesamaku.  Perwudjudan sikap cintakasih dengan sesama manusia itu disebut "Perikemanusiaan yang adil dan beradab". Perikemanusiaan itu harus kujalankan dalam bersama-sama menciptakan, memiliki dan menggunakan barang-barang yang berguna sebagai syarat-syarat, alat-alat dan perlengkapan hidup.  Penjelmaan dari perikemanusiaan ini disebut "keadilan sosial". Perikemanusiaan itu harus kulakukan juga dalam memasyarakat.  Memasyarakat berarti mengadakan kesatuan karya dan agar kesatuan karya itu betul-betul merupakan pelaksanaan dari perikemanusiaan, setiap anggauta harus dihormati dan diterima sebagai pribadi yang sama haknya.  Itulah demokrasi yang identik dengan "kerakyatan yang dipimpin ...".Perikemanusiaan itu harus juga kulakukan dalam hubunganku dengan sesamaku yang oleh perjalanan sejarah, keadaan tempat, keturunan, kebudayaan dan adat istiadat, telah menjadikan aku manusia konkrit dalam perasaan, semangat dan cara berfikir.  Itulah sila kebangsaan atau "persatuan Indonesia". Selanjutnya aku meyakini bahwa adaku itu ada-bersama, ada-terhubung, serba-tersokong, serba tergantung.  Adaku tidak sempurna, tidak atas kekuatanku sendiri.  Adaku bukan sumber dari adaku.  Yang menjadi sumber adaku hanyalah Ada-Yang-Mutlak, Sang Maha Ada, Pribadi (Dhat) yang mahasempurna, Tuhan yang mahaesa. Itulah dasar bagi sila pertama: "Ketuhanan yang mahaesa".

INFORMASI SEPUTAR UNISMA DAPAT MENGUNJUNGI www.unisma.ac.id

Kalau belajar ke Driyakarya itu, maka ”pengembaraan” diri manusia haruslah berada dalam pijakan dan arah yang  benar, sebagaimana yang digariskan dalam makna sila-sila ynag terkandung dalam Pancasila. Selama seseorang bisa melakukan hal demikian, maka belum bisa dikategorikan sebagai Pancasilais sejati, atau eksistensialitas dirinya masilah layak disebut ”sekedar di atas kertas”.

Sosiolog Talcott Parsons menyatakan, jika suatu masyarakat ingin tetap eksis dan lestari, ada empat paradigma fungsi yang harus terus dilaksanakan oleh masyarakat bersangkutan. Pertama, kemampuan memelihara sistem nilai budaya yang dianut karena budaya adalah endapan perilaku manusia. Budaya masyarakat itu akan berubah karena terjadi transformasi nilai dari masyarakat terdahulu ke masyarakat kemudian, tetapi dengan tetap memelihara nilai-nilai yang dianggapnya luhur, karena tanpa hal itu akan terbentuk masyarakat baru yang lain. (Husodo, 2006).

Kedua, kemampuan masyarakat beradaptasi dengan dunia yang berubah dengan cepat. Sejarah membuktikan banyak peradaban masyarakat yang telah hilang karena tidak mampu beradaptasi dengan perubahan dunia. Masyarakat yang mampu menyesuaikan diri dengan perubahan serta memanfaatkan peluang yang timbul akan unggul.Ketiga, adanya fungsi integrasi dari unsur-unsur masyarakat yang beragam secara terus-menerus sehingga terbentuk kekuatan sentripetal yang kian menyatukan masyarakat itu.Keempat, masyarakat perlu memiliki goal attainment atau tujuan bersama yang dari masa ke masa bertransformasi karena terus diperbaiki oleh dinamika masyarakatnya dan oleh para pemimpinnya. (Husodo, 2006).

Pandangan Parson itu secara tidak langsung mengingatkan pada siapapun  yang menempuh jalur individualisme dalam hidupnya. Manusia demikian tidak bisa digunakan sebagai modal utama berbangsa. Jika negara kebangsaan Indonesia terbentuk oleh kesamaan sejarah masa lalu, maka ke depan perlu dimantapkan oleh kesamaan cita-cita, pandangan, harapan, dan tujuan tentang masa depannya. Kemantapan inilah yang bisa membuat konstruksi kehidupan kebangsaan dan kenegaraan Indonesia bisa diandalkan untuk menjawab tantangan apapun di masa kini dan mendatang.

INFORMASI SEPUTAR UNISMA DAPAT MENGUNJUNGI www.unisma.ac.id

*)Penulis: Abdul Wahid, Dosen Universitas Islam Malang (UNISMA) dan penulis buku.

*)Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggungjawab penulis, tidak menjadi bagian tanggungjawab redaksi timesindonesia.co.id

**) Ikuti berita terbaru TIMES Indonesia di Google News klik link ini dan jangan lupa di follow.

Advertisement



Editor : Dhina Chahyanti
Publisher : Rochmat Shobirin

TERBARU

Togamas - togamas.com

INDONESIA POSITIF

KOPI TIMES