Kopi TIMES Universitas Islam Malang

Surat Kedua: Untuk Pembelajar Pluralisme dan Kebangsaan

Kamis, 17 Juni 2021 - 10:36 | 39.54k
Abdul Wahid, Dosen Universitas Islam Malang (UNISMA) dan penulis buku.
Abdul Wahid, Dosen Universitas Islam Malang (UNISMA) dan penulis buku.
FOKUS

Universitas Islam Malang

TIMESINDONESIA, MALANG – Banyak tokoh, pakar, agamawan hingga ”orang kecil” yang menunjukkan pendaparnya tentang makna dan urgensi mempelajari dan memahami masalah pluralisme, Pancasila, dan kebangsaan. Mereka peduli pada nasib bangsa ini sekarang dan kedepan.

Tokoh agama dan orang terkemuka NU Hasyim Muzadi (alm) dalam tulisannya berjudul ”Bisingnya Langit Ruhani Bangsa”  menyebutkan, bahwa negeri kita, Indonesia, seperti tak pernah senyap dari persoalan. Mendera setiap langkah dan setiap ikhtiar yang kita ambil sebagai alternatif dari sekian banyak pilihan yang tersedia. Pada setiap pilihan yang tersedia, selalu pula tersedia banyak pikiran yang direpresentasi melalui kata-kata.  Akibat begitu banyaknya persoalan, maka banyak pula kata-kata yang meluncur deras sebagai bentuk pikiran-pikiran tersebut. Kini, seperti tidak ada lagi yang tersisa dari anak bangsa ini yang tidak pandai berkata-kata. Semua ingin berkata-kata dan semuanya ingin agar kata-katanya didengar.

INFORMASI SEPUTAR UNISMA DAPAT MENGUNJUNGI www.unisma.ac.id

Mantan Dubes RI Marsetio Donosepoetro  juga menyatakan, bahwa dalam dunia kedokteran, jika kita berhadapan dengan seseorang yang tidak sehat atau sakit, yang pertama kita amati adalah gejala penyakitnya: panas, pusing, nyeri, dan seterusnya. Kemudian kita membuat diagnosa dan penyebab penyakitnya, apakah karena infeksi, tekanan darah tinggi, kanker dan seterusnya. Akhirnya kita tentukan macam pengobatannya atau disebut terapiKiranya kita dapat menyetujui kalau dikatakan saat ini bangsa kita sedang tidak sehat atau sedang sakit. Sakit secara sosial, secara politik, secara budaya dan secara ekonomi. Kita sekarang ini mempertanyakan: apakah sebabnya kita mendengar dan melihat ketidak puasan sebagian bangsa terhadap negara ini. Karena apa? Karena terjadi begitu banyak demonstrasi, perusakan, konflik sosial, perampokan, pembunuhan dan akhirnya sesuatu yang kita perkirakan akan berakhir waktu kita melakukan aksi reformasi: ialah korupsi.

Dalam catatanya lagi, Hasyim Muzadi menulis, semua ingin berbicara dan didengarkan padahal semuanya belum siap untuk menjadi pendengar yang baik. Akibatnya, muncul perang kata-kata, saling tuding, saling tuduh dan saling menyalahkan. Kondisi ini tentu saja amat kurang menguntungkan karena bukan jalan keluar yang didapat tetapi justru persoalan-persoalan baru yang lahir. Bahkan, bisa jadi pertentangan dan pertikaian baru yang muncul. Sungguh memilukan. Hal ini semua boleh jadi, akibat dari kekurangmampuan kita mengukur diri untuk sebuah makna dari kata-kata yang kita luncurkan. Kadang makna yang kita sampaikan jauh lebih lemah daya magisnya daripada kata-kata yang mewakilinya. Akibat paling buruk adalah kian bisingnya ruhani kita, bukan oleh hal-hal yang kudus transendental, tetapi justru oleh persoalan dunia yang amat profan.

INFORMASI SEPUTAR UNISMA DAPAT MENGUNJUNGI www.unisma.ac.id

Dalam ranah itu, sejatinya kita sebagai subyek bangsa diingatkan, bahwa ketika hati tidak lagi bening, ketika kearifan ditinggalkan, ketika kecerdasan ruhani dinodai dan ditanggalkan, maka problem apapun dalam kehidupan bangsa, niscaya akan muncul dan merajalela. Bangsa demikian akan sulit menceraikan dirinya dari krisis, karena sebenarnya bangsa ini ada kecenderungan enggan berpisah dengan krisis

Pengalaman mendialogkan aan keragaman tau mendiskursuskan perbedaan ddi antara banyak pihak tentang NKRI dan nasionalisme (secara inten) belum banyak dilakukan hingga hari ini. Karena itu bisa jadi nasionalisme lebih sebagai suatu "Wawasan Semu" yang nampak dalam dunia politik daripada sebuah realitas budaya. Hal ini dapat dilihat ketika kekacauan politik melanda negeri ini maka kesatuan nusantara gagal menjadi peredam konflik diantara banyak pihak. Nasionalisme kita menjadi tampak kurang berhasil memupuk solidaritas kolektif untuk hidup "senang-susah bersama".

Yang terbaca juga menyebutkan, bahwa kesadaran nasionalisme (NKRI) tumbuh kukuh dalam diri rakyat kebanyakan yang rela berkorban bagi kepentingan nusa bangsanya, ketika mereka merasa menjadi bagian tidak terpisahkan dari kehidupan kebangsaan itu. Kesadaran primordial rakyat nampak lebih kental dibanding elite yang lebih rasional. Namun ketika rakyat itu melihat praktek kekuasaan yang egois bagi kepentingan elite, muncul kritik dan pemberontakan budaya. Inilah krisis paling serius, lebih serius daripada berbagai krisis ekonomi-politik yang dihadapi bangsa ini (Khalid, 2019).

bunir Mulkhan juga pernah mengingatkan, bagi rakyat, NKRI dan nasionalisme bukan hanya wawasan geo-politik, geo-ekonomi, geo-budaya, tapi suatu geo-teologis yang ilahi. Secara tradisional terdapat istilah di kalangan rakyat yaitu "gusti" atau "pangeran" dan semacam itu untuk menyebut sebuah realitas kepemimpinan politik. Jabatan itu bukan sekedar gejala politik atau sosial-ekonomi, tetapi disadari sebagai gejala spritual kebertuhanan sebagai " pangeran katon". Karena itu kesadaran nasional (isme) dan NKRI bagi rakyat bukan sekedar kesadaran politik, tetapi sekaligus sebagai kesadaran spritual, bahkan sebagai kesadaran teologis.

INFORMASI SEPUTAR UNISMA DAPAT MENGUNJUNGI www.unisma.ac.id

Menyikapi kondisi bangsa ini, filosof Magnis Suseno mengajak: Jadi kita menjunjung tinggi hal-hal dalam kemanusiaan dan kemasyarakatan kita yang sama. Hanya nilai-nilai religius atau budaya yang berbeda. Di Indonesia kesamaan nilai-nilai dasar yang memungkinkan kita membentuk negara bersama terungkap dalam Pancasila. Lima sila Pancasila persis nilai-nilai yang kita yakini semua, betapa pun berbeda keyakinan keagamaan kita, dan karena itu kita bersama-sama dapat membangun kehidupan bangsa yang adil, sejahtera, damai dan beradab.

Dalam ranah realitas agama, terutama jika dikaitkan dengan kesukubangsan dan ras memang sering menjadi sumber penyebab terjadinya konflik-konflik sosial di Indonesia. Apa yang telah terjadi di Ambon, Sambas, Sampit dan daerah-daerah lain di negeri ini adalah contoh betapa faktor keyakinan keagamaan dalam kesukubangsaan telah ikut andil dalam konflik-konflik berdarah yang telah menewaskan ribuan orang dan memaksa ribuan lainnya untuk meninggalkan tempat tinggalnya.

Yinger (1994) menyatakan bahwa terdapat hubungan yang sangat dekat antara kesukubangsaan dengan agama. Kedekatan ini semakin kuat terasa pada saat sentimen primordial muncul dalam kesukubangsaan suatu masyarakat saat menghadapi tantangan-tantangan hidupnya:. Agama suatu suku bangsa semakin dirasakan kepentingannya saat masyarakat suku bangsa ini merasa bahwa mereka tidak bisa mengatasi tantangan-tantangan dalam hidup mereka, termasuk di dalamnya adalah dalam menghadapi konflik dengan masyarakat sukubangsa lain, dalam eranah inilah belajar ”menerima” atau mengarifi realitas menjadi kebutuhan asasional.

INFORMASI SEPUTAR UNISMA DAPAT MENGUNJUNGI www.unisma.ac.id

*)Penulis: Abdul Wahid, Dosen Universitas Islam Malang (UNISMA) dan penulis buku.

*)Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggungjawab penulis, tidak menjadi bagian tanggungjawab redaksi timesindonesia.co.id

**) Ikuti berita terbaru TIMES Indonesia di Google News klik link ini dan jangan lupa di follow.

Advertisement



Editor : Dhina Chahyanti
Publisher : Rochmat Shobirin

TERBARU

Togamas - togamas.com

INDONESIA POSITIF

KOPI TIMES